Si Tou Timou Tumou Tou
KALAU anda baru pertama kali ke Manado dan masuk melalui bandar udara Sam Ratulangi, di sekitar bandara, anda akan menemukan tulisan, “Si Tou Timou Tumou Tou”.
Mungkin akan bingung dan bertanya-tanya. Apa gerangan maksud dari tulisan tersebut ? Bahasa atau peribahasa dari manakah kalimat itu ?
Kalau ingin tahu maknanya, sebaiknya jangan sembarang tanya. Karena tidak semua orang Manado paham maknanya. Terutama karena ungkapan itu bukan Bahasa Manado. Ungkapan itu berasal dari Bahasa sub-etnis Tondano atau Toulour.
Sementara etnis Manado sendiri – secara keseluruhan terdiri atas tujuh sub etnis. Setiap sub etnis memiiki bahasa yang berbeda. Orang Manado, dipersatukan oleh yang disebut - Bahasa Melayu Manado. Ekspresinya sering menggunakan kata seperti “ngana” yang artinya kamu atau “torang samua basudara”. Yang berarti ‘kita semua bersaudara’.
Sebaiknya bertanya kepada orang yang tepat. Pihak yang kira-kira punya wawasan dan kepedulian tentang orang lain. Sebab kalau tidak , anda akan bisa memperoleh jawaban datar, seadanya yang tidak memuaskan. Bahkan bisa keliru.
Orang-orang asal Manado atau Kawanua, tanpa kecuali dari sub etnis apa saja, sangat membanggakan falsafah hidup yang diperkenalkan Dr. Sam Ratulangi. Pahlawan nasional asal Tondano.
Falsafahnya adalah manusia lahir tidak hanya untuk dirinya sendiri. Tapi harus memberi kehidupan bagi semua orang atau orang lain.
Falsafah ini semakin populer dan dipopulerkan oleh orang-orang asal Manado, justru ketika Sam Ratulangi tidak lagi eksis.
Berpijak pada ‘kekalahan’ orang-orang asal Manado dalam Tragedi Permesta di akhir tahun 1950-an, sebuah semangat untuk saling menghidupi, tiba-tiba mencuat.
Orang-orang Manado diam-diam merasa terus tersisih dari panggung dan percaturan politik nasional.
Kekalahan ‘Permesta’ antara lain karena orang-orang Manado, terpecah dua. Orang-orang Manado, saling bermusuhan. Ada yang pro pemerintah pusat (Soekarno) dan ada yang pro kepentingan daerah. Yang terakhir ini yang mendirikan Permesta.
Seorang perwira militer asal Manado Kolonel Joop Warouw dari Jakarta, di tahun 1960, diutus Presiden Soekarno untuk berunding dengan tokoh-tokoh ‘Permesta’ di Manado. Misinya tidak berhasil. Karena dia dibunuh atau terbunuh oleh petinggi ‘Permesta’.
Pembunuhan ini bermakna, tidak sesuai dengan falsafah Si Tou Timou Tumou Tou.
Pembunuhan Warouw pada 15 Oktober 1960 oleh orang-orang Manado sendiri sangat merugikan generasi berikutnya. Matinya seorang Kolonel, merupakan kerugian besar.
Sebab seorang perwira berpangkat Kolonel seperti Joop Warouw, di tahun 1960-an ittu, terbilang masih dalam hitungan jari. Tidak mudah bagi republik yang masih berusia belasan tahun mencetak seorang Kolonel.
Pembunuhan ini menyisakan berbagai misteri. Sebab kerangka jenasah Joop Warouw – berikut tempatnya dikubur, baru ditemukan tahun 1987 atau setelah hampir 30 tahun peristiwa pembunuhan itu terjadi.
Pembunuhan ini memberi banyak pelajaran.
Tokoh-tokoh terkemuka asal Manado terus berkampanye, agar siapapun yang sudah berada di panggung baik panggung nasional atau daerah, hendaknya didukung. Jangan ada semangat menumbuhkan ‘budaya mematikan’.
