Sihir Selebriti
Pada tanggal 3 Mei lalu, pendendang Ed Sheeran tampil di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Malam itu, GBK penuh sesak. Tua, muda, pria, wanita, tumpah ruah.
Sihirnya pelantun “Shape of You” ini sempurna. Kalau lagunya pas hapal, semua penonton berdendang. Gemuruh menderu.
Kadang, GBK bak dipenuhi ribuan kunang-kunang. Itu terjadi, saat penyanyi asal Inggris itu, meminta penonton menyalakan telepon genggam. Mejik. Apa katanya pasti dituruti.
Mungkin, kehebohan dan sihirnya di GBK itu, hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun Pak Prabowo. Saat keduanya berkampanye akbar di GBK. Hore-hore pokoknya. Apa kata mereka, gerakan, atau pekik, pasti ditiru.
Ketiganya selebritis. Tenar, populer, dan penting. Tentu saja, dalam bidang masing-masing. Selebriti, adalah makhluk yang paling berdetak dalam masyarakat kita.
Ketenaran adalah pondasi imaji. Yang pasti, menjadi terkenal berarti hadir untuk banyak orang. Lantas pertanyaanya, seberapa besar ukuran kehadiran mereka?
Untuk menjadi terkenal, mereka harus konstan hadir. Menempatkan diri di mata publik, terus menerus. Bisa melalui beragam medium.
Sayangnya, kadang menghalalkan beragam cara. Kaum selebritis kita hobby membuat isu baru. Hoax salah satu upayanya. Segala daya mengapai puncak kemasyuran.
Satu pertanyaan yang muncul, Apa pengikat emosional antara pesohor dengan penggemarnya?
Ada teori James-Lange yang menyatakan emosi adalah perasaan yang dibentuk oleh perubahan persepsi. Di dalamnya ada kondisi fisiologis yang berkaitan dengan otonom dan motorik. Jadi, kalau ada persepsi, tubuh merespon.
Contohnya, ketika pengemar melihat selebritisnya dalam bahaya. Maka, persepsi ini secara langsung memicu respons tubuh dan kesadaran penggemar. Lantas muncul respons perilaku.
Sayangnya, kadang menghalalkan beragam cara. Kaum selebritis kita hobby membuat isu baru. Hoax salah satu upayanya. Segala daya mengapai puncak kemasyuran.
Kadang bisa berupa amarah atau menghina. Mereka bisa berbuat apa saja bagi junjungannya. Walau, acap kali respon perilaku itu tak masuk akal.
Dalam dinamikanya, media sosial membuat hubungan selebriti dan pengemarnya ke tingkat lebih tinggi. Hubungan jadi lebih personal. Karena pengemar bisa berinteraksi. Mengikuti setiap gerak tanpa henti.
Keterikatan ini membuat hubungan keduanya terasa lengket. Penggemar merasa lebih intim. Merasa lebih nyata hubungannya.
Contoh paling mutakhir, ancaman pembunuhan ke Pak Jokowi itu. Video ancaman viral. Dan sang pengancam, yang konon pengemar Pak Prabowo, akan berakhir di tahanan. Di sisi lain, beratus meme dan video juga menyebar, menyindir Pak Prabowo.
Harap maklum dan tidak gumunan. Karena para penggemar akan suka ria melakukan apa saja demi orang yang dicinta. Hidup mati demi selebriti.
Ajar Edi, kolumnis ngopibareng.id