Shandra Ngemis di Times Square (2-Habis)
Darurat human trafficking, seperti kata Menko Polhukam, Mahfud MD, sulit dirasakan publik. Meski Mahfud mengungkap data sejak 2020 hingga kini korban tewas 1.900 orang, atau rata-rata dua mati per hari, tetap saja sulit dibayangkan. Kisah Shandra Waworuntu memperjelas itu.
—------
Seperti ditulis kemarin, Shandra, cantik, sarjana keuangan, mantan pegawai bank internasional di Jakarta bidang analis dan trader, terjebak jadi korban human trafficking.
Dia pada 2001 lolos seleksi calon pegawai hotel di Chicago, Amerika Serikat (AS) lalu bayar USD 2.700 (kurs waktu itu sekitar Rp 30 juta) untuk aneka biaya berangkat ke Chicago, ternyata dia dijadikan pelacur di New York.
Dia disekap di sebuah apartemen di Brooklyn, New York, dan dinyatakan berutang pada germo USD 30.000 untuk aneka biaya, sesungguhnya pemerasan. Penggantinya, dia harus jadi pelacur bertarif USD 100 per konsumen. Hasil melacur langsung dibayarkan konsumen ke germo. Fisik dan mental Shandra terpuruk habis.
Sehari-hari, Shandra diberi makan ala kadarnya. Tapi minumnya bir, tak diberi minuman lain. Sehingga dia selalu teler, siang-malam.
Shandra: "Akhirnya, saya pikir saya tidak kuat lagi. Untuk melunasi utang, saya harus melayani 300 pria. Ini baru puluhan, saya tak kuat lagi. Sebelum utang itu lunas, 300 pria, mungkin saya sudah mati."
Suatu hari dia berhasil lolos, loncat dari kamar mandi di lantai bawah. Dia berbekal nomor telepon orang. Nomornya diberi oleh sesama pelacur (wanita bule) di apartemen. Lalu dia telepon orang itu dari telepon umum. Seorang pria.
Pria yang ditelepon bertanya titik lokasi Shandra. Disebutkan Shandra ancar-ancarnya. Benar. Pria itu datang bermobil, menjemput Shandra. Luar biasa… Sangat lega, Shandra merasa bebas.
Ternyata, oh… ternyata. Pria itu kaki tangan germo. Mengembalikan Shandra ke apartemen. Shandra malah disiksa, karena melarikan diri. Dia heran pada pelacur pemberi nomor, kok tega menjebak begitu. Padahal, sesama bernasib hancur.
Shandra dijadikan pelacur tidak cuma di apartemen itu. Dia dan gadis-gadis lain, kadang dibawa germo keliling, rumah bordil, gedung apartemen, hotel, dan kasino di Pantai Timur, AS. Lama-lama dia paham jalan di sana.
Di salah satu rumah bordil, Shandra lolos lagi. Caranya sama, lewat jendela kecil di toilet. Kali ini dia tidak menghubungi siapa pun. Dia langsung ke kantor polisi. Tanggapan polisi tampak ogah-ogahan. Shandra tetap semangat menceritakan kronologi. Bahkan, dia menunjukkan bukti-bukti. Foto apartemen Brooklyn, korek api berlogo hotel, rekaman suara bodyguard germo.
Tapi laporannya diabaikan. "Saya jadi paham. Di sana, pelacur dipandang sangat rendah, diabaikan polisi. Saya dianggapnya pelacur."
Shandra lalu pakai jurus pamungkas. "Saya datangi kantor Konjen RI di New York, saya lapor. Tapi laporan saya katanya diproses. Saya datangi lagi, dan lagi. Berkali-kali saya datangi, mereka selalu alasan. Tanggapan mereka sinis ke saya. Di situ saya putus asa. Gelap dunia terasa."
Akhirnya Shandra mengemis. Dia tidur meringkuk di pojokan Staten Island Ferry, stasiun kereta bawah tanah New York. Mengemis di Times Square Garden. Di antara beberapa pengemis lain. Dia kerudungi kepala dengan jaket. Siapa tahu, germo lewat. Atau kaki tangan germo. Bahaya.
Receh demi receh berdenting di kaleng Shandra. Sangat jarang. Dia baru paham, orang New York sangat mengabaikan pengemis. Berjalan cepat, menghindar.
Suatu siang mengemis di Grand Ferry Park di Williamsburg. Shandra nyaris menolak, saat seorang pria kulit putih memberi sebungkus makanan. “No, thank you,” ujarnya.
Pria itu tidak memaksa, ia pergi, memberikan makanan itu ke pengemis lain. Lalu, Shandra mengejar pria itu, menceritakan pengalamannya dengan cepat. Sambil jalan.
Pria bernama Eddy itu menyimak, sambil tetap jalan, lalu berkata: "Oke. Kita ketemu di sini besok pagi."
Shandra bengong. Mikir. Apakah pria itu mengabaikan, atau apa? Dia mau tanya, apa maksud ketemu besok? Tapi tak terucap. Soalnya, langkah pria bule itu terlalu cepat buat langkah Shandra.
Ya sudah. Esoknya, pukul 05.30 Shandra sudah mengemis di taman yang sama. Lebih pagi dari biasanya, sekitar pukul 09.00.
