Sikapi Banjir, Ini Empat Cara Indah Menurut Islam
Di Surabaya sejumlah pohon tumbang dan merenggut nyawa sebagai korbannya. Meski tidak terjadi banjir, namun hujan lebat bisa berdampak buruk.
Sementara di Jakarta dan sekitarnya berbeda. Musibah banjir tentu menyisakan duka, tak sedikit pula korbannya, baik berupa harta, benda, bahkan nyawa, data di Jabodetabek, hingga Kamis 3 Januari 2020 korban meninggal karena banjir berjumlah 30 orang, belum lagi di wilayah lain.
Beragam reaksi masyarakat muncul menyikapi musibah banjir yang terjadi, hal ini seperti terlihat pada linimasa akun-akun berbagai media sosial.
Ada yang saling menyalahkan, menghujat pemerintah, mengeluh, bersimpati atau empati, introspeksi diri, hingga ada pula yang tetap “santuy” menghadapi kenyataan. Misalnya dengan menganggap lokasi banjir layaknya arena bermain dan bersantai, kendatipun mungkin maksudnya hanya sebagai satire atau sindiran.
Lalu, bagaimana seharusnya sebagai orang yang beriman menyikapi banjir?
Ustadz Imam Tamaim memberikan empat resep penting agar kita tetap dingin dan waspada terhadap fenomena alam tersebut:
Pertama, Instropeksi diri (Muhasabah).
Semua pihak, tentu saja tidak hanya yang terdampak banjir, tapi semua masyarakat dan juga pemerintah harus mengakui bahwa musibah banjir yang terjadi adalah buah dari kesalahan kolektif.
Berabad yang lalu, Al-Quran sudah mengingatkan, dalam Surah Ar-rum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Bukankah harus diakui, banjir itu disebabkan kelalaian kita?
Sikap serakah membuat manusia tak peduli walaupun membangun hutan beton di atas wilayah resapan. Bantaran kali dijadikan hunian. Pantai direklamasi demi semata-mata keuntungan. Sikap tak disiplin membuat orang merasa tak bersalah saat membuang sampah sembarangan. Dalam berintrospeksi, tentu tidak ada gunanya saling menyalahkan.
Kedua, Melihat banjir sebagai ujian (ibtila`).
Dalam bahasa Arab ibtila` diambil dari kata “ibtala”, asal katanya “baliya” yang artinya “mengujinya atau mencobainya”. Kata tersebut antara lain terdapat dalam Al-Quran Surah Al-Anbiya ayat 35, “…kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (yang sebenar-benarnya)…”.
Dalam kamus bahasa Arab, kata ibtila` sama pengertiannya dengan kata fitnah. Namun, fitnah dalam bahasa Arab sebetulnya tidak sama pengertiannya seperti dalam kamus bahasa Indonesia. Kata fa-ta-na dalam kamus Lisan al-‘Arab diartikan sebagai ibtila` (menimpakan bala), imtihan (pengujian) dan ikhtibar (pengetesan).
Dalam bahasa Indonesia, kata “fitnah” memiliki arti jauh berbeda, yakni “perkataan bohong yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)”. Makanya, kurang pas pengertian fitnah dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkan ayat Al-Quran, “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan,” apabila arti fitnah adalah perkataan bohong, sebab dalam bahasa Arab fitnah artinya ‘menimpakan bala’.
Kembali ke konsep ibtila`. Sebuah penelitian terhadap korban banjir di Malaysia pada tahun 2014 menyimpulkan, cara pandang sangat berpengaruh terhadap sikap dan proses rehabilitasi korban banjir, terutama untuk yang mengalami trauma. Konsep ibtila` yang menganggap banjir sebagai ujian serta merupakan bagian dari qada dan qadar Allah, terbukti mampu membantu korban bencana mengendalikan situasi yang dapat menimbulkan stres, trauma, putus asa, dan seterusnya.
Ketiga, Mengambil tindakan konkret, beri bantuan.
Saling menyalahkan bukan sikap bijak dalam menghadapi bencana atau musibah, apalagi bencana dijadikan alasan untuk mengolok-olok pihak tertentu karena perbedaan pandangan politik. Tindakan positif dan konkret justru lebih diperlukan dalam mengatasi situasi tersebut.
Bagi yang tidak menjadi korban banjir, bisa memberikan bantuan fisik berupa pakaian, makanan, air bersih, selimut, tenda, obat-obatan, dan lain sebagainya. Atau bisa juga memberikan bantuan non-fisik seperti data dan informasi yang dibutuhkan untuk penanganan bencana.
Keempat, Berdoa dan berzikir untuk keselamatan.
Doa dan zikir merupakan kunci keselamatan bagi orang yang beriman, termasuk pada saat menghadapi bencana banjir. Nabi Saw. ketika menghadapi hujan dan banjir besar mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, turunkan hujan di sekeliling kami dan jangan jadikan petaka bagi kami.”
Berdoa kepada Allah dan berzikir mengingat-Nya pada saat menghadapi ujian bencana merupakan manifestasi keimanan. Dengan berdoa dan berzikir, seseorang memasrahkan diri kepada Sang Pemilik takdir, sehingga timbullah ketenangan dalam menghadapi dan mengendalikan situasi. Dengan begitu, kita bisa tetap cool menyikapi banjir. Semoga.