Sikap Gubernur Hentikan 3 Proyek Pelabuhan Perlu Diapresisasi
Sikap Pemprov Jatim menghentikan lelang pekerjaan infrastruktur tiga pelabuhan perikanan perlu diapresiasi. Ada tiga proyek yang sempat dilelang pada saat pandemi COVID-19, tapi kemudian ditinjau ulang.
Ketiga proyek APBD tahun 2020 yang total senilai Rp 71 miliar tersebut masing-masing Pelabuhan Perikanan (PP) Mayangan Probolinggo, Pelabuhan Perikanan Popoh Tulungagung dan Pelabuhan Perikanan Grajagan Banyuwangi.
"Kami mengapresiasi sikap Gubernur Jatim yang membatalkan proyek tersebut, karena menurut kami saat ini sebaiknya memang pemerintah konsentrasi pada penghentian penyebaran COVID-19 yang memerlukan penanganan serius," kata Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan sekaligus juga Sekjen LBH-Maritim Indonesia.
"Sejak tiga tahun lalu pelabuhan perikanan (PP) Mayangan Probolinggo bersama PP Pondokdadap Malang dan PP Tamperan Pacitan berstatus badan layanan usaha daerah (BLUD). PP Mayangan salah satu sentra perikanan tangkap di Jawa Timur hampir setiap tahun dimanja dengan anggaran konstruksi. Dibangun sejak tahun 2000 dan diresmikan 2007 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Mayangan menggerus dana APBD lebih kurang Rp 500 miliar, fantastis. Tahun 2019 mendapat kucuran dana lagi Rp 20 miliar, 2018 Rp 20 miliar, tahun 2017 sebesar Rp 6,6 miliar dan tahun 2015 mendapat lagi Rp 2,5 miliar. Tahun 2020 ini dianggarkan Rp 18 miliar, tapi alhamdulillah dibatalkan gubernur," kata Oki Lukito.
"Awalnya pelabuhan perikanan ini dibangun antara lain untuk memberikan fasilitas kepada nelayan yang selama itu beraktivitas di Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo, yang menjadi pelabuhan umum dikelola Pelindo III. Akan tetapi sampai dengan saat ini belum semua kapal nelayan bersedia mengalihkan aktifitas bongkar hasil tangkapannya di PP Mayangan. Beragam alasan diungkapkan, diantaranya, hasil tangkapan selama melaut lebih cepat menghasilkan uang jika dijajakan di pinggir dermaga. Mereka enggan menjual di TPI, karena hanya berfungsi sebagai tempat penimbangan ikan tetapi harus bayar retribusi, ikan belum tentu laku terjual," tambahnya.
"Sementara mengenai PP Popoh Tulungagung dan Grajagan Banyuwangi, dari pengamatan kami berulangkali ke lokasi, kesimpulannya kedua pelabuhan ini tidak layak dibangun untuk skala besar. Popoh berada di lokasi yang sangat sempit untuk sebuah pelabuhan perikanan. Posisinya berhimpitan dengan area wisata bahari pantai Popoh. Jumlah nelayan dan kapal yang ada tidak signifikan bisa memberikan kontribusi besar untuk masyarakat sekitar dan sumbangan PAD," kata Oki Lukito.
"Karena itu perlu dipertanyakan studi kelayakan PP Popoh yang dalam tiga tahun terakhir ini menghabiskan dana Rp 88, 2 miliar. Tahun 2017 mendapat kucuran dana Rp 33,1 M, tahun 2018 sebesar Rp 35,1 M dan tahun 2019 Rp 20 M. APBD 2020 menganggarkan kembali Rp 18,6 M dan sempat tayang di LPSE sejak awal bulan April 2020," tambahnya.
"Pemprov Jatim selayaknya mengevaluasi pembangunan sejumlah pelabuhan perikanan. Pelabuhan yang menghadap Selat Madura seolah dipaksakan sekaligus diragukan efektifitasnya, mengingat selat ini sudah overfishing sejak 15 tahun lalu dan menjadi areal potensi konflik antarnelayan. Dananya lebih bermanfaat untuk program budidaya yang dalam 5 tahun terakhir ini produksinya menggeliat," katanya.
Salah satu tantangan Dinas Kelautan dan Perikanan lainnya, menurut Oki Lukito, yaitu menstimulan penjualan hasil tangkapan nelayan maupun budidaya dengan harga bersaing selain dituntut menstabilkan harga ikan di saat booming.
"Hal lain yang kerap menjadi sorotan pegiat lingkungan adalah pencemaran pesisiroleh limbah tambak udang yang seertinya sudah lepas kontrol. Ratusan petak tambak udang lama dan cetakan baru sudah terbukti tidak ramah lingkungan serta tidak memiliki izin, tetapi minim tindakan. Itulah yang perlu mendapat perhatian Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jatim. (ist)