Menunggu Eddy. Yang datang pukul 11.00. Mengagetkan. Eddy membawa tiga pria, dua berpakaian seragam FBI (Federal Bureau of Investigation), satunya lagi pria kekar pakaian biasa, berjaket, Sekilas, ada pistol di balik jaket itu.
Shandra diajak naik mobil dinas FBI, yang ternyata diparkir tak jauh dari taman. Eddy malah tidak ikut. Mobil melaju ke apartemen Brooklyn, tempat penyekapan Shandra dan para wanita yang dijadikan pelacur.
Tiba di sana, anggota FBI memerintahkan Shandra tetap di mobil, jangan keluar jika tak diperintah, dan kunci pintu mobil. Tiga pria itu turun, jalan menuju pintu apartemen.
Shandra: "Saya lihat para polisi itu dari kaca mobil. Jantung saya berdegup kencang. Saya berdoa sambil menangis. Saya takut, sangat takut. Seandainya para wanita di apartemen itu sudah tidak ada, atau sedang dibawa ke hotel-hotel. Bagaimana jadinya? Saya bisa dihukum, membohongi FBI."
Polisi yang pakaian preman mengetuk pintu apartemen. Pakaiannya memang seperti umumnya pelanggan. Berjaket, sepatu kets. Dua lainnya menyelinap pada jarak sekitar sepuluh meter, arah kiri dan kanan.
Pintu apartemen terbuka. Pembuka pintu adalah... Johnny. Hati Shandra, plong. Dia ingin melonjak-lonjak.
Johnny dan polisi preman tampak dialog singkat. Sepertinya, polisi bertanya nama. Sontak, dalam dua-tiga detik, polisi mencekik Johnny. Sangat cepat. Memutar tubuh Johnny, disodokkan ke dinding. Langsung diborgol.
Dua polisi berseragam berlari, masuk apartemen. Sebelum mereka masuk, memberi sinyal ke arah Shandra.
Shandra: "Saya diberi sinyal oleh polisi, agar keluar dari mobil, ikut mereka masuk apartemen. Saya tidak takut. Saya senang sekali. Saya tahu, kalau Johnny ada, pasti teman-teman saya pelacur di sana juga.”
Dilanjut: “Di dalam, saya disuruh menunjukkan kamar-kamar tempat penyekapan. Karena apartemen itu juga dihuni warga biasa, bukan germo bukan pelacur. Maka, saya tuding kamar-kamar itu."
Ada puluhan pelacur paksaan, dikumpulkan polisi. Juga belasan bodyguard, termasuk Johnny. Seketika mobil-mobil polisi berdatangan. Memenuhi halaman apartemen. Mengangkut mereka ke kantor polisi.
Mereka semua disidang. Heboh di New York. Shandra diburu wartawan, di-interview. Dia ceritakan semuanya. Jadi berita headline koran dan TV. Berhari-hari.
Sejak itu Shandra terkenal. Diundang anggota parlemen, diwawancarai. Semua orang New York jadi tahu, Shandra sarjana keuangan, mantan analis trader Deutsche Bank, yang dijadikan pelacur.
Shandra: “FBI menghubungkan saya dengan Safe Horizon, organisasi di New York yang membantu korban kejahatan dan pelecehan, termasuk penyintas perdagangan manusia.”
Safe Horizon membantu Shandra, memberi penginapan, membuat Shandra menetap di New York secara legal. Bahkan, Shandra dilibatkan ke pekerjaan menolong para korban human trafficking, pelecehan seksual. Pekerja sosial yang digaji.
Shandra dapat angin. Bagai hidup dari kematian. Dia gembira. Bekerja sangat giat. Menolong banyak korban human trafficking dari berbagai bangsa. Di hari libur pun dia kerja.
Upaya Shandra (juga tim pekerja sosial di sana) diperhatikan parlemen. Tak kurang, parlemen membuat Undang-Undang The Survivors of Human Trafficking Empowerment.
Shandra sering diajak diskusi anggota parlemen. Dia diwawancarai Menteri Luar Negeri AS waktu itu, John Kerry.
Sebagai hadiah dari pemerintah AS, pada 2004 keluarga Shandra diboyong ke sana. Pada 2010 mereka dapat izin tinggal tetap.
Sepuluh tahun kemudian, Natal 2014, Shandra menelepon Eddy. Tersambung. Shandra menceritakan semua ke Eddy, tapi baru beberapa kalimat, Eddy memotong pembicaraan, mengatakan begini:
"Saya tahu semuanya. Saya mengikuti berita. Saya sangat senang untuk Anda, bahwa Anda telah membuat hidup untuk diri Anda sendiri."
Dilanjut: "Jangan pernah berpikir untuk mengucapkan terima kasih kepada saya. Anda telah melakukan semuanya sendiri."
Shandra: "Tapi, tetap saya sangat berterima kasih padamu. Bantuanmu padaku tak kulupakan seumur hidupku."
Shandra mengucapkan itu sambil menangis. Tangis haru. Dia menganggap Eddy, malaikat tak banyak omong. Malaikat minim kata.
2015 Shandra jadi anggota The White House Human Trafficking Survivors Empowerment, berkantor di Gedung Putih, AS.
Kisah itu cuma satu dari 1.900 mayat korban TPPO yang disebutkan Mahfud. Cuma satu itu yang mujur. Lainnya, ribuan orang mati.
Kini warga Indonesia menunggu Kapolri yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Ketua Harian TPPO. Menunggu action Kapolri. (*)