Sikapi Penghina Nabi Muhammad, Ini Pidato Bersejarah Mbah Hasyim
Pada Jumat 2 Oktober 2020 tepat dilangsungkan persidangan di Paris, Prancis, atas serangan mematikan Januari 2015 terhadap surat kabar satire Charlie Hebdo dan supermarket halal oleh ekstremis Islam kelahiran Prancis. Mereka membikin karikatur yang disebutnya sebagai "Nabi Muhammad". Maka, publik dunia menyebutnya sebagai pelecehan terhadap Islam dan Nabi Umat Muslim itu.
Ketika itu pula, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan dimulainya perang melawan apa yang disebut 'separatisme Islam' di negara itu. Ketika itu pula sebuah rencana kontroversial pada hari Jumat 2 Oktober 2020, menjadi momentum awalnya kericuhan di Prancis.
Rentetan peristiwa menggemparkan tak bisa dihindari. Bahkan, reaksi dunia pun menjadikan Macron sebagai biang kerok bangkitnya semangat islamofobia. Presiden Joko Widodo pun menyatakan sikapnya secara tegas: Presiden Macron telah melukai hati umat Islam.
Masalah penghinaan terhadap umat Islam dan Nabi Muhammad terjadi sepanjang sejarah. Karena itu, Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari pun bersikap tegas terhadap para penghina Nabi Muhammad SAW.
Pendiri Nahdlatul Ulama, Ormas Islam terbesar di dunia, berpesan kepada umat Islam dan warga NU pada Muktamar ke-15 NU yang berlangsung 9-15 Desember 1940 di Surabaya:
“Ujian bagi kita belumlah reda. Kini makin terasa betapa semakin hebatnya usaha musuh-musuh Islam hendak memadamkan cahaya Allah SWT. Berulangkali melalui media pers dan mimbar-mimbar dilancarkan serangan penghinaan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
"Kami sudah mendesak kepada pemerintah (Hindia-Belanda) agar menempatkan satu fasal dalam peraturan perundang-undangan tentang hukuman bagi orang-orang dan golongan dari mana pun datangnya yang menyerang kesucian Islam serta penghinaan terhadap Nabi Besar Muhammad SAW.
"Tetapi, teriakan kita itu hilang lenyap bagaikan teriakan di padang pasir. Maka sekarang tidak ada jalan lain, kita langsung memohon kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pendengar dari pemohon segenap hamba-Nya".
Sontak pidato Hadratussyakih KHM Hasyim Asy’ari menjadi perhatian serius umat Islam Indonesia, khususnya warga NU dan kalangan pesantren. Setidaknya, itulah bukti sikap tegas ulama di Nusantara, yang dicatat KH Saifuddin Zuhri, dalam Memoarnya, "Berangkat dari Pesantren” (diterbitkan Gunung Agung, Jakarta 1986)
Pidato Macon Menghebohkan
Dalam pidato awal, Macron berpandangan, separatisme Islam sebagai masalah serius bagi pemerintah Prancis, negara yang dikenal sangat terikat dengan sekularisme. Presiden Emmanuel Macron pada Jumat 1 Oktober 2020, mengumumkan undang-undang yang menentang 'separatisme' agama yang bertujuan untuk membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh asing.
Macron mengatakan dalam pidatonya di kota Les Mureaux bahwa Islam adalah agama yang 'mengalami krisis di seluruh dunia'. Rencana undang-undang itu dimaksudkan untuk mendorong bentuk Islam yang sesuai dengan apa yang disebutnya 'nilai-nilai Republik'.
"Islam di Prancis harus dibebaskan dari pengaruh asing," katanya, seraya menjanjikan adanya peningkatan pengawasan terhadap kegiatan masjid.
Macron mengklaim bahwa beberapa orang tua Muslim tidak mengizinkan anak-anak mereka menghadiri kelas musik atau pergi ke kolam renang di sekolah, atau bahwa hijab dan kerudung tidak boleh dipakai di dalam sekolah.
"Undang-undang penting tahun 1905 tentang sekularisme mengizinkan orang untuk menganut agama apa pun yang mereka pilih, tetapi penampilan luar dari afiliasi keagamaan dalam keadaan apa pun tidak diizinkan di sekolah atau layanan publik," kata Macron.
"Sekularisme adalah semen dari persatuan Prancis," tegas Macron, sambil menambahkan: "Janganlah kita jatuh ke dalam perangkap yang dipasang oleh ekstremis, yang bertujuan untuk menstigmatisasi semua Muslim."
Presiden Prancis berulang kali menekankan pentingnya sekolah dalam menanamkan nilai-nilai sekuler pada kaum muda, dan mengatakan bahwa pemerintah akan mewajibkan sekolah swasta untuk setuju mengajar mereka.
Macron mengakui, negara Prancis ikut bertanggung jawab atas 'ghettoisasi' komunitas dengan sejumlah besar penduduk Muslim, mengatakan bahwa organisasi non-sekuler telah berusaha untuk menebus kegagalan dari kebijakan integrasi.
Macron juga mengatakan bahwa masa kolonial Prancis, termasuk kolonisasinya di Aljazair, meninggalkan bekas luka pada masyarakat yang terkadang berjuang untuk mengintegrasikan komunitas imigran dari bekas koloni.
“Kami belum mengungkap masa lalu kami. Kami memiliki kakek-nenek yang telah menularkan bekas luka mereka pada anak-anak mereka," katanya.
Pidato Macron di Les Mureaux, barat laut Paris, muncul tujuh bulan setelah dia mengumumkan bahwa pemerintahnya akan berusaha memerangi 'campur tangan asing' dalam praktik Islam dengan mengakhiri program yang memungkinkan negara-negara untuk mengirim imam dan guru ke Prancis.
“Masalah muncul ketika, atas nama agama, beberapa ingin memisahkan diri dari Republik dan karena itu tidak menghormati hukumnya,” kata Macron dalam pidatonya pada 18 Februari lalu di kota Mulhouse, Prancis timur.
Prancis dalam beberapa tahun terakhir telah dipaksa untuk melihat dengan seksama nilai-nilai inti republik, yang dianggap oleh banyak orang terancam oleh Islam radikal setelah serangkaian serangan teror yang menargetkan kebebasan sekuler seperti kebebasan berekspresi.