Sikap Terhadap Tasawuf, Pandangan Ulama Proporsional yang Moderat
Masih saja ada kelompok di kalangan umat Islam yang membid'ah-bid'ahkan pandangan golongan lain yang tak segaris dengannya. Misalnya, ada yang menganggap dunia sufi atau tasawuf sebagai bid'ah.
Ust Abdul Wahab Ahmad dari Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember memberi pandangan yang cukup menarik untuk menjawab masalah itu dengan sederhana.
Bagaimana seharusnya kita menyikapi para sufi dan tasawuf? Syaikh Ibnu Taymiyah menawarkan pandangan yang proporsional dalam hal ini.
Ia berkata:
فَطَائِفَةٌ ذَمَّتْ «الصُّوفِيَّةَ وَالتَّصَوُّفَ». وَقَالُوا: إنَّهُمْ مُبْتَدِعُونَ خَارِجُونَ عَنْ السُّنَّةِ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ فِي ذَلِكَ مِنْ الْكَلَامِ مَا هُوَ مَعْرُوفٌ وَتَبِعَهُمْ عَلَى ذَلِكَ طَوَائِفُ مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ وَالْكَلَامِ.
Sebuah kelompok mengkritik sufisme dan tasawuf. Mereka mengatakan bahwa sufi adalah ahli bid'ah yang keluar dari sunah (ajaran Nabi) dan hal ini telah dikutip dari sebagian Imam yang isinya dikenal, dan pendapat ini diikuti oleh sebagian kelompok dari ahli fiqih dan ahli kalam.
وَطَائِفَةٌ غَلَتْ فِيهِمْ وَادَّعَوْا أَنَّهُمْ أَفْضَلُ الْخَلْقِ وَأَكْمَلُهُمْ بَعْدَ الْأَنْبِيَاءِ
Kelompok lain melampaui batas dalam memuji mereka dan mengklaim bahwa mereka adalah makhluk yang paling utama dan sempurna setelah para nabi.
وَكِلَا طَرَفَيْ هَذِهِ الْأُمُورِ ذَمِيمٌ. وَ الصَّوَابُ أَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ كَمَا اجْتَهَدَ غَيْرُهُمْ مِنْ أَهْلِ طَاعَةِ اللَّهِ
Kedua pendekatan ini sangat buruk. Yang benar adalah bahwa mereka adalah orang yang berijtihad dalam ketaatan kepada Allah, sebagaimana ijtihad yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lain dari kalangan ahli ketaatan kepada Allah.
(Ibnu Taymiyah, Majmu' Fatawa)
Celaan atau Pujian
Pandangan tersebut moderat, tidak larut pada celaan mutlak atau pujian mutlak. Tindakan dan pendapat para sufi adalah ijtihad yang bisa saja benar dan bisa juga salah, seperti lumrahnya ijtihad.
Tapi saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang lebih ketat soal ini yang membatasi tasawuf pada sikap dan penyucian jiwa yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan sunnah saja. Artinya, kalau tingkah lakunya melenceng maka mereka bukan sufi dan tidak layak disebut sufi sama sekali, namun hanya mengaku-ngaku sebagai sufi. Pendapat ini dinyatakan oleh banyak imam tasawuf sendiri seperti Imam al-Junaid, Al-Ghazali, al-Qusyairi dan lain-lain.
Contoh Kisah Sederhana
Ada kisah disampaikan M Atta Ullah Hanif, menjadi renungan kita bersama dalam menghadapi sikap hidup.
Seorang wanita bertanya: "Berapa harga telur Anda dijual? "
Penjual lama menjawab "50 ¢ satu telur, nyonya.” Wanita itu berkata, “Aku akan mengambil 6 telur seharga $2.50 atau aku akan pergi. "
Penjual tua itu menjawab “Belilah dengan harga yang Anda inginkan, Nyonya. Ini adalah awal yang baik bagi saya karena saya belum menjual satu telur pun hari ini dan saya membutuhkan ini untuk hidup. "
Dia membeli telur-telurnya dengan harga murah dan pergi dengan perasaan bahwa dia telah menang.
Dia masuk ke mobil mewahnya dan pergi ke restoran mewah bersama temannya. Dia dan temannya memesan apa yang mereka inginkan. Mereka makan sedikit dan meninggalkan banyak dari apa yang mereka minta.
Mereka membayar tagihan, yaitu $150. Wanita-wanita itu memberikan $200 dan mengatakan kepada pemilik restoran mewah untuk menyimpan uang receh sebagai tip...
Cerita ini mungkin tampak cukup biasa bagi pemilik restoran mewah, tapi sangat tidak adil bagi penjual telur...
Pertanyaan yang diajukan adalah:
Mengapa kita selalu perlu menunjukkan bahwa kita memiliki kekuasaan ketika kita membeli dari yang membutuhkan?
Dan mengapa kita bermurah hati kepada mereka yang bahkan tidak membutuhkan kemurahan hati kita?
Saya pernah membaca ini di suatu tempat, bahwa seorang ayah biasa membeli barang dari orang miskin dengan harga mahal, meskipun ia tidak membutuhkan barang-barang tersebut. Terkadang dia membayar lebih untuk mereka.
Aku takjub. Suatu hari putranya bertanya kepadanya "Kenapa kamu melakukan ini, Ayah? " Ayahnya menjawab: "Itu sedekah yang dibungkus martabat, nak. "
Saya ingin menantang kita masing-masing untuk melakukan yang lebih baik. Kita bisa melakukannya.
Demikian semoga bermanfaat.