Simpang Jalan Mbak Puan
Mbak Puan Maharani dilantik jadi Ketua DPR periode 2019-2024. Pada Rapat Paripurna ke-2, Selasa, 1 Oktober 2019, di Gedung DPR RI. Momen ini terhitung spesial.
Pasalnya, namanya tercatat di lembar sejarah. Jadi perempuan pertama sebagai Ketua DPR di negeri ini. Ngomongin sejarah, Mbak Puan Maharani Nakshatra Kusyala ini, tak ada lawan.
Kakeknya, Bung Sukarno, Presiden Indonesia pertama. Ibunya, Mbak Megawati Sukarnoputri, presiden perempuan pertama. Bapaknya, Pak Taufik Kiemas, mantan Ketua MPR. Komplit sekali.
Kalau di masa depan, Mbak Puan jadi presiden, cerita makin heboh. Kakek, ibu, cucu jadi presiden tanpa ada jeda keturunan. Catatan sejarah yang sulit terpatahkan.
Bisa jadi, Koh Jaya Suprana—bos Jamu Jago dan pemilik Museum Rekor Dunia Indonesia itu, kini sudah bersiap. Mengeluarkan catatan rekor baru. Untuk kategori penghargaan politik.
Tapi urusan jadi presiden ini, bila Mbak Puan salah melangkah bisa berantakan. Bagai pungguk merindukan bulan. Jadi terlihat mustahil diraih.
Padahal, sebenarnya, setengah jalan ke sana sudah dilewati. Karena PDI P pemenang Pemilu, suaranya 19.33 persen. Nyaris, bisa mengajukan pasangan calon sendiri.
Jadi pekerjaan rumah PDI P, tinggal tiga tersisa. Mendongkrak popularitas. Lantas memoles kapabilitas. Terakhir, mencarikan sekondan yang pas.
Kita diskusikan satu-satu. Urusan popularitas memang paling penting. Karena Pilpres adalah pilihan langsung. Harus mencipta brand Mbak Puan yang menyenangkan.
Memang, Mbak Puan jadi anggota DPR 2019 dengan suara terbanyak. Di Dapil Jateng V, suaranya menembus 404.034. Tidak ada catatan resmi KPU, dari total suara itu, berapa persen yang mencoblos namanya.
Bisa jadi, lebih banyak yang mencoblos gambar logo PDI P. Tapi karena dia nomer urut satu, dapat keuntungan. Semua suara partai otomatis dihitung jadi suaranya.
Intinya, masih diperlukan kerja keras. Agar dia jadi media darling. Kesayangan para juru warta, buzzer, spesialis media sosial. Mereka rela menulis dengan suka cita, tanpa dibayar, tapi karena cinta.
Untuk itu, yang dibutuhkannya program dan panggung kegiatan. Sebanyak- banyaknya. Program yang dieksekusi jadi karya nyata. Lalu dijual sebagai bukti.
Sebenarnya, itu akan terwujud kalau dia tetap jadi menteri. Anggaran kementerian bisa dibuat berkegiatan di seluruh Indonesia. Terasa ke rakyat. Dia tetap di pusaran pemberitaan media.
Kalau Ketua DPR, namanya baru disebut media saat rapat paripurna saja. Lalu dimintai pendapat kalau ada urusan gawat. Sisanya? Harus berkreasi sendiri.
Contoh, bandingkan saja popularitas kandidat Ketum Partai Golkar. Pak Bambang Soesatyo, mantan Ketua DPR itu dengan Pak Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian. Pak Airlangga porsi publikasinya tentu besar, karena dia wira-wiri di acara peresmian apa saja. Termasuk pembukaan pabrik Esemka.
Untuk yang satu ini, Mbak Puan harus mendampingi pelaksanaan program menteri PDI P di pemerintahan Pak Jokowi dan Pak Kiai. PDI P sudah mengirim list posisi: Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Desa, Jaksa Agung, dan Sekretaris Kabinet.
Setidaknya, kalau dia ikut turun ke masyakat lewat program dua kementerian: Desa dan Sosial, popularitasnya tetap terjaga.
Yang diharapkna, lahir brand terbaru untuk Mbak Puan. Sosok muda, fresh, dan jadi harapan bangsa. Pasti akan ada yang membanding gayanya dengan Bung Karno atau Bu Mega.
Untuk yang satu ini, Mbak Puan bisa belajar dari Justin Trudeau. Perdana Menteri Kanada yang memikat banyak hati. Bapaknya dulu, Perdana Menteri Kanada terlama.
Kedua, soal kapabilitas. Bagi saya, Mbak Puan sudah melewati masa kritis pengujian sebagai politisi. Sekarang sudah matang. Lihat saja, wajahnya saat sedih, gembira, atau normal sama saja. Datar.
