Shelter Covid Muhammadiyah Pasien Merasa Gembira, Ini Faktanya
Ketua 2 Shelter Isolasi PPA milik Muhammadiyah dr. Mualim menjelaskan, Muhammadiyah berusaha membuat pasien tidak merasa jenuh dan terkekang selama menjalani masa isolasi.
Berbeda dengan rumah sakit, shelter adalah tempat penampungan yang dirancang khusus dan didayagunakan untuk memusatkan pasien OTG sampai masa inkubasi virus Covid di dalam tubuhnya dinyatakan aman.
Dalam Covid Talk MCCC, Mualim bahkan menyebut shelter sebagai ‘pesantren’ dan pasien sebagai ‘santri’ sementara. Fasilitas shelter seperti tempat memasak dan tempat olahraga bagi pasien juga disediakan agar pasien tidak merasa jenuh selama menjalani isolasi.
“Shelter harus menyediakan segala fasilitas. Seakan-akan dia ada di rumah. Kamar itu harus ada, privasi harus dijaga. Tidak kalah penting lagi protokolnya harus ada,” jelas Mualim, dalam keterangan Sabtu, 2 Januari 2021.
Memang, visi rahmatan lil alamin di dalam Islam adalah memberi kabar gembira bagi umat manusia. Bagi Muhammadiyah, paradigma tersebut juga digunakan dalam penanganan pasien Covid, terutama pasien kategori Orang Tanpa Gejala (OTG) di shelter Isolasi milik Muhammadiyah.
“Selain kamar, juga harus dibuatkan suasana di ‘pesantren’ ini homie (seperti rumah sendiri). Untuk kesehatan ada visit dari dokter, karena terkadang ada ‘santri’ yang punya masalah kesehatan sendiri,” imbuh Ketua Satgas Covid-19 Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta Fitria Siswi Utami.
Lebih lanjut, Mualim menyatakan masyarakat tidak perlu ragu untuk melakukan isolasi di shelter khusus bagi pasien OTG. Pelayanan pasien OTG sama sekali berbeda dengan ruang isolasi khusus pasien Covid bergejala berat.
Menurutnya, dalam pantauan Jumat lalu, banyak pasien di shelter Muhammadiyah yang mengaku gembira karena kebutuhan pokok maupun pelayanan selama di shelter terpenuhi dengan baik.
Kebutuhan shelter bagi pasien OTG sangat diperlukan seiring dengan meningkatnya kasus penularan Covid-19. Penyediaan shelter didorong mengingat selain beban rumah sakit berat, tidak semua pasien OTG berasal dari keluarga ekonomi sejahtera maupun lingkungan pasien yang suportif.
“Soal isolasi mandiri itu tidak sederhana, perlu fasilitas-fasilitas pendukung. Maka adanya shelter-shelter isolasi itu menjadi sangat penting, karena selama 10 hari, 14 hari atau 2 minggu akan putus kontak dengan orang lain. Jika kegiatannya tidak terarah maka menjadi persoalan,” tambah Ketua MDMC Budi Setiawan.
Terkait shelter isolasi, Muhammadiyah di DIY sedikitnya telah membuka dua shelter bagi pasien OTG, yaitu di PP ‘Aisyiyah dan Unisa Yogyakarta. Ke depan, menurut Budi shelter lainnya akan segera dibuka di tiap cabang dan ranting setelah MCCC selesai melakukan kajian dan diseminasi.