Shamsi Ali: Esensi Puasa Itu Menahan Nafsu
Sesungguhnya defenisi puasa itu secara fiqh sangat sederhana. Dalam buku-buku fiqh kita menemukan defenisi itu sebagai berikut:
“Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami isteri serta semua yang dapat membatalkannya dari terbitnya fajar kedua hingga terbenam matahari karena Allah SWT”.
Menurut Imam Shamsi Ali, dari defenisi itu dipahami bahwa substansi dasar puasa adalah “menahan”. Kata menahan, yang dalam bahasa agamanya disebut “al-imsaak” inilah yang menjadi essendo dari puasa.
Berikut tausiyah Ramadhan, ustadz Shamsi Ali:
Dalam Al-Quran misalnya, menahan diri dari barbicara juga diistilahkan “shoum”. Seperti yang disebutkan dalam Al-Quran pada kisah Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan (Isa AS).
“Inni nadzartu lir rahmani shouma” (sesungguhnya Aku telah berjanji atau nadzar kepada Allah untuk menahan diri (shaoum)”. Makna menahan diri di sini adalah menahan diri dari berbicara.
Rasulullah SAW juga menasihatkan agar di saat seseorang diajak bertengkar atau berkelahi hendaknya berkata: saya berpuasa (inni shoo-im). Tentu kata “shoo-im” atau puasa di sini dimaksudkan “menahan” diri.
Dengan demikian jelaslah bahwa intisari dari puasa adalah al-imsak atau menahan. Yaitu menahan diri atau ego dan hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa objek terutama dan terpenting dari semua pembahasan tentang puasa ada pada “pengendalian hawa nafsu”.
Hawa berarti keinginan (desire). Sedangkan nafsu berarti diri (ego). Dengan demikian puasa dalam arti menahan berarti menahan diri dari dorongan hawa nafsu (ego).
Di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Karena betapa banyak destruksi (kerusakan) yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Dalam Islam hawa nafsu bukan untuk dipandang musuh, apalagi dihancurkan. Hawa nafsu itu esensial (mendasar) dalam menjaga kesinambungan hidup dunia. Karena dunia memang identik dengan hawa nafsu. Dan tanpa hawa nafsu dunia ini tidak ada (non exist).
Karenanya, sekali lagi Islam sebagai agama yang secara alami sejalan dengan hidup manusia tidak mematikan dorongan atau keinginan (nafsu). Ambillah sebagai contoh hawa nafsu manusia kepada lawan jenis. Islam tidak mematikan, tidak dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Islam hanya mengarahkan dan mengaturnya.
Untuk tujuan itu, Allah mengatur hubungan manusia dalam lawan jenis itu dengan sebuah institusi sakral yang disebut pernikahan. Dengannya hawa nafsu manusia tersalurkan, bahkan menjadi pintu keberkahan.
Hingar bingar pembangunan kota-kota dunia, gedung-gedung pencakar langit di kota New York, bukan untuk disalahkan. Itu bagian dari eksistensi nafsu yang memang secara alami dijadikan bagian dari hidup manusia.
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi saat ini juga merupakan konsekwensi langsung dari eksistensi nafsu. Bahkan kemajuan peradaban materi itu semuanya bagian dari eksistensi nafsu manusia.
Demikian tausiyah Ustadz Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation Amerika Serikat.