Si Macan Putih dari Lasem, Guru dari Kiai Miftachul Akyar
Syaikh KH Masduki bin Sulaiman al-Lasimi lahir sekitar tahun 1908 M. di Desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. Dari pasangan KH Sulaiman dan Nyai Khodijah (Qolmini). Dari jalur ayah nasab Kiai Masduki bersambung ke Kiai Mutamakkin Kajen Pati yang bersambung ke Raden Achmad Rahmatullah (Sunan Ampel).
Pada tahun lima puluhan, yang dipangggil syekh adalah Kiai Masduki dari Lasern. Karena penguasaannya atas buku teks (kitab) utama di bidang teori hukum, yaitu kitab Jam'ul Jawami. Demikian Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menulis dalam Tempo, 18 September 1982.
Ya, Syaikh Masduki dari Lasem. Pada zamannya, sosok kelahiran 1908 ini merupakan salah satu ulama kharismatik sekaligus menjadi rujukan dan panutan umat.
Semasa kanak-kanak, Syaikh Masduki mendapat didikan langsung dari sang ayah. Atas arahan ayah dan paman (KH Thoyib), ia melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tremas di bawah asuhan Syekh Dimyati.
Tiga tahun lamanya ia menimba ilmu di Pesantren Tremas, lalu menjadi ustaz dan mengajar di pesantren yang sama selama delapan tahun. Salah satu muridnya di Tremas adalah KH Hamid Pasuruan.
Selepas dari Tremas, Ustaz Masduki muda melanjutkan pendidikan ke Mekkah selama enam tahun. Guru beliau semasa di Tanah Suci antara lain Syekh Umar Hamdan dan Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki.
Kiai Masduki mendapat gelar Syaikh setelah dipercaya mengajar di Masjidil Haram. Pada waktu itu, setidaknya ada tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram: Syaikh Masduki (Lasem), Syaikh Mahfudz (Tremas), dan Syaikh Yasin (Padang).
Sepulang dari Makkah, beliau bertemu Syaikh Dahlan Pekalongan, yang kemudian mengambilnya sebagai menantu. Beliau dinikahkan dengan putri Syaikh Dahlan yang bernama Ma'rifah.
Syaikh Masduki sempat merintis pesantren di Pekalongan. Atas permintaan masyarakat Lasem, akhirnya beliau kembali ke Lasem dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Ishlah (1950). Tak pelak, banyak santri yang datang untuk berguru kepada beliau di Lasem.
Diceritakan, areal yang didirikan pesantren oleh Syaikh Masduki dulunya sering digunakan untuk ajang judi, tempat pelacuran dan pembantaian PKI.
Konon, sebelum Syaikh Masduki lahir, seorang perangkat desa setempat mengadu kepada Sayyid Abdurrohman; pasalnya, tempat itu dijadikan sarang maksiat dan meresahkan masyarakat.
Sayyid Abdurrohman, atau biasa dipanggil Mbah Sareman, adalah ulama sepuh asal Tuban yang tinggal di Lasem. Kala itu Mbah Sareman berujar bahwa, akan ada "Harimau Putih" dari barat yang melewati sungai dan menetap di tempat itu.
Di kemudian hari, ternyata Syaikh Masduki-lah yang berdakwah dengan mendirikan pesantren di sana.
Sekadar catatan, sebagaimana ditulis Akhmad Saefudin, dalam Buku 17 Ulama Banyumas, banyak tokoh ulama negeri ini yang pernah berguru kepada Syaikh Masduki, baik semasa di Tanah Suci maupun di Tanah Air.
Murid-murid Syaikh Masduki antara lain ada nama KH Bisri Mustofa (Rembang), KH Masyhuri (Rejoso), KH Mahrus Ali (Lirboyo), KH Abdullah Faqih (Langitan), KH Miftachul Akhyar (Surabaya), KH Salim (Madura), dan lain sebagainya.
Syaikh Masduki berpulang ke haribaan Allah pada 17 Jumadil Akhir 1396 (1975), dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Al-Ishlah yang dirintisnya. Demikianlah kisah dari Buku 17 Ulama Banyumas, karya Akhmad Saefudin.