Shalawat Badar pun Menggema di AS, Kesaksian Seorang Muhammadiyah
Shalawat Badar, yang kerap menggema di kalangan kaum santri, mempunyai pengaruh di kalangan luas masyarakat Indonesia. Khususnya, bagi orang-orang pesantren dan warga Nahdlatul Ulama (NU).
Shalawat Badar merupakan shalawat yang mula diamalkan KH Ali Manshur dari Banyuwangi, sejak zaman 1950an. Kini, seolah menjadi indentitas masyarakat Muslim di Indonesia.
Meski begitu, Shalawat Badar kini telah menggaung di semesta secara luas. Mulai dari Azerbaijan hingga di Amerika Serikat.
Tentang lantunan Shalawat Badar di Amerika Serikat, dikisahkan Najib Hamid, sekretaris Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
"Ketika saya mengunjungi komunitas minoritas tersebut, di rumah Dr Aziz Eddebbarh, Pimpinan Institut Ibn Asher, di 98 Old Santa Fe Trail, Santa fe New Mexico, terdapat sebanyak 14 orang sedang berkumpul mengaji buku Ihya’ Ulumuddin," kisahnya.
Sebuah buku monumental karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali yang sangat terkenal itu. Walau tersedia buku dalam bahasa aslinya, Arab, tetapi yang dibaca buku terjemahan bahasa Inggris.
Topik yang dikaji tentang mengingat mati, yang terdapat dalam bab lima, dari buku jilid lima. Mereka membaca secara bergiliran, dan sesekali salah seorang membacakan kutipan ayat al-Quran.
Setelah itu, sang ustadz, Dr Aziz Eddebbarh, menjelaskan kandungan maksudnya, sambil memberikan kesempatan kepada para peserta untuk bertanya. Ia pun meminta agar saya dan rombongan juga turut menyimak, dan menyodorkan kitab Ihya’ yang berbahasa Arab.
Komunitas Sufi
"Dari buku dan topik yang dikaji, saya dapat menduga sebelumnya bahwa ini adalah komunitas sufi. Dan benar adanya, ketika dua orang suami istri, Muhammad Benyamin dan Rabia Van Hattum, datang memperkenalkan diri sebagai anggota dari Tarikat Naksabandiyah. Pasutri yang sudah tua tetapi tetap romantis itu juga membawa buku panduan dzikir dan gitar," kata Najib Hamid, yang juga anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur.
Setelah saling berkenalan, Muhammad Benyamin, muslim berjenggot kelahiran Belanda ini mengajak semua yang hadir untuk bersenandung, melagukan shalawat badar.
Melihat kejadian ini, kawan dari HMI, Mahya Ramdhani spontan berkomentar, “Wah luar biasa, ternyata di sini juga ada NU.”
"Sebelum shalat Maghrib, dilakukan dzikir bersama sekitar satu setengah jam. Dan, kami pun diajak serta, dengan dibekali buku panduan dzikir yang mereka susun. Suasana menjadi terasa seperti di Indonesia."
Dikisahkan Najib Hamid, sekretaris PW Muhammadiyah, Jawa Timur, dalam tulisan "Pengalaman bersama Komunitas Sufi Amerika" (pwmu.co)
Advertisement