Si Mansur Menceburkan Diri ke Kalenan, Anekdot Khas Fachry Ali
Mengingat masa kanak-kanak terkadang menggudah kenangan. Ada rasa pahit. Terkadang juga manis kesannya bersama kawan.
Di Jakarta yang mengalami perubahan besar-besaran bagi generasi kanak tahun 1970-an, agak lucu bila diceritakan kembali di masa kini. Sebagaimana anekdot yang dikisahkan Fachry Ali, pengamat sosial politik berdarah Aceh besar bersama anak-anak kampung di Betawi, menyampaikan catatannya yang khas:
Sembahyang Jumat 20 November 2020, istimewa. Pertama, khutbahnya secara radikal ringkas. Kedua, panas matahari sempurna menyengat tubuh. Menggelar sajadah di atas aspal, keringat mengucur ketika sembahyang —walau cuma dua rakaat.
Usai itu, keringat tak berhenti mengalir. Dan sambil melahap sisa bab buku ‘Filsafat Politik Melayu’ karya Saleh Daulay —yang harus saya bahas pada 24 Nov 2020 ini— saya teringat Mansur, kawan di SMP Al-Azhar, Rawabambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Sedikit kurus, sedikit jangkung, Mansur absen pada suatu hari. Perkaranya, tanpa bak-bik-buk, ia langsung menceburkan diri ke kalenan dengan badan berkeringat, sehabis main bola jam istirahat belajar siang hari kemarinnya. Mansur meriang.
Itulah sebabnya ia tidak masuk sekolah esok harinya. Seperti Hasbullah (selalu saya tulis dengan ‘a’ walau dia sendiri menulis nama ‘Hasbulloh’), Mansur tinggal di Jatipadang. Maka, karena tinggal di Ragunan, saya selalu melewati kedua rumah kawan saya itu ketika berangkat sekolah dengan berjalan kaki.
SMP Al-Azhar Rawabambu —yang tanpa kami ketahui sebabnya berubah menjadi Madrasan Tsanawiyah Negeri— sebenarnya tempat ideal. Para guru, bukan saja tinggal di sekitar. Melainkan juga merangkap petani buah-buahan pada akhir 1960-an itu. Dalam musim panen, sebagian dari mereka memikul rambutan subuh hari ke Pasar Minggu sebelum mengajar.
Di hadapan sekolah, bersebelahan dengan masjid, terbentang sawah yang luasnya sekitar 2 hektar. Nun di ujung sawah, dibatasi pematang, tampak mushalla kecil. Atap genteng sedikit berlumut. Pepohonan di sekitarnya meminjamkan batang-batang mereka di atasnya. Dan ini membuat mushalla sejuk.
Di sebelah masjid, terdapat beberapa empang ikan lengkap dengan ‘kakus umum’ alias jamban yang mengisi salah satu sudutnya. Kini semua telah lenyap. Bahkan pada 1980-an. ‘Wah, empang-empangnya sudah tidak ada ya?!’ ujar saya kepada Matizi, senior dan penduduk asli Rawabambu.
‘Ha ha ha ha,’ dia tertawa, ketika saya kunjungi akhir 1980-an. ‘Sekarang,’ katanya berkelakar, ‘sudah tidak ada lagi podium.’ Yang dimaksud ‘podium’ adalah jamban yang dulu selalu melengkapi sebuah empang.
Itulah situasi kampung yang melatari Mansur melompat ke dalam kalenan yang jernih, lengkap dengan keringat sehabis main bola.
Duapuluh tahun kemudian, saya bertemu Mansur di akhir 1989-an itu. Dan saya sulit mengenalinya. Ia tidak lagi kurus. Berbadan tegap dengan pikulan buah-buahan di pundaknya.
‘Ke mana aja elo?’ tanya Mansur. ‘Ada,’ kata saya. ‘Kan ada gua titip surat melalui Bulloh?!’
Mansur memandang Hasbullah yang tegak di samping saya. Mungkin ia lupa menyampaikannya.
Sejak itu, saya tak pernah bertemu Mansur. Limabelas tahun lalu, saya mendengar dari Hasbullah bahwa Mansur telah pindah dari Jatipadang, Pasar Minggu, ke Bedahan —sebuah kampung yang berada di wilayah Depok.
Saya berharap, suatu saat bisa bertemu dengannya.