Siapa yang Bakal Maju, SBY atau AHY?
Oleh: Erros Djarot
Beberapa hari menjelang dibukanya pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, penampilan figur SBY sebagai politisi begitu menonjol bermain di arena tempur Pilpres 2019. Saking dominannya penampilan SBY yang mewarnai seluruh gerak Partai Demokrat, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat umum; Prabowo nanti berpasangan sama SBY atau AHY, sih?
Pasalnya, figur AHY yang konon ditawarkan Partai Demokrat untuk mendampingi Prabowo sebagai cawapres, sama sekali tak terdengar suaranya. Hanya suara, pernyataan, sikap politik dan penampilan SBY yang begitu heboh tampil di berbagai arena politik yang diliput berbagai media jelang hari-hari dibukanya pendaftaran capres dan cawapres.
Bila pada akhirnya AHY yang muncul sebagai Cawapresnya Prabowo, SBY tidak perlu resah bila komentar publik miring menyambut kemunculan AHY sebagai cawapres. Pasalnya, sebagai calon wakil presiden kehadirannya tak lebih seperti seorang bocah yang ditenteng sang ayah masuk ke gelanggang permainan. Label sebagai figur ‘anak bapak’ pun, pasti dilekatkan pada figur AHY.
Hal mana merupakan reaksi publik yang selama ini hanya disuguhi penampilan SBY yang menenggelamkan eksistensi seluruh politisi Partai Demokrat, termasuk AHY, lakon yang konon dijagokan untuk tampil sebagai cawapres dari kubu Partai Demokrat.
Dengan realita penampilan SBY yang begitu menonjol, dominan dan meyakinkan, di kalangan para pengamat dan beberapa pensiunan jenderal yang usil, justru mendorong SBY agar mau kembali maju mencalonkan diri. Syukur-syukur sebagai capres, minimal sebagai cawapres.
Pertimbangannya sangat sederhana, mereka tidak bisa membayangkan bila AHY yang maju mendampingi Prabowo. Karena bila menang, maka seorang kolonel yang kelak bertugas menjadi ajudan sang Wakil Presiden, Pak AHY, kebayang bagaimana sang kolonel bakal canggung untuk setiap saat harus memberi hormat-salut kepada mantan seorang mayor, bawahan-juniornya, yang kini menjadi bosnya.
Apa lagi bagi para pensiunan perwira tinggi maupun jenderal aktif yang dulu mantan bos alias seniornya. Maklum, di kalangan militer masalah senioritas dan hirarki kepangkatan masih begitu membudaya untuk dipelihara sebagai tradisi; dimana bawahan atau yang yunior menghormati para atasan atau seniornya.
Belum dapat membayangkan bagaimana para jenderal ini harus selalu memberi salut-penghomatan pada sang junior yang level kepangkatannya sangat jauh di bawah mereka. Sekali pun mereka tahu bahwa AHY yang sekarang, sudah 100 persen tampil sebagai seorang warga sipil. Maka dari mulut mereka yang resah terlontar ucapan; wah, ini bisa merusak etika dan tatanan hirarki junior-senior dalam tradisi angkatan, terutama di Angkatan Darat yang ketat mempertahankan tradisi ini.
Walau sebenarnya dalam permainan di dunia politik yang hiper liberal ini, apa salahnya AHY? Tidak ada aturan dan perundangan yang AHY langgar. Jadi masalahnya hanya sebatas ‘pelanggaran’ etika. Hanya akan menjadi masalah ketika yang jadi pijakan adalah moral value dalam dunia kemiliteran.
Lain lagi dalam dunia kepartaian di wilayah sipil. ‘Pemaksaan’ dimunculkannya AHY sebagai cawapres, bila terjadi, hal ini merupakan pendidikan politik yang buruk bagi kehidupan berpartai dalam alam demokrasi yang sehat. Penilaian ini menjadi gunjingan para pengamat politik dan pegiat demokrasi yang mengamati jalur munculnya AHY sebagai cawapres, bila kelak AHY sebagai cawapres menjadi kenyataan.
Pasalnya karir AHY sebagai politisi, aktivis, kader, maupun fungsionaris partai, belum ada catatan kejenjangannya sama sekali. Hanya karena ia putra sulung dari seorang Ketua Umum dan pendiri partai Demokrat, AHY langsung melejit menjadi cawapres dari kubu Partai Demokrat. Hal ini memperkuat kesimpulan banyak pengamat yang mengatakan bahwa dewasa ini institusi partai sudah menjadi milik orang perorang. Bukan lagi sebagai lembaga demokrasi sebagaimana harapan.
Bila hal ini terus dibiarkan, maka partai yang menjadi tonggaknya demokrasi akan kehilangan maknanya, sehingga kelak banyak lagi para cukong yang berduit akan mendirikan partai dengan tujuan untuk dijadikan kendaraan politik pribadi maupun kelompoknya. Hal mana telah menggejala dan ramai tumbuh di permukaan dunia politik nasional. Beberapa partai baru sangat kuat mengindikasikan hal ini.
Belum lagi partai-partai lama yang juga memelihara aroma ‘Partai X adalah Aku, dan Aku adalah partai X’—yang merupakan anak kandung dari…l’Etat c’est moi’. Mengerikan..!
Yang bisa kita ingatkan bersama; silahkan bercapres dan bercawapres ria, tapi jangan tenggelamkan masa depan dunia politik dan kualitas demokrasi Indonesia!
*Dikutip sepenuhnya dari watyutink.com.