“Budaya baku congkel, harus kita buang”, demikian ungkapan filosofis yang sering didengungkan dalam berbagai pertemuan. Baku congkel, maksudnya, saling menjatuhkan.
Maksudnya siapapun yang sedang berada di satu posisi, harus didukung. Karena dukungan itu, sama maknanya dengan memanusiakan orang yang didukung, supaya kelak yang didukung atau terdukung itu, akan memanusiakan orang lain.
Namun, ironisnya, semakin ungkapan Dr. Sam Ratulangi tersebut dikumandangkan oleh orang-orang asal Manado, tapi yang terjadi justru lebih banyak yang tidiak sesuai dengan yang diharapkan. Atau kebalikannnya.
Setidaknya, budaya saling menjatuhkan (baku congkel) tak pernah berhenti. Baik itu yang terjadi di kalangan masyarakat Manado di Manado sendiri atau yang berada di luar.
Di luar konteks orang Manado, situasi saling menjatuhkan juga sepertinya terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sejak kejatuhan Soekarno di tahun 1966, semangat untuk menjatuhkan seseorang dari kekuasaan atau puncak kekuasaan, sangat membudaya selama setengah abad. Keberhasilan menjatuhkan seseorang dari sebuah posisi di atas atau lebih di atas, acap kali dianggap sebagai sebuah prestasi dan reputasi.
Soeharto jatuh digantikan oleh BJ Habibie, Habibie digantikan Gus Dur, Gus Dur diganti oleh Megawati, Megawati diganti oleh SBY dan seterusnya. Hanya SBY yang berhasil menyelesaikan masa jabatannya dengan sempurna. Selebihnya : Habibie, Gus Dur, Megawati tidak sanoau satu periode (lima tahun).
Secara kalkulatif, jumlah itu sudah cukup banyak.
Namun itu tidak berarti, semangat mau menjatuhkan atau mematikan pemimpin, sudah pupus..
Semangat untuk menjatuhkan ini sama artinya dengan tidak adanya semangat memanusiakan orang lain agar yang dimanusiakan bisa memanusiakan yang lainnya lagi.
Dalam bahasa Jawa ada ungkapan : “diwongke” atau “ dimanusiakan”. Ungkapan ini hanya terbatas dalam ucapan, bukan dalam praktek.
Budaya menjatuhkan menjadi indentitas baru. Falsafah manusia mamanusiakan orang lain, tergantikan.
Dalam situasi seperti ini saya teringat pada Dahan Iskan, salah seorang Raja Madia di Indonesia. Saya melihat Dahlan merupakan putera Indonesia asal Jawa yang belum tergerus perasaannya untuk memanusiakan orang lain.
Sekalipun Dahlan bukan putera Indonesia yang lahir dan besar di Manado, tapi dia justru sudah lebih dulu mempraktekkan falsafah kegendaris Manado, Sam Ratulangi : “Si Tou Timou Tumou Tou”.
Tahun 1980-an, dia ‘ditipu’ oleh orang Manado. Tapi di tahun itu pula Dahlan dimintai bantuan oleh orang Manado lainnya. Dahlan diminta untuk menghidupi manusia, orang Manado.
Adalah Kamah, seorang wartawan sekaligus pemilik “Manado Post” yang meminta Dahlan untuk menghidupi harian daerah itu.
“Kamah terus datangi saya di kantor dan rumah. Di kantor, orang melihat da menangis seperti anak kecil waktu saya bilang, saya tidak mau bekerja sama dengan orang Manado. Kapok saya ditipu oleh Manado”, ujar Dahlan dalam sebuah percakapan dengan seroang lelaki asal Manado.
Tapi sikap keras Dahlan akhirnya luntur juga. Terutama sewaktu Kamah menangis sesunggukan. Sambil memberi alasan bahwa dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan isteri dan anak-anaknya jika Dahlan sebagai pemilik “Jawa Pos” tidak menyelamatkan “Manado Post”.
Akhirnya, bergabunglah “Manado Post” dengan “Jawa Pos”. Banyak orang Manado terselamatkan oleh keputusan Dahlan Iskan ini.
