Si Tukang Tidur dan Gerbang Surga, Kisah Sufi
Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan.”—Ibnul Qoyyim
Zaman dahulu kala, konon ada seorang lelaki yang memungkinkannya layak masuk surga. Sebab segala syarat untuk memasuki syurga-Nya sudah terpenuhi. Dia baik hati. Suka menolong orang yang membutuhkan bantuannya, tak terkecuali orang-orang miskin yang ia temui. Ia begitu mengasihi semua makhluk, dan melayani mereka.
Mengingat pentingnya kesabaran, ia bertahan menanggung kesulitan besar yang terkadang tak terduga, dan sering kali ini dilakukannya demi kebahagian orang lain. Ia pun berkelana ke berbagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan. Kerendahan hati dan perilakunya yang pantas ditiru dikenal dari Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan; orang-orang memujinya sebagai seorang bijaksana dan warga yang baik.
Segala kebajikan ia jalankan kapan pun ia ingat untuk melakukannya. Namun, ia mempunyai satu kekurangan yaitu kurang perhatian. Kecenderungan ini memang tidak begitu kuat, ia menyadarinya, dan bila dibandingkan dengan semua kelebihannya, kekurangan itu sungguh hanyalah cacat kecil saja.
"Ada sejumlah orang miskin yang belum ditolongnya, sebab dari waktu ke waktu ia kurang perhatian terhadap kebutuhan mereka. Cinta kasih dan pelayanan pun kadang terlupakan apabila apa yang dipikirkannya adalah keperluan atau hasrat pribadi yang muncul dalam dirinya."
Ada sejumlah orang miskin yang belum ditolongnya, sebab dari waktu ke waktu ia kurang perhatian terhadap kebutuhan mereka. Cinta kasih dan pelayanan pun kadang terlupakan apabila apa yang dipikirkannya adalah keperluan atau hasrat pribadi yang muncul dalam dirinya.
Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang ketika ia sedang tidur, kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya, atau melaksanakan kerendahan hati, atau menambahkan jumlah tindakan-tindakannya yang baik, kesempatan-kesempatan serupa itu lewat begitu saja, dan tidak kembali lagi.
Sama seperti karakternya yang baik meninggalkan kesan pada diri sejatinya, begitu pula karakternya yang buruk tadi.
Kemudian, ia meninggal. Menyadari dirinya berada di alam baka, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman Bertembok, orang itu berhenti sebentar. Ia menguji kata hatinya. Ia merasa mempunyai kesempatan yang besar untuk memasuki Gerbang Mulia itu.
Tiba-tiba, dilihatnya gerbang itu tertutup. Lalu terdengar suara berkata kepadanya, “Berjaga-jagalah senantiasa; sebab gerbang ini hanya terbuka sekali dalam seratus tahun.”
Ia pun tinggal di sana menunggu, penuh gairah menantikan dibukanya kembali gerbang tersebut. Tetapi, mengabaikan kesempatan untuk melakukan kebajikan bagi manusia, ia mendapati bahwa kemampuannya untuk memperhatikan tidaklah cukup bagi dirinya.
Setelah berjaga terus selama waktu yang rasanya sudah seabad, kepalanya terkantuk-kantuk. Segera saja kelopak matanya menutup. Dan dalam saat yang sekejap itu gerbang pun terbuka. Sebelum mata lelaki itu benar-benar terbuka kembali, gerbang itu pun tertutup dengan suara gemuruh yang cukup dahsyat untuk membangunkan orang mati.
Catatan:
Kisah ini, dipetik dari Kisah Sufi karya Idries Shah, merupakan bahan ajaran darwis yang disukai, kadang- kadang disebut ‘Perumpamaan tentang Kurangnya Perhatian.’ Walaupun dikenal sebagai cerita rakyat, asal usulnya tidak diketahui.
Bentuk sastra yang ditampilkan di sini berasal dari karya seorang darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil-Baba, yang naskah-naskahnya menekankan bahwa ‘pengarang sejati adalah dia yang karangannya tanpa nama karena dengan cara itu tak ada yang berdiri di antara pelajar dan yang dipelajarinya.’ (adi)