Shin Hua: Barbershop Legend di Surabaya
Siang itu Surabaya benar-benar membuat gerah. Hawa panas yang kabarnya kembali CLBK dengan kota ini menyengat bak orang jatuh cinta. Seketika arah angin menghipnotis saya ke jalanan Kembang Jepun, tepat di plang Jalan Husin II, Surabaya.
Teringatlah saya kalau di sini ada tempat yang begitu old namun tetap gold. Ya Barbershop Shin Hua. Dari namanya saja tentu orang akan berpikir kepada etnis Tionghoa.
Seketika saya berjalan masuk dan menaiki tangga yang agak kusam ini dengan harapan bahwa saya akan throwback ke jaman barbershop kemerdekaan dulu. Bergegaslah tangan ini membuka pintu dan menemukan seseorang yang sudah cukup sepuh untuk menjadi seorang barberman.
"Mau potong Mas?" Begitulah Om Tan Ting Kok atau gampangnya orang menyapa Om Edi memberi sapaan sekaligus pertanyaan pertama ke saya.
Tanpa basa-basi saya pun duduk di kursi yang benar-benar rasanya seperti sudah berusia puluhan tahun atau bahkan ratusan. Benar saja barbershop ini sudah ada sejak tahun 1911. Ya, kira-kira kita semua yang membaca tulisan ini pun pasti masih menjadi makhluk lain sebelum bereinkarnasi menjadi manusia saat ini.
"Mau potong apa Mas?" tanya Om Edi dengan suara yang sedikit terbata-bata. Tanpa berpikir panjang saya menjawab, "Pendek saja om yang penting rapi namun jangan cepak seperti prajurit, Om".
Helai demi helai rambut dia gunting dengan bantuan sisir yang sekilas saya tidak akan menjumpai di supermarket mana pun di negara ini. "Alat-alat saya ini peninggalan ayah saya yang membuka Shin Hua ini mas, termasuk sisir ini yang terbuat dari tulang ikan," katanya sembari fokus membelai rambut demi rambut dengan cupit yang sangat old.
Om Edi berkisah bahwa dirinya sudah 54 tahun meneruskan usaha ayahnya ini dengan alat klasik seadanya dan tanpa bantuan karyawan lain sekalipun. Om Edi merupakan generasi kedua setelah ayahnya Tan Sin Co yang berasal dari Tionghoa merantau dan membuka barbershop ini.
Namun ajal menjemput sang ayah ketika tahun 1965 dan membuat Om Edi lah yang harus tetap menjaga dan meneruskan usaha barbershop ini.
"Adik dan kakak saya tidak ada yang bisa motong mas seperti saya. Ini saja saya bisa memotong rambut awalnya dengan melihat ayah saya," katanya.
Metode teknik yang dia gunakan memotong pun terbilang unik dengan memadukan teknik chaps salon. Yah, pada tahun 80an om Edi sempat ingin menjadikan Shin Hua menjadi salon, namun di benaknya dia teringat pesan ayahnya yang ingin Shin Hua tetap ada bahkan hingga ratusan tahun.
Nazar itu sepenuhnya terkabul, saat ini sudah 108 tahun lamanya Shin Hua berdiri kokoh di Jalan Kembang Jepun. Berbeda dengan barbershop lainnya, Shin Hua tetap kekeuh dengan bangunan dan fasilitas klasiknya.
Jangan berharap ada fasilitas yang wah seperti barbershop jaman sekarang. AC saja tidak ada dan tetap bertahan dengan kipas gantung yang sepanjang waktu saya di sini bak menjadi backing vocal menemani cerita dari Om Edi. Namun, sama sekali tidak membuat hawa di sini panas, justru terasa sangat sejuk dan nyaman.
Bahkan papan bertuliskan Shin Hua Barbershop yang harusnya berada di depan bangunan ini justru berada di sudut ruangan yang bernuansa vintage ini.
"Papan ini jika saya taruh depan bangunan saya bisa-bisa sudah bangkrut Mas, karena saya harus membayar pajak yang mahal namun tak sebanding dengan tamu yang datang setiap hari," katanya.
Benar saja, tiga jam saya berada di barbershop ini hanya saya yang menjadi tamu, padahal dulu Om Edi bisa mendapat hingga 20 tamu dalam sehari.
Jari jemari yang sudah sedikit bergetar pun tidak menurunkan kualitas hasil potongannya. Saya merasa lebih muda lima tahun. Untuk tarif yang dipatok Om Edi adalah Rp.50.000 sekali potong, namun nyatanya Om Edi juga mau menerima orang yang memberinya seikhlasnya. "Saya sudah tua Mas. Uang sedikit saja cukup asal bisa buat makan," katanya.
Di masa tuanya ini Om Edi masih sanggup mendapat tamu lima hingga tujuh orang dalam sehari. Pelanggannya pun umurnya merata dari anak muda hingga yang sepuh.
Selain menjadi barbershop, bangunan berlantai 3 ini juga menjadi tempat tinggal sehari-hari Om Edi bersama dua adik kandungnya.
Namun, jangan salah menganggap om Edi tinggal dengan saudaranya bukan berarti dia tak mempunyai istri. Tak tanggung-tanggung empat wanita dari dua benua di dunia ini sudah dinikahinya. Mulai dari Cina, Arab hingga Belanda. Fantastis bukan, kalian saja yang membaca ini mungkin baru mendapat wanita lokalan saja.
Namun uniknya durasi pernikahan Om Edi ini terbilang seperti jabatan periode presiden namun sedikit lebih lama yakni tujuh tahunan! Ya Om Edi semenjak pernikahan pertamanya tahun 70an dia mendapati rutinitas tujuh tahun ganti istri! Hingga akhirnya dia setia dengan istri yang terakhir namun harus terpisahkan oleh negara.
Di balik kisahnya tentu saja romansa klasik Barbershop Shin Hua sangat mempesona dan membuat saya sangat nyaman berbincang dengannya di sini. Bagi saya uang Rp.50.000 sangat worth it dengan apa yang kita dapatkan dan tidak akan dijumpai di barbershop manapun di kota ini.