Sikapi UU Desa, Ini Kerja Pemberdayaan Muhammadiyah
Jogjakarta: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan, pentingnya membenahi mental para elit, pemangku kebijakan, dan semua pihak yang terlibat dalam proses regulasi hingga implementasi Undang-Undang (UU) Desa. Jika hal ini tidak dibenahi, maka upaya untuk memberdayakan dan memandirikan ekonomi desa tidak akan terjadi. Sebaliknya, dana desa menjadi ladang masalah (korupsi) baru di tingkat daerah.
“Kunci ekonomi pada tingkat makro, pertama, dari komitmen elitenya atau komitmen parpol. Problemnya di pedesaan, daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terjauh itu kan bagian dari sistem kekuasaan nasional,” tutur Haedar Nashir, dikutip ngopibareng.id, Selasa (7/11/2017).
Tokoh Muhammadiyah ini, hadir dan menjadi pembicara dalam kegiatan Reuni Nusantara Alumni Kampus Desa dan Dies ke-52 STPMD-APMD Yogyakarta, pada Sabtu, 4 November 2017. Kegiatan reuni yang berlangsung di kampus STPMD-APMD itu sekaligus sebagai ajang sarasehan, yang mengusung tema “Kemandirian Desa dan Peran Kampus”.
Hingga saat ini, kata Haedar, temuan terakhir menyebutkan bahwa para kepala daerah dan pemerintah daerah itu tidak bisa lepas dari kekuatan-kakuatan hegemoni yang menguasai asset dan ekonomi Indonesia.
“Nah disitulah proses pertukaran (transaksi) terjadi. Dalam proses pertukaran ini, lalu yang sering menjadi korban adalah rakyat dan kelompok yang tidak punya akses terhadap kekuasaan. Pertanyaannya adalah apakah undang-undang desa dapat memberi akses pada rakyat pedesaan agar tetap menjadi bagian yang diperhitungkan dalam konteks kekuasaan di daerah,” ulasnya.
Di tengah situasi itu, Haedar mengingatkan bahwa kerja-kerja pemberdayaan dan pemihakan kepada kelompok-kelompok marjinal di desa-desa ini perlu digencarkan. Muhammadiyah melalui Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) telah berupaya maksimal untuk memberdayakan kelompok-kelompok ini. Di antaranya, pemberdayaan suku Kokoda di Papua Barat dan pemberdayaan serta restorasi hutan Berau di Kalimantan Timur.
“Dua minggu lalu, saya ke Berau, Kalimantan Timur, naik ke daerah paling atas. Kita (Muhammadiyah) punya pemberdayaan masyarakat untuk suku Dayak, Muhammadiyah punya program tersebut, dan Anda tahu, bahwa suku Dayak itu dari masyarakat nomaden menjadi menetap, punya skill dan relasi sosial baru dalam kehidupan masyarakat yang terbuka, maka kita ke sana dan kita beri pohon lada dan luar biasa sambutannya,” kisah Haedar.
MPM PP Muhammadiyah juga memiliki binaan terhadap suku Kokoda. “Suku Kokoda adalah suku yang terbesar, tapi nomaden, mereka tercerabut dari akar hutan, karena hutan telah dikuasai orang lain. Setelah mereka tercerabut, ketika menuju Sorong, mereka makin tercerabut, mereka tidak punya tempat dan pakan, sebuah keluhan besar yang luar biasa,” ungkapnya. Kondisi ini tentu sangat tragis. Sebuah suku yang harus tersisih di tanahnya sendiri.
Sementara di sisi lain, lahan yang begitu luas dikuasai oleh segelintir orang. “Bahkan 1% orang menguasai 70% kekayaan Indonesia,” ujarnya. Muhammadiyah menyadari hal ini dan menyediakan lahan serta mengajak suku Kokoda untuk menetap dan mulai membentuk komunitas baru serta mulai menjalankan sebuah sistem ekonomi untuk bertahan hidup.
“Kita ajari bertani dan kami berikan sapi untuk beternak dan sebagainya. Dan Alhamdulillah sekarang bisa menjadi masyarakat yang mandiri,” kata Haedar. Inilah bagian dari solusi nyata yang ditawarkan oleh Muhammadiyah terhadap masyarakat desa, yang termasuk dalam wilayah terluar, tertinggal, dan terpencil. (adi)