Siapa Yang Mengundang Ketua Partai Komunis Vietnam?
INDONESIA itu negara besar di dunia dalam berbagai ukuran tak ada yang meragukan. Negara sekecil apapun memiliki martabat, kehormatan dan kebanggaan yang harus direspek, apalagi negara besar.
Saya ingin berkomentar tentang kunjungan Ketua Partai Komunis Vietnam (PKV), Mr. Nguyen Phu Throng beserta sejumlah menteri, yang ramai dibahas di media sosial. Saya ingin melihat secara proporsional saja, dan tak mau terlibat dalam perdebatan kusir bahkan melenceng dari topik bahwa ini berkaitan dengan mulai maraknya pengaruh komunisme di Indonesia. Ini soal hubungan antar negara.
Pertama, dalam soal hubungan antarnegara itu masing-masing negara berdaulat ke dalam. Apapun sistem ideologi, politik, ekonomi atau sosial yang mereka anut. Jadi, jika kita menganut Pancasila maka itu adalah hak-eksklusif dan keputusan berdaulat kita. Jika Vietnam tetap menganut komunisme, maka itu juga urusan mereka sendiri. Jika Ketua PKV memiliki kekuasaan ‘most powerful’ itu sistem mereka yang menentukan. Kita tidak berhak mengatur.
Kunjungan Ketua PKV itu sendiri istimewa, setidaknya di mata Vietnam. Dalam konteks bilateral, kunjungan ini terjadi setelah lebih dari 50 tahun, sehingga memiliki bobot (weight) yang besar.
Kedua, intention menjadi penilai penting dalam hubungan antar negara. Intention ini bisa dilihat dari kerangka sejarah dana persahabatan di antara mereka. Tidak ada historical animosity dalam sejarah hubungan kedua negara. Persahabatan kita kita dengan Vietnam berlangsung sejak zaman Bung Karno. Secara ideologis dan politis kita mendukung kemerdekaan Vietnam yang dalam sejarah yang panjang: mulai Prancis, dilanjutkan oleh Amerika Serikat jutaan pejuang dan rakyat Vietnam tewas.
Kita membuka kedutaan besar di Vietnam Utara (Hanoi, komunis) dan Vietnam Selatan (Saigon, pro Amerika). Selama ini tidak ada masalah dalam hubungan antar kedua negara, bahkan kian erat dengan lancarnya kerjasama ekonomi. Dalam konteks ASEAN, Vietnam adalah salah satu ‘sekutu’ Indonesia yang saling-mendukung, termasuk soal Laut China Selatan. Jika kita pernah bermasalah di masa lampau dengan beberapa negara, maka kita tidak memiliki masalah apapun dengan Vietnam
Ketiga, negara bekerjasama untuk sesuatu yang menjadi kepentingan bersama. Kedua negara mengembangkan hubungan ekonomi yang meningkat 4 kali lipat dalam kurun 10 tahun. Jika dilihat dari hubungan ekonomi, perdagangan dan in vestasi kedua negara telah mencapai angka USD. 6,27 billion —lebih besar dari Jerman, Inggeris dan Prancis—yang diperkirakan akan mencapai USD. 10 billion dalam tahun 2018.
Terus, apa yang salah sehingga kunjungan Ketua PKV itu dipersoalkan oleh sebagian warga kita? Saya kira, jika kita memandang kunjungan ini dari kacamata ideologis maka kita keliru. Tidak ada bobot ideologis dalam kunjungan ini. Muatannya politis dan ekonomis.
Saya mencoba melihat dari aspek keprotokolan. Memang ada ‘kejanggalan’. Format kunjungan ini tidak masuk dalam kategori keprotokolan kita. Pertama, harus jelas siapa yang mengundang. Jika Presiden Jokowi menjadi tuan-rumah maka pengundang adalah Presiden R.I., sedangkan yang diundang adalah Ketua PKV. Tidak sepadan.
Seyogianya, karena kunjungan partai, maka partai-lah yan menjadi pengundang. Yang paling rasional pengundang adapa PDIP. Tetapi, di tengah kekhawatiran rakyat atas meningkatnya komunisme mungkin PDIP menjadi ragu, karena ada taruhan citra dan dalam kaitan pemilu 2019.
Di zaman Uni Soviet dulu, seorang Sekjen Partai (jabatan tertinggi di PKUS) juga segera diberi gelar formal —biasanya menjadi presiden atau merangkap ketua Majelis Tinggi—sehingga berbagai pertemuan formal dapat dilakukan.
Dalam konteks Vietnam, seperti penjelasan Dubes Ibnu Hadi, Ketua PKV itu jabatan (lebih tepat kekuasaan) tertinggi, melebihi presiden atau perdana menteri. Karena itu, seorang Ketua PKV memiliki otoritas dalam menentukan kebijakan negara.
Mungkin betul. Hanya saja, jika tanpa dilengkapi dengan jabatan formal kenegaraan maka sulit untuk menentukan format keprotokolannya. Yang terjadi adalah komplikasi. Di satu pihak, Ketua PKV adalah jabatan powerful untuk memutus masalah-masalah terpenting dalam konteks hubungan luar negeri, namun di sisi lain sulit untuk menemukan padanannya dalam konteks struktur kenegaraan.
Dalam pembicaraan rencana kunjungan bilateral, biasanya yang pertama kali diputuskan adalah format kunjungan: state visit (kenegaraan), official visit (resmi), working visit (kunjungan kerja), atau private visit (kunjungan pribadi). Yang terakhir, meskipun tidak masuk dalam kategori kunjungan bilateral tetapi perlakuan khusus diberikan untuk mencegah hal-hal negatif yang muncul dan karena kapasitas yang bersangkutan memiliki pengaruh besar di negerinya.
Karena kapasitas Mr. sebagai Ketua PKV maka terjadi komplikasi. Jika menyatakan bahwa tuan-rumah kunjungan adalah Presiden R.I., maka munculnya komplikasi pertama bahwa kedua jabatan ini tidak compatible dalam kerangka tata-negara maupun keprotokolan Indonesia.
Idealnya memang Mr. menjabat kekuasaan formal sebagai Presiden atau Perdana Menteri sehingga komplikasi dapat dihindari.
Namun, dengan jabatan hanya Ketua PKV, maka seyogianya yang menjadi tuan-rumah kunjungan adalah the ruling-party atau PDIP. Ketidaktegasan ini memicu rumor di media sosial yang seyogianya tidak perlu terjadi.
Kunjungan bilateral dipersiapkan secara rahasia, termasuk format, keprotokolan maupun substansinya. Jelas ‘komplikasi’ hanya di bidang keprotokolan. Dalam konteks ini, ‘kesepakatan’ antara kedua pihak menjadi terpenting. Hanya saja, bicara soal keprotokolan ada standar resmi, juga tradisi, kebiasaan, dan perlakuan karena keadaan khusus.
Mungkin –meskipun ini soal kecil—karena menyangkut komplikasi politik di dalam negeri dan standar keprotokolan yang berlaku barangkali ke depan kita harus cermat mengemas kunjungan seperti ini sehingga tidak menimbulkan pertanyaan bahkan spekulasi di masyarakat.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.
Advertisement