Siapakah Ulama Itu? Penjelasan Tentang Kebijaksanaan Ulama, Sufi dan Filsuf
Belakangan dipertanyakan sederet label tentang ulama, juru dakwah, mubaligh, dan penceramah. Memang, hal ini bermula dari kasus Miftah Maulana, seorang juru dakwah yang memperolok seorang penjual es teh dalam suatu pengajian umum.
Ia melupakan tentang akhlak, ternyata. Padahal, ulama pesantren telah mengajarkan: Ilmu atau akhlak? Mana yang harus didahulukan?
Yang benar, urutannya sebagai berikut:
1. Ilmu akhlak
2. Pengamalan akhlak
3. Ilmu lainnya
4. Pengamalan ilmu lainnya
Guna memahami lebih jauh hal itu, berikut uraian serba singkat dari KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar el-Fikr, Arjawinangun Cirebon.
Kebijaksanaan Ulama, Sufi dan Filsuf.
Pada Kamis, 5 Desember 2024, aku hadir memenuhi undangan "Lembaga Pentashih Buku Konten Keislaman" Majlis Ulama Indonesia di Kantor MUI Pusat, Jakarta. Aku mempresentasikan karyaku "Kebijaksanaan Ulama, Sufi dan Filsuf". Hadir sekitar 50 orang utusan berbagai organisasi Islam.
Aku antara lain menyampaikan :
Seorang sastrawan sekaligus teolog besar, filsuf, Abu 'Amr al-Jahizh menulis tentang buku dan pena:
القلم ابقى اثرا واللسان اكثر هذرا
لولا الكتاب لاختلت اخبار الماضين
وانقطع اثر الغائبين
وانما اللسان شاهد لك /للحاضر
والقلم للحاضر وللغائب عنك
الكتاب يقرا فى كل مكان
ويدرس في كل زمان
Jejak goresan pena lebih abadi
Suara lidah acap tak jelas
Andai tak ada buku
Tak lagi ada cerita masa lalu
Dan terputuslah jejak
mereka yang telah pulang
Kata-kata hanyalah untuk yang hadir
Pena untuk yang hadir dan yang tak hadir
Buku dibaca di segala ruang
Dikaji di segala zaman.
Lalu aku bilang buku ku ini memuat Kebijaksanaan Para Filsuf Yunani dan Ulama Sufi. Antara lain, Hermes, Socrates, Plato, Aristo, Plotinus, Marcus Aurelius, Rabi'ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bisthami, Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Arabi, Maulana Rumi, dll.
Pikiran-pikiran para ulama dan sufi tersebut memeroleh inspirasi dari pikiran-pikiran Neoplatonisme, melalui, terutama Plotinus.
Adalah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (634-704 M ) yang disebut sejumlah penulis sebagai orang pertama yang memperkenalkan pemikiran filsafat Neoplatonisme di dunia muslim. Ia pernah mengembara ke Iskandaria dan belajar di perpustakaan di sana. Plotinus filsuf yg mengembangkan filsafat Neolatonisme, belajar pada sejumlah filosof pengikut Platon di sana.. Di tempat itu, ia mempelajari sekaligus menerjemahkan buku-buku filsafat, kedokteran, astronomi, sastra dan sebagainya.
Begitulah. Cukup sedikit saja.
Siapakah Ulama?
Lanjutan Presentasi Buku "Kebijaksanaan Ulama, Sufi dan Filsuf"
Kemudian aku menyampaikan sebuah hadits Nabi yang cukup populer :
عن أبي ذر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إنكم اليوم في زمان كثير علماؤه قليل خطباؤه، وسيأتى زمان كثير خطباؤه قليل علماؤه.
"Hari ini kalian berada di zaman banyak ulama tetapi sedikit pandai pidato. Kelak akan datang kepada kalian suatu zaman banyak pandai pidato dan sedikit ulama.
Ada riwayat lain dari sahabat Nabi Ibnu Mas'ud, dengan redaksi :
ابن مسعود قال: " إِنَّكُمْ فِي زَمَانٍ: كَثِيرٌ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيلٌ خُطَبَاؤُهُ، قَلِيلٌ سُؤَّالُهُ، كَثِيرٌ مُعْطُوهُ، الْعَمَلُ فِيهِ قَائِدٌ لِلْهَوَى. وَسَيَأْتِي مِنْ بَعْدِكُمْ زَمَانٌ: قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيلٌ مُعْطُوهُ، الْهَوَى فِيهِ قَائِدٌ لِلْعَمَلِ،
"Kalian berada di zaman banyak fuqoha, ahli hukum dan sedikit yang pandai pidato. Sedikit orang yang minta-minta, banyak orang yang memberi, tanpa keinginan dipuji. Kelak akan datang suatu zaman, sesudah kalian, sedikit ahli fiqh, banyak pandai pidato. Banyak orang yang meminta-minta, sedikit orang yang memberi sambil berhasrat dipuji".
