Siapkan Bekal ke Akhirat, Belajar dari Hidup Prof Mahmud Zaki
Tradisi mengenang seseorang yang telah meninggal dunia menjadi bagian dari aktivitas di masyarakat Muslim di Indonesia. Sejumlah tokoh mengembuskan nafas terakhir, mendapat perhatian dengan acara peringatan.
Dalam masyarakat dikenal dengan acara Tahlilan. Ketika Prof Mahmud Zaki (Rektor ITS 1972-1983), para koleganya pun memperingati dengan acara tersebut. Berikut catatan Ustadz Ma'ruf Khozin, Pengasuh Pesantren Aswaja Sukolilo Surabaya:
Ada undangan doa Tahlil 7 hari untuk Almarhum Prof Mahmud Zaki (Rektor ITS 1972-1983). Saya pun masuk ke tautan link tersebut. Sebab saya sudah 2 tahun lebih jadi jamaah (Subuh) Masjid Manarul Ilmi ITS.
Pembukaan disampaikan Prof Agus Rubiyanto. Dilanjutkan dengan tayangan biografi Almarhum, rintisannya, perjuangannya dan dedikasi beliau. Berikutnya sambutan disampaikan oleh Prof Ashari, Rektor ITS saat ini, mengajak semua Civitas Akademika untuk meneruskan perjuangan Prof Mahmud Zaki.
Bagian penutup biografi Prof Mahmud Zaki ada ungkapan doa yang lazim kita mintakan kepada "Semoga Allah memberi tempat yang mulia di surga".
Dari sinilah pintu masuk Prof Mohammad Nuh memberi sambutan sekaligus pengingat bagi kita semua. Bagaimana kelak kalau kita di akhirat menjadi gelandangan? Tidak memiliki tempat (Bahasa Suroboyo-an: mBambung).
Dengan bahasa akademik beliau mengulas dengan indah dan gamblang. Sayangnya saya tidak bisa menulis seperti yang beliau sampaikan (karena saya tidak memiliki gelar akademik).
Pada intinya begini:
1. Akhir dari kehidupan kita kelak adalah akhirat, Surga. Jangan sampai kita tidak menyiapkan rumah masa depan yang abadi untuk kita tempati.
2. Menyiapkan bekal dan tempat di akhirat di antaranya dengan pasif income (penghasilan tetap). Apa saja itu? Yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya (HR Muslim).
3. Ibarat kekayaan di dunia seperti tanah luas mencapai puluhan hektar, dapat bernilai dan menjadi aset bila memiliki sertifikat. Demikian pula amal ibadah kita dapat tercatat sebagai amal kita bila dilakukan dengan ikhlas.
Prof Nuh membaca ayat terakhir Surat Al-Kahfi:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"... Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Al-Kahf: 110)
Petuah beliau malam itu mengingatkan saya pada ayat berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Al-Qaşaş: 77)