Setelah Tak Ada Ibu Arumi, Bagaimana Nasib Batik Arumi?
Mengungkit kreativitas bukan perkara mudah. Pasti bukan main berlikunya. Pun di Trenggalek. Wilayah agak Selatan Jawa Timur yang cukup terjepit dengan kontur teritori bergunung-gunung itu.
Kreativitas itu salah satunya soal batik. Sebelumnya, Trenggalek tidak memiliki tradisi batik yang bagaimana. Lalu, dari wilayah ini muncul Batik Turonggoyakso. Moncer bahkan cukup fenomenal.
Munculnya Turonggoyakso seiring dengan tampilnya pemimpin muda di Kabupaten ini. Sang Bupati memiliki pasangan yang sangat terkenal di dunia enterteinment. Arumi Bachsin. Jelita dan memiliki jejaring keartisan yang oke.
Batik Trenggalek kemudian terdongkrak pencitraannya seiring dengan aktivitas pemimpin muda tersebut. Maka, saat itu, di-launching-lah Batik Arumi. Motif batiknya adalah Trenggalih. Kepanjangan dari Tresna Ing Galih. Kemudian muncul juga ikonik Batik Turonggoyakso.
Tresna Ing Galih itu adalah bahasa Jawa. Kalau di Indonesiakan adalah cinta di dalam hati. Atau bisa juga, mencitai dengan hati. Atau boleh juga, cinta paling dalam hingga di dasar hati.
Atau, mungkin bisa lebih filosofis dari pada kalimat-kalimat ini. Tresna Ing Galih ini sebenarnya adalah filosofi itu sendiri, sehingga Batik Trenggalek mampu mendunia seperti yang dicita-citakan. Maka, dengan mendunianya batik Trenggalek, usaha batik juga akan terus bertumbuh. Kreativitas juga bertumbuh. Pendapatan usaha kecil dunia batik dan lainnya otomatis juga terkerek naik. Konon batik mampu meningkatkan PAD Kabupaten Trenggalek.
Trenggalih itu motifnya adalah Turonggoyakso. Bentuknya adalah kuda lumping. Disebut juga Jaranan. Disebut juga Jathilan.
Di Trenggalek kuda lumpingya beda dengan daerah lain. Kapala kudanya adalah kepala buto. Buto itu raksasa. Ketika diaplikasikan dalam motif batik menjadi kreatif yang berbeda. Menjadi unik.
Ini bisa menjadi tawaran kreatif lain dalam motif batik Trenggalek. Pembatik Trenggalek selama ini hanya mengenal motif bunga cengkeh, lalu lereng gunung.
Gagasan Turonggoyakso itu adalah dari Arumi Bachsin, yang saat itu adalah istri Bupati. Saat dilaunching gagasan itu mendapat sambutan sangat positif. Ini luar biasa. Bisa jadi pengungkit di ranah batik.
Hadirnya Arumi dalam kancah batik Trenggalek membawa angin segar. Angin segarnya bisa berhembus kemana-mana seiring aktivitas padat berikut nama ngetop Arumi. Maka Trenggalek tidak lagi identik dengan bunga cengkeh dan lereng gunung. Tetapi punya ikon baru yang segar dan kreatif.
Kini, Ibu Bupati itu sudah bergeser naik. Statusnya sekarang adalah Istri Wakil Gubernur Jawa Timur. Lalu bagaimana nasib inovasi batik Trenggalek? Makin moncer atau melorot karena kehilangan ikoniknya?
Tiwi Poncowati, 49 tahun, pembatik Trenggalek, memiliki jawaban yang cukup membuat hati jadi tenang. Omset batiknya setelah ditinggal Arumi Bachsin dirasa cukup stabil. Kata Tiwi, dia masih mampu bertahan 200 lembar kain batik dalam sebulan. Harga perlembar batiknya juga masih bagus, dikisaran 400 ribu rupiah.
Tiwi ini adalah profil pemula yang bergelut batik. Karena giatnya Arumi Bachsin menyuport batik lokal.
Tiwi benar-benar berangkat dari nol. Dia tahu batik, biasa memakai kain batik, suka kain batik, tapi tidak bisa membatik. Ini yang penting, dia juga juga bukan terlahir dari keluarga pembatik. Hanya Tiwi memang memiliki para tetangga sekitar yang sejak lama berkecimpung di kerajinan batik, berikut Ibu Bupatinya. Para tetangga dan Ibu Bupati inilah yang kemudian suport dalam bentuk lain yang mampu menopang kenekatannya untuk terjun dalam dunia batik.
Menurut Tiwi, produksi batik dari rumah batik miliknya sudah memiliki market yang oke. Orang juga sudah mulai berdatangan mencari brand batik Poncowati. Sebab itu dia mulai berpikir market secara profesional.
Tiwi juga memproduksi batik cap, semi cap yang artinya cap dikombinasi dengan batik tulis, dan murni batik tulis. Itu pun masih dibedakan lagi, memakai pewarna kimia dan pewarna alam. Masing-masing jenis produksi membedakan kelas dan membedakan harga.
“Batik saya harganya ditentukan oleh berapa warna dalam batik. Cap atau tulis atau kombinasi keduanya. Setelah itu baru ditentukan memakai warna alam atau kimia. Harga paling merakyat adalah batik cap. Untuk warna satu lorot harganya hanya 100 ribu rupiah, dua warna 210 ribu rupiah, sedangkan model kombinasi cap dan tulis adalah 175 ribu rupiah."
Batik tulis murni, lanjut dia, hanya dua warna harga dikisaran 175 ribu rupiah. Batik tulis dengan pewarna alam dikisaran 400. Kelas paling mahal adalah kelas premium, biasanya produk ini adalah batik tulis murni dengan motif pilihan dan memakai pewarna alam. Price-nya bisa di atas satu juta rupiah.
Pokoknya sejak ada ikonik Ibu Bupati yang jelita itu batik Trenggalek ibarat menjadi kue basah. Bisa dibilang basahnya juga bukan main.
Kue basah perbatikan Trenggalek tak hanya membuat Tiwi Poncowati mesam-mesem dengan capaiannya, tetapi juga pembatik-pembatik Trenggalek yang lain.
Betapa tidak, Arumi Bachsin, yang sebelumnya terkenal jadi artis dan terkenal kecantikannya itu getol mengampanyekan perlunya perbaikan batik Trenggalek. Perbaikan mulai motif, pengayaan motif khas Trenggalek, hingga ke sasaran market. Tiwi ini malah sangat aktif berada di barisan kampanye batik di kancah perbatikan Nasional.
Dulu, identitas Batik Trenggalek hanya berkutat pada motif bunga cengkeh. Motif yang seakan menjadi keramat. Tapi tafsir kekinian boleh beda dong. Boleh jadi motif cengkeh menjadi keramat karena pembatiknya tidak mau bergeser dari motif itu. Boleh jadi juga karena karena mijimnya kreator batik.
Nah dunia perbatikan berubah. Dunia mode juga berubah cepat. Mode batik juga lagi menjadi trend luar biasa. Maka, saat itu, Trenggalek mengusung motif yang lebih kreatif tanpa meninggalkan yang khas. Misalnya Turonggoyekso itu. Motif batik dengan gambar kuda lumping tapi kudanya berkepala buto raksasa. Inilah kreatif anyarnya. Kreatif yang pernah dicoba ditularkan Arumi Bachsin. (widikamidi)