Di negeri mayoritas muslim ini, tampak kita menyaksikan apa yang disampaikan Rasulullah tersebut. Paling tidak begitulah yang saya rasakan. Kaum intelektual tenggelam dan tak banyak peminat, tak menarik publik. Buku karya mereka tak laku.
Nah, usai acara ditutup dan dilanjutkan dengan foto bersama aku keluar bersama teman-teman peserta. Salah seorang bertanya :
Lalu siapakah ulama itu?. Apa ciri-cirinya/indikator nya?.
Aku ingat ulama besar asal Yaman, Abdullah Al-Haddad, dalam kitabnya yang sangat terkenal dan dijadikan sumber pengetahuan etika di pesantren, "An-Nashaih ad-Diniyyah", menyebut sejumlah tanda/ciri ulama:
فمن علامات العالم : ان يكون خاشعا متواضعا خاءفا مشفقا من خشية الله زاهدا فى الدنيا قانعا باليسير منها منفقا الفاضل عن حاجته مما فى يده. ناصحاً لعباد الله. رحيما بهم أمرا بالمعروف ناهيا عن المنكر. مسارعا فى الخيرات ملا زما للعبادات . ووقار واسع الصدر لا متكبرا ولا طامعا فى الناس ولا حريصا على الدنيا ولا جامعا للمال ولا مانعا له عن حقه ولا فظا ولا غليظا ولا مماريا ولا مخاصما ولا قاسيا ولا ضيق الصدر ولا مخادعا ولا غاشا ولا مقدما للاغنياء على الفقراء ولا مترددا الى السلاطين”
Tanda/ciri orang alim (ulama) antara lain : pembawaannya tenang, rendah hati, selalu merasa takut kepada Allah, bersahaja, “nrimo”, suka memberi, membimbing umat, menyayangi mereka, selalu mengajak kepada kebaikan dan menghindari keburukan/maksiat, bersegera dalam kebaikan, senang beribadah, lapang dada, lembut hati, tidak sombong, tidak berharap pada pemberian orang, tidak ambisi kemegahan dan jabatan, tidak suka menumpuk-numpuk harta, tidak keras hati, tidak kasar, tidak suka pamer, tidak memusuhi dan membenci orang, tidak picik, tidak menipu, tidak licik, tidak mendahulukan orang kaya daripada orang miskin, dan tidak sering-sering mengunjungi penjabat pemerintahan/penguasa”.
Sementara Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebut sifat-sifat/ciri-ciri tambahan bagi seorang ulama sebagai berikut :
واعلم ان اللائق بالعالم المتدين ان يكون مطعمه وملبسه ومسكنه وجميع ما يتعلق بمعاشه فى دنياه وسطا. لا يميل الى الترفه والتنعم .
“Ketahuilah, bahwa yang patut/pantas disebut ulama ialah orang yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya (rumah) dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, adalah sederhana, tidak bermewah-mewahan dan tidak berlebihan dalam kenikmatan.
Lain lagi pendapat Maulana Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar. Saat ditanya santrinya, “Siapakah yang disebut ulama?
Ia tak mendefinisikannya, tetapi memberikan contoh (perumpamaan) yang amat menarik tentang siapa orang alim (orang berilmu) itu. Dalam bujunya yang terkenal "Fihi Ma Fihi", Maulan mengatakan :
“Dia bagaikan pohon yang ditanam di tanah yang subur. Tanah itu menjadikan pohon tersebut berdiri kokoh dan kuat dengan daun-daun yang menghijau dan merimbun. Lalu ia mengeluarkan bunga dan menghasilkan buah yang lebat. Meski dialah yang menghasilkan bunga dan buah itu, tetapi ia sendiri tak mengambil buah itu. Buah itu untuk orang lain atau diambil mereka. Jika manusia bisa memahami bahasa pohon itu, maka dia sesungguhnya berkata :
نحن تعلمنا ان نعطى وما تعلمنا ان ناخذ
“Kami belajar untuk memberi tidak untuk mengambil/meminta”
Dan di buku itu juga Rumi menyampaikan kata-kata yang sangat menarik.
فالعالِم هو محل الزيارة والأمير هو الزائر
Sepatutnya ulama itu dikunjungi pejabat pemerintah bukan sebaliknya, kecuali untuk kepentingan menasehati. (06.12.24/HM)