Banyak orang akan susah menterjemahkan apa isi kepalanya. Dulu, kondisi paling kritis, saat dia harus menyetujui usulan agar Pak Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, jadi calon Presiden Indonesia. Konon, saat itu dia berada di antara marah, marah, dan sedih.
Kabarnya, nangisnya lama sekali. Bimbang sebelum memutuskan. Banyak yang datang dikirim sang ibu untuk meyakinkan dia.
Tapi hanya satu orang yang bisa meyakinkannya: Pak Jusuf Kalla. “Saat itu, Pak JK menanyakan, dirinya pengen jadi apa? Dan Pak JK akan mementori untuk mewujudkannya,” ungkap salah seorang staff Pak JK.
Tapi kemarahan itu, bagi saya, wajar saja. Manusiawi. Sebab, beliau yang berdarah-darah mengelola partai.
Lah, kok ini ada orang luar datang tanpa diminta. Sambil senyum, terus mengambil mahkota. Apa ndak bikin mangkel dada.
Yang pasti, beragam kejadian politik itu, dijadikan ibunya untuk mengajari Mbak Puan. Belajar mengindentifikasi kondisi kritis. Lalu menganalisa, guna mendapatkan beberapa alternatif solusi.
Berikutnya, memilah solusi dengan resiko terkecil. Berani mengeksekusi pilihan itu, sambil terus mengelola potensi masalah baru. Mohon diingat, putusan tetap ada di tangan pemimpin.
Untuk orang sekelas Mbak Puan, tentu banyak kaum cerdik pandai yang melingkari. Mereka menawarkan saran, alternatif apa saja atas setiap masalah. Sekali lagi, posisi paling penting, mengeksekusi pilihan.
Terus mengelola resiko. Bahkan yang terbaik, bisa membalik resiko jadi keuntungan. Untuk yang satu ini, kreatifitas, kecerdasan, dan jam terbang tak bisa dibohogi.
Jadi, kalau Anda tidak pernah bertemu masalah, Anda tak akan menjadi ahli di bidangnya. Tapi ingat, Anda juga butuh mentor. Karena mentor dengan jam terbangnya, sudah mengalami berpuluh masalah dan punya beragam solusi.
Mentor utama Mbak Puan tentu sang ibu. Faktanya, puluhan tahun bertarung dengan Orde Baru, lalu menjadi presiden, adalah bukti paling nyata kalau Ibu Mega politisi handal. Istilahnya, Politisi Titanium, sebagaimana ucapnya saat Konggres di Bali beberapa waktu lalu.
Sampai saat ini, saya masih heran kalau ada yang meremehkan sang ibu atau Mbak Puan. Saya sendiri tak yakin kalau berada di posisi keduanya, saya punya keberanian, kekuatan, agar mencapai derajat politik tertinggi. Dan sambil mengelola dinamika partai se-Indonesia.
Jadi, para pakar yang akan memoles Mbak Puan, semestinya tak akan kesulitan. Terpenting, mengajarinya mengelola engagement dengan para ketua partai politik. Agar lebih luwes. Oh ya, dia juga lulusan kampus ternama. Jadi modalnya paripurna.
Ketiga, soal sekondan. Ada beberapa nama. Yang paling penting, partainya punya kursi di DPR. Karena ada syarat utama: 20 persen kursi DPR, atau 25 persen suara nasional.
Kita mulai dari Partai Gerindra. Secara praktis, koalisi pernah terjadi pada Pilpres 2009. Bisa jadi, Pak Prabowo menyorongkan nama Mas Sandiaga Uno. Ini jadi pasangan pas.
Ada juga Gus Muhaimin Iskandar. Ketum PKB ini dari dulu ngebet jadi wakil presiden. Secara sosiologis pengikut kedua partai, ada irisan. Secara praktis koalisi pernah terjadi di Pilpres 2004.
Bisa juga Gubernur Ridwan Kamil, kalau dia disorongkan Partai Nasdem. Namun, sepertinya, kecil kejadian. Kabarnya, hubungan Ibu Mega dan Bang Surya tak seerat lalu.
Yang secara ideologis sulit menerima bersatu, tentu Partai Golkar. Entah, kalau ada keajaiban lewat tangan Pak Airlangga Hartarto. Dengan catatan, dia terpilih lagi jadi Ketum Partai Golkar. Lantas tetap jadi menteri, agar populer.
Oh hampir lupa, bagi para kandidat yang ingin jadi wakil presidennya Mbak Puan, ada sedikit tips ungah-unguh orang Jawa. Sangat perlu menghormati orang tua atau yang dituakan. Jangan lupa cium tangan Ibu Mega ya.
Tak perlu ditunjukkan di depan umum. Tapi itu perlu untuk “memangku” hati ibu. Seperti apa yang pernah dilakukan Pak Jokowi.
Ajar Edi, kolomnis "Ujar Ajar" di ngopibareng.id