Setelah Noer Iskandar 'Dijewer Tuhan'
KH NOER Muhammad Iskandar, SQ mungkin kiai NU Jawa pertama yang mendirikan pesantren di Jakarta (Kebon Jeruk), lalu dalam waktu singkat menjadi penceramah yang populer, memiliki jaringan relasi luas, dan luwes bergaul dengan berbagai kalangan. Artis dan pejabat negara sering digandengnya untuk berdakwah. Ia menjadi semacam kutub baru di ibukota.
Ia memang tak sepopuler Zainuddin MZ, dai Betawi yang merajai Jakarta (dan kemudian Indonesia); tidak juga semashur Abdurrahman Wahid, yang juga hijrah ke Jakarta dan membangun apa yang disebut "Pesantren Ciganjur". Pesantren Noer Muhammad Iskandar, bernama Asshidiqiyyah, adalah pesantren sungguhan, bahkan kemudian memiliki banyak cabang di Jakarta, Jawa Barat, hingga Lampung.
Ia menjadi "Kiai Jakarta" yang unik karena ia bukan orang Betawi; sementara warga NU Betawi tak pernah benar-benar "klik" dengan NU mainstream yang terus didominasi kiai Jawa. Panutan NU Betawi tetaplah Kiai Abdullah Syafi'i dan keluarga besar Assyafiiyyah; bahkan KH Idham Chalid, seorang kiai Banjar asal Kalimantan Selatan, yang penguasaannya tanpa putus atas kursi tertinggi PBNU selama 28 tahun (1956-1984) membuat Gus Dur penasaran, dan kemudian mengalahkannya di Muktamar Situbondo 1984. Pemerintah Orde Baru lega dengan tumbangnya tokoh penting NU dari masa Orde Lama itu, yang kemudian surut dari pergaulan politik dan menekuni tasawuf dan kehidupan tarekat.
Di puncak popularitasnya di paruh kedua dekade 1990an, Noer Iskandar menikah dengan seorang janda dari tokoh terkenal dalam Peristiwa Tanjung Priok. Pernikahan ini menghebohkan karena dilakukannya di sebuah kamar hotel mewah (bukan di ball room), tanpa melalui prosedur standar tata cara pernikahan berdasar agama. Dalam kontroversi itu khilafiah fikih pun muncul.
Sejumlah ulama mengatakan pernikahan itu ganjil, tidak mengikuti rukun-rukun baku. Noer Iskandar membela diri: menurut fikih mazhab Hanafi, cara menikah yang ia lakukan sah belaka. Mempelai perempuan adalah seorang janda yang tak membutuhkan izin dan restu orangtua atau wali hakim, dan seterusnya. Atas argumen itu, segera muncul pertanyaan baru: Mengapa ia, yang suntuk menganut mazhab Syafi'i, sebuah mazhab fikih panutan NU dan mayoritas Muslim Indonesia, tiba-tiba dalam urusan perkawinan tak lazim itu berdalih dengan argumen Hanafiah?
Noer SQ segera menjadi buruan wartawan. Kontras antara aksi nikah uniknya (dengan janda dari seorang yang pernah menjadi newsmaker masyhur pula) dan statusnya sebagai kiai kondang sangat menarik sebagai berita. Keterlibatan banyak ulama ternama dalam mengomentari pernikahan itu membuat dramanya meluas dan makin memikat.
Majalah Ummat memutuskan mengangkat isunya sebagai laporan utama. Semua bahan sudah ditulis. Tapi wawancara khusus dengan Noer Iskandar harus ada. Ia perlu bicara dengan suaranya sendiri; dan kami ingin mendengar versi asli dari tangan pertama. Dengan susah-payah, Ummat akhirnya berhasil mendapatkan kesempatan wawancara dengan Noer Iskandar.
Sampul edisi itu sudah disiapkan. Tapi judul apa yang harus dipasang? Judul sampul harus beda dari arus berita yang tiap hari dimuat oleh semua koran harian. Sebagai kapten, saya sulit mendapatkan judul kuat yang spesifik. Sementara Solahuddin, reporter luwes yang selalu sukses menembus sumber sulit, sedang menginterviu Noer Iskandar via telepon di ruang direksi.
Saya mondar-mandir dengan gelisah antara ruang desain dan ruang direksi, sambil kadang-kadang ikut menguping wawancara itu (tapi saya tidak bisa mendengar suara Noer Iskandar). Pada satu momen, Solahuddin bertanya retoris: "Oh, jadi Pak Kiai merasa saat ini sedang dijewer Tuhan, ya?" Bingo! Saya bergegas menuju ruang desain, dan meminta desainer membuat judul sampul: "KH Noer Iskandar: Saya Sedang Dijewer Tuhan..."
Separuh vertikal sampul itu berisi wajah Noer dengan extreme close up. Bungkus! Apapun isi lengkap wawancara yang masih berlangsung itu, judul tersebut saya pandang kuat. Dan sampul majalah harus buru-buru dibawa ke percetakan, karena menyangkut teknis percetakan full color dsb yang makan waktu. Naskahnya bisa menyusul belakangan.
Rupanya Noer Iskandar, setelah berminggu-minggu menjadi berita, akhirnya surut dari argumen pokok pembelaan diri atas pernikahan uniknya itu. Segala macam kegaduhan yang menempatkan dirinya sebagai pusat kontroversi akibat perbuatannya itu, kata dia, merupakan tanda bahwa Tuhan sedang menjewernya.
Ia memberi kesan bahwa ia bukan sedang dihukum, tapi sekadar "dijewer" -- suatu isyarat bahwa Tuhan menyayanginya. Bukankah jika ia tak ditegur dengan jeweran itu ia akan makin terlena, dan akhirnya niscaya terjerambab habis tanpa tertolong lagi? Dan bukankah Tuhan sering membiarkan manusia semacam itu semakin terperosok -- membuat manusia yang berbuat dosa kian lalai dan malah bangga dengan perbuatan buruknya? Alhamdulillah, Tuhan segera mengingatkannya sebelum ia terlalu jauh. Ummat edisi itu laku keras; bahkan harus dicetak ulang.
Bertahun-tahun kemudian saya berjumpa Noer Iskandar, dalam suasana yang berbeda. Kami diundang dalam dialog di TVRI, bersama seorang tamu lain. Ketika menyinggung isu pendidikan, saya bertanya bagaimana cara santri lulusan pesantren mampu bersaing dengan para lulusan sekolah modern, yang menguasai semua pelajaran yang dibutuhkan dan segala perangkat komunikasi mutakhir.
Noer Iskandar menjawab: para lulusan pesantren juga banyak yang sukses. Bahkan mereka punya jiwa wiraswasta yang tangguh; mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Apa, misalnya? "Ada lulusan pesantren saya yang kemudian menjadi peternak ayam yang sukses," katanya. Berapa banyak yang seperti itu? Berapa besar skala bisnis peternakannya?
Itu adalah materi percakapan di sesi ke-3 dialog, yang direncanakan 4 sesi. Setelah istirahat sejenak, Noer Iskandar berkata bahwa ia harus segera menemui Kepala BIN Syamsir Siregar, jadi tidak bