Siap Perang Jika Ada Pihak Yang Mau Merebut Gedung Setan
Keberadaan Gedung Setan sangat familiar bagi masyarakat Surabaya. Khususnya yang tinggal di Kupang, Banyu Urip sekitarnya. Itu karena keberadaan gedung yang dibangun J.A. van Middlekoop pada 1809 sangat mencolok. Paling menjulang dari semua bangunan di sekitarnya. Sejak dibangun hingga kini kondisinya tak berubah. Kuno, kumuh, tak terawat , kesan angker, tapi sarat sejarah.
Bau pengap menyergap begitu masuk gedung yang tampak besar saat dilihat kejauhan. Namun saat masuk ke dalam begitu sesak. Lorong gelap berukuran 2 meter. Cahaya remang-remang sinar lampu sebuah ruangan yang tetap dinyalakan. Bilik-bilik kamar dari tripleks luasnya variatif menghiasi lorong gedung. Bilik-bilik itu menjadi rumah penghuni Gedung Setan. Ada sedikitnya 53 keluarga menempati bilik-blik tersebut.
Siang itu, sebagian pintu bilik-bilik tampak tertutup. Pintu bilik ada yang dikunci. Sang penghuni kebanyakan sedang bekerja. Kalau pun ada penghuninya biasanya memilih mengurung di dalam. Ketika ngopibareng.id mencoba bertemu dengan salah satu penghuni yang kebetulan di depan bilik, penghuni itu langsung menunjuk seseorang yang sedang santai, duduk di dekat kamar mandi umum. "Itu orangnya yang lagi duduk. Namanya Pak Sutikno Djijanto. Beliau pengurus Gedung Setan," ujar laki-laki itu.
Ngopibareng.id langsung mendatangi laki-laki yang duduk di dekat kamar mandi lalu menyapa dan memerkenalkan diri dengan Djie Djan Tik atau yang akrab dipanggil Sutikno Djijanto atau Sutikno. "Tapi, saya nggak bisa nemani lama-lama. Ada janjian ketemu teman," ujar Sutikno.
Sutikno sendiri menempati bilik yang berukuran 3 x 6 meter yang berada antara tangga ke lantai dua dengan kamar mandi umum. Tampak ruangan bilik yang sempit dan berbagai alat pertukangan miliknya berserakan. Sebuah akuarium tak terpakai, kaca, lemari juga mengisi ruangan. "Saya pemborong kecil kecilan. Jadi, sisa bahan bangunan saya bawa pulang. Mungkin bisa dimanfaatkan," aku bapak tiga anak itu.
Ruangan itu pun juga tempat keluarga Sutikno tidur. "Tidur ya di situ," ujarnya sambil menunjuk ruang kosong sedikit yang berada di pojokan kamar. Tempat bilik Sutikno ini bangunan lawas. Plafon tampak jebol di sana sini. Tripleknya sudah tua, mrotoli dan tampak compang camping terkena air hujan karena genteng bocor. Warna batu bata tembok tampak kusam dan mengelupas di sana sini. "Sejak dibangun sampai sekarang temboknya ya tetap begini," aku Sutikno.
Bangunan peninggalan zaman Belanda sangat terkenal kokoh. Pilar atau penyanggah beton Gedung Setan terlihat kokoh dan besar. Juga artistik karena ada ukiran atau relief.
Penulis kemudian diberi kesempatan melihat-lihat kondisi peninggalan Belanda ini. Termasuk ke lantai dua. Terdapat tangga dari kayu. Sedikitnya ada 34 anak tangga yang harus ditapaki menuju lantai 2. Kondisi Gedung Setan lantai dua sedikit agak terang. Saat menaiki tangga terang mentari mulai menyusup ke celah gedung dari beberapa jendela kaca di atas tangga.
Alas lantai dua terbuat dari kayu jati. Warnanya kusam, kotor dan berdebu. Kalau diinjak lebih keras ada sedikit goyangan. Namun di lantai dua bisa sedikit bernafas lega karena agak lapang. Bentuknya semacam aula. Luasnya kurang lebih 15 x 15 meter. Warga Gedung Setan menyebut sebagai Gereja yang biasa digunakan kebhaktian penghuni setiap Sabtu.
Juga ada poster gambar Yesus menempel di dinding. Di ruangan ini tampak lebih terang. Dari kaca jendela terlihat fly over Banyu Urip yang dipadati kendaraan. Sama di lantai satu, di lantai dua kondisinya juga tampak kumuh. Cat cat tembok yang kusam dan mengelupas. Ditambah ada beragam barang milik penghuni berserakan.
Di lantai dua juga disekat triplek-triplek menjadi bilik kecil berukuran 3 x 6 meter. Siang itu, sebagaian tertutup karena penghuninya sedang bekerja. Hanya beberapa bilik ada penghuningnya. Salah satunya keluarga Lilik. "Saya di sini sejak 1973. Ibu saya Ambon, sedangkan bapak dari Jogja keturunan China," kata Lilik.
Dulu, kata Lilik, kalau sudah malam jarang ada yang berani naik ke lantai dua. Sangat sepi dan serem. Sekarang sudah banyak penghuninya. Aula dulu sangat luas. Lalu pinggirnya disekat-sekat untuk dijadikan bilik-bilik karena penghuni bertambah anak-anak penghuni menikah dan tetap memilih tinggal di Gedung Setan. "Jadinya, ya seperti sekarang," kata ibu dua anak itu.
Gedung Setan ini dibangun seorang warga Belanda bernama J.A. van Middlekoop pada tahun 1809. Lalu, gedung dibeli dr Teng Khoen Gwan (Gunawan Sasmita) sekitar 1945. Konon gedung ini jadi tempat transit jenasah sebelum dimakamkan di pekuburan China. Dahulu sekitar gedung ini menjadi tempat pengungsi keturunan Tionghoa yang rumahnya rusak akibat jadi sasaran perang.
Sejak itulah Gedung Setan jadi tempat penampungan pengungsi umumnya keturunan Tionghoa. Semula hanya dihuni 25 kepala keluarga. Saat ini penghuni merupakan keturunan warga yang dulu sebagai pengungsi. "Semua penghuni saat ini masih ada hubungan keluarga dengan pengungsi pertama," ujar Sutikno.
Pengurus pertama adalah Handoko, yang tak lain ayah Sutikno Djijanto. Handoko mendapat mandat dari pemilik Gedung Setan dr Teng Khoen Gwan (Gunawan Sasmita) untuk merawat dan menjaganya. Setelah Handoko mangkat pengurus berikutnya Adi Utomo. Setelah Adi Utomo meninggal kepengurusan Gedung Setan diserahkan ke Sutikno Djijanto hingga sekarang. "Meski bukan pemilik kami para penghuni berkewajiban merawat dan menjaga gedung ini," kata Sutikno.
Sutikno menambahkan gedung ini adalah pemilik nenek moyangnya. Ada ahli warisnya. Juga ada surat-suratnya. Hanya saja Sutikno tidak tahu keberadaan ahli waris dari dr Teng Khoen Gwan (Gunawan Sasmita). Dulu sempat muncul kabar nama Romo Santoso seorang pendeta di Gereja Jalan Widodaren, dikabarkan sebagai ahli waris dr Teng Khoen Gwan. Tapi, belum sempat dikonfirmasi yang bersangkutan keburu meninggal duluan.
Terkait penamaan Gedung Setan lanjut Tik, itu karena saat tahun 1948 keberadaan sekitar gedung masih hutan belantara. Di sekeliling gedung juga ada makam China. Ditambah gedung belum dialiri listrik. Jadi, kalau malam benar-benar gelap. Penerangan hanya mengandalkan lampu ublik, atau lampu strongking atau nama lain petromak. "Listrik kan baru masuk gedung sekitar tahun 1960 ke atas," tutur Tik.
Lambat laun seiring perkembangan jaman sekitar Gedung Setan semakin ramai. Makam China sekitar Gedung Setan lambat laun berubah jadi pemukiman. Sampai akhirnya, makam tersebut benar-benar hilang. Tapi, sebutan Gedung Setan tetap melekat. Kini keberadan Gedung Setan yang berada di tengah kota secara bisnis nilainya sangat tinggi. Karena itu, setelah reformasi ada beberapa pihak ingin memiliki Gedung Setan dengan cara ilegal, menghalalkan segala cara. Termasuk dengan kekerasan dan intimidasi.
"Sedikitnya ada tiga orang yang mengaku pemilik sah tapi tanpa dilengkapi dokumen. Makanya, dilawan para penghuni," kata Sutikno.
Yang pertama adalah RM Solihin, warga Bangkalan Madura. Kata Solihin, pemilik Gedung Setan punya hutang. Tapi, setelah ditanya surat-surat dan bukti, Solihin tidak bisa menunjukan. Itu artinya yang bersangkutan main klaim saja tanpa bisa menunjukkan bukti secara hukum.
Maka, penghuni Gedung Setan tidak bisa menerima klaim Solihin meski kedatanganya disertai beberapa aparat. Setelah kasus klaim Solihin reda, muncul klaim dari Soni, warga Jakarta yang katanya sebagai pewaris sah Gedung Setan. Soni tak hanya membawa puluhan aparat sipil, militer dan para preman. Tapi, juga melengkapi dengan surat keputusan dari MA yang memerintahkan Gedung Setan segera dieksekusi dan penghuninya diminta keluar.
Tapi, setelah diminta menunjukkan bukti surat surat kepemilikan Gedung Setan, dimana batas tanah dan wilayahnya, bagaimana sejarah kepemilikan Gedung Setan dan bagaimana silsilah atau riwayat ahli waris, Soni tak bisa bercerita dan menunjukan buktinya. Maka, penghuni Gedung Setan pun melawan karena klaim itu diragukan dan hanya mengaku aku saja. Tak hanya penghuni Gedung Setan, warga kampung sekitar Gedung Setan yang meliputi empat RT juga bergabung melawan Soni.
Luas Gedung Setan sekarang menyusut tinggal 500 meter persegi. Tapi, areal kepemilikan Gedung Setan luasnya mencapai 7000 meter persegi. Itu yang kini berubah jadi pemukiman warga. Soal kebenaranya, tentu harus dibuktikan secara hukum. Saat itu suasana benar-benar panas saat Soni memaksakan ingin memiliki Gedung Setan. Penghuni Gedung Setan dan warga sekitar siap perang, mempertahankan keberadan Gedung Setan. "Penghuni siap perang saat itu. Dan, siap melawan siapa pun yang mencoba mengambil alih Gedung Setan secara ilegal," kata Sutikno.
Beruntung tidak berujung bentrokan. Sebab, seorang penghuni Gedung Setan yang punya saudara di Jakarta meminta tolong PT Waringin Grup yang punya kenalan seorang Jendral. Jendral tadi lewat orang-orangnya mengecek klaim Soni atas kepemilikan Gedung Setan. Akhirnya, petinggi tentara memerintahkan semua aparat ditarik dari Gedung Setan.
Rupanya Soni tak putus asa. Lewat seorang pejabat oknum pemkot Surabaya, Soni mencoba mengintimidasi para penghuni. Tapi, setelah Sutikno menceritakan sejarah Gedung Setan serta kepemilikkanya, Soni pun mundur teratur. Dengan cara keras tidak mempan, akhirnya Soni diduga mengutus orang lain lagi. Seseorang tak dikenal menelpon Sutikno. Intinya, orang tadi menawarkan Rp 1 miliar kalau Sutikno mau membujuk penghuni Gedung Setan keluar dari gedung.
Sutikno menegaskan dirinya bukan type orang yang mudah terpengaruh bujuk rayu, ia rela mati bersama para penghuni melawan kepada seseorang yang mencoba menguasai Gedung Setan dengan cara cara ilegal dan kekerasan. "Saya siap mati dan berdiri di depan jika ada yang mencoba merebut Gedung Setan secara ilegal," akunya.
Apakah selama ini tidak ada pengusaha, pengembang yang ingin membeli baik-baik Gedung Setan? Sutikno mengaku ada beberapa, tapi, kalau hanya membeli Gedung Setan yang luasnya sekitar 500 m2 secara bisnis jelas rugi. Belum lagi ganti rugi terhadap para penghuni yang sudah puluhan tahun menghuni lokasi itu. Nilai uang yang dikeluarkan dengan tanah yang dibebaskan tidak sebanding.
Kecuali jika pemukiman sekitar Gedung Setan ikut dibeli, dan dibebaskan. Lalu dibangun gedung pencakar langit. Itu secara bisnis baru menguntungkan. Tapi, pembebasan lahan kan juga tidak gampang. Belum lagi, ganti rugi para penghuni Gedung Setan nilainya juga tidak sedikit . "Ya, minimal dapat ganti rugi rumah type 45," kelakar Sutikno. (Bahari)