Setnov Ngaku Tak Tahu Soal Korupsi PLTU Riau
Meski dipanggil sebagai saksi, mantan Ketua DPR Setya Novanto mengklaim tidak mengetahui mengenai kasus dugaan suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
"Waduh tidak tahu saya tuh, kan saya sudah masuk (tahanan)," kata Setya Novanto di gedung KPK Jakarta, Senin.
KPK menetapkan Idrus Marham sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji kepada anggota DPR terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau 1 (PLTU Mulut Tambang Riau 1) berkekuatan 2x300 megawatt di provinsi Riau pada 21 Agustus 2018.
Idrus diduga mendapat bagian yang sama besar dari Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebesar 1,5 juta dolar AS yang dijanjikan pemegang saham Blakgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo bila purchase power agreement proyek PLTU Riau 1 berhasil dilaksanakan Johannes Kotjo dan kawan-kawan.
"Cukup kaget juga ya (dengan penetapan Idrus sebagai tersangka), dia orang kerja keras tapi ya ini kan kita lihatlah, yang penting soal e-KTP juga harus tuntas. Soal Mendagri yang memang punya peran dia dan juga ketua badan anggaran saat itu ya," ungkap Setnov yang saat ini sedang menjalani masa vonis penjara selama 15 tahun di lapas Sukamiskin, Bandung.
Hari ini dalam perkara yang sama KPK juga memanggil anak Setya Novanto yang juga komisaris PT Skydweller Indonesia Mandiri Rheza Herwindo, pegawai swasta Audrey Ratna Justianty alias Tine, Bupati Temanggung terpilih M Al Khadziq, tenaga ahli DPR RI Tahta Maharaya, Direktur PT Nugas Trans Energy dan Direktur PT Raya Energi Indonesia Indra Purmandani.
"Rheza (dipanggil karena) dicurigai ada beberapa hal yang berhubungan dengan Pak SN (Setya Novanto) dalam kapasitas apa saya belum tahu detailnya tetapi berdasarkan gelar perkara yang saya ikuti Pak SN mengetahui adanya proyek ini," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Namun Laode belum menyampaikan detail mengenai pengetahuan Setnov mengenai perkara PLTU tersebut.
"Pokoknya setiap orang yang dimintai keterangan itu oleh KPK beranggapan mengetahui dan bisa memberikan pengayaan terhadap penyelidikan dan penyidikan kasus yang sedang berjalan," ungkap Laode.
Dalam perkara ini, Idrus diduga mengetahui dan memiliki andil terkait penerimaan uang dari Eni dari Johanes yaitu pada November-Desember 2017 Eni menerima Rp4 miliar sedangkan pada Maret dan Juni 2018 Eni menerima Rp2,25 miliar.
KPK sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat 13 Juli lalu, KPK sudah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta.
Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sebelumnya Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.
Idrus disangkakan pasal 12 ayat (1) huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau pasal 56 ke-2 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Advertisement