Lebih hebat lagi, karena “Manado Post” sudah berkembang menjadi sentra media “Jawa Pos” group untuk kawasan tiga provinsi : Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara.
Falsafah “Si Tou Timou Tumou Tou” menjadi sebuah realita kehidupan.
Situasi yang mirip terjadi pada majalah “Liberty”. Dahlan diminta untuk mengambil alih majalah yang diterbitkan putera Indonesia keturunan Tionghoa.
“Tolonglah diambil alih majalah ini. Saya tidak ingin majalah ini tidak bisa diterbitkan oleh anak saya”, berkata sang pemilik.
Dahlan tidak serta merta menerima tawaran tersebut. Yang sejatinya dia diberi beban untuk menghidupi manusia lainnya.
Dahlan yang tadinya ragu mengambil alih “Liberty”. Jadilah majalah yang didirikan sejak tahun 1934 itu, sebagai anbggota grup “Jawa Pos”.
Kali ini Dahlan merasa bersyukur. Sebab keputusannya menuruti kemauan si pendiri,
membawa hikmah kehidupan yang sangat baik. Karena baru dua hari “Liberty” berpindah kepemilikan, pendiri majalah tersebut meninggal dunia.
Hikmahnya, Dahlan bisa menghidupi manusia lainnya. Tidak terbatas hanya pada anak pendiri “Liberty”. Melainkan meluas hingga ke mereka yang tidak tahu menahu tentang sejarah perjuangan menghidupkan media tersebut dari zaman revolusi sampai ke era kemerdekaan.
Kini, CEO dari majalah “Liberty” sudah diserahkan oleh Dahlan Iskan, kepada puteri pendiri majalah tersebut. Secara filosofis, keduanya saling menghidupi.
Dahlan Iskan sendiri sejatinya seorang anak manusia biasa yang tidak punya potongan menjadi seorang konglomerat. Apalagi lewat bisnis media. Dahlan Iskan merupakan wartawan daerah yang ditemukan oleh wartawan nasional, Bur Rasuanto, dari Majalah Tempo Jakarta, di tahun 1980-an
Di media berbasis Jakarta inilah Dahlan digembleng dan dibentuk menjadi seorang jurnalis idealis sejati.
Di era itu Dahlan “dibuang” ke Surabaya, Jawa Timur. Tugasnya untuk menghidupkan suratkabar “Jawa Pos” yang secara manejerial dan keredaksian, sudah mati suri.
Namun semangat yang digelorakan oleh Dahlan Iskan sebagai “orang buangan”, berhasil menghidupkan suratkabar yang mulai terbit tahun 1948 itu. Dahlan berhasil membuat tim kecilnya menjadikan “Jawa Pos” survive,melewati perjuangan hidup yang tak mudah.
Sukses Dahlan Iskan sangat mencolok. Sebab dalam waktu kurang dari 30 tahun “Jawa Pos” sudah menjadi raksasa media di Indonesia. Dibawah kepemimpinan Dahlan, “Jawa Pos” selalu menjadi pionir dalam industri pers.
Mulai dari sistem cetak jarak jauh – yang otomatis memotong anggaran besar dalam sistem distribusi, hingga dengan kepemilikan pabrik kertas.
Dengan memiliki pabrik kertas sendiri, “Jawa Pos” bisa melakukan penghematan yang cukup signifikan dalam belanja bahan baku kertas. Terutama yang diimpor dengan pembayaran mata uang dolar Amerika.
Di bawah naungan bendera “Jawa Pos” kini berdiri lebih dari 200 suratkabar daerah di berbagai kota provinsi Indonesia. Belum termasuk 20 stasun TV swasta di berbagai kota. Dengan data seperti itu, Dahlan Iskan setidaknya menghidupi puluhan ribu karyawan yang tersebar di seantero Nusantara.
Melalui “Jawa Pos”, Dahlan mencetak “nobody” menjadi “somebody”. Paling tidak tercatat tiga anggota parlemen yang pernah menduduki kursi di Senayan, sebelumnya merupakan Koresponden “Jawa Pos” di luar negeri.
Ketiganya adalah Ramadhan Pohan (Partai Demokrat), Heri Achmadi (PDIP) dan Djoko Susilo (PAN). Sebelum meninggal di Jakarta, Djoko Susilo bahkan pernah menjadi Duta Besar RI untuk Swiss.
Sementara Dahlan sendiri selain pernah menduduki pos Direktur Utama PLN, juga menjadi Menteri Negara BUMN di era Presiden SBY. Dua jabatan itu sama dengan memberinya kesempatan untuk menghidupi berjuta manusia Indonesia.
Selain itu hal yang cukup penting untuk dicatat Dahlan Iskan merupakan satu-satunya orang non-politik yang direkrut oleh pimpinan partai politik untuk maju dalam Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat.
Pasca lepas dari jabatan di Kabinet, Dahlan melakukan perubahan gaya hidup secara totalitas. Dia lepaskan diri dari “Jawa Pos”.
Tapi di luar “Jawa Pos”, Dahlan Iskan membangun sejumlah usaha non-dia. Dia rekrut sejumlah putera Indonesia untuk mengerjakan proyek strategis dengan investasi triliunan rupiah.
Ada proyek yang memerlukan investasi Rp. 5,7,- triliun rupiah. Dimana yang menjadi Direktur Utama perusahaan tersebut, seorang mantan “korektor” di harian “Jawa Pos”.
Dalam struktur personalia di perusahaan media, “korektor” termasuk jabatan yang paling bawah. Tapi di sini Dahlan membuktikan, orang yang berada di “bawah” tidak berartitak punya potensi. Hanya saja, Dahlan bisa mengangkat “orang bawah” tersebut sebab semangatnya untuk menghidupi oran g lain, sangat kuat. “Si Tou Timou Tumou Tou”.
Selain di dalam, Dahlan sudah merambah ke luar negeri. Dahlan telah menempatkan 10 tenaga ahli nuklir putera Indonesia untuk menggarap sebuah proyek raksasa di salah satu negara bagian Amerika Serikat.
Kesepuluh ahli nuklir ini, sebetulnya merupakan pegawai atau didikan pemerintah. Namun pemerintah tidak mampu memberdayakan mereka. Jadi ebagai ahli, orang pinter tapi status mereka; pengangguran.
Dahlan belum mau menjelaskan detil proyek nuklirnya di Amerika Serikat. Yang pasti proyek nuklir di negara adidaya itu, bukan proyek perang – pengembanngan senjata nuklir. Melainkan proyek untuk tujuan damai. Proyek yang bertujuan kesejahteraan kehidupan umat manusia.
Bisa dipahami kalau Dahlan belum bersedia menungkap detil proyek kerja sama tersebut. Karena Dahlan juga masih harus membeli sebuah lahan seluas puluhan ribu hektar untuk lokasi pabrik tersebut.
Kesepakatan awal, ketika pabrik ini sudah berproduksi maka produknya akan dilabeli dengan kalimat “ “Made in USA by Indonesian Technology”.
Kalau rencana proyek ini dihubungkan dengan berbagai terobosan Dahlan seperti proyek “Mobil Listrik”, sesungguhnya terobosan ini bukan hal yang aneh.
Yang aneh karena kita cenderung mencibiri orang lain yang punya gagasan dan terobosn.
Kini Dahlan sudah pensiun dan secara tak terduga dikenai tahanan luar kota oleh kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan tuduhan korupsi
Penetapan Dahlan sebagai tersangka korupsi, cukup memancing banyak perhatian. Karena dia yang berusaha menjadi “Si Tou Timou Tumou Tou”, disetarakan dengan manusia yang sedang 'mematikan' orang lain.
Sampai-sampai muncul pernyataan sarkartis. Bahwa penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka korupsi, bisa ditafsirkan ; mencari koruptor di Indonesia saat ini sudah semakin sulit.
Jadi koruptor kecil-kecilan kaliber Dahlan Iskan saja yang dijadikan target.
Sebuah falsafah tidak sesuai dengan "Si Tou Timou Tumou Tou".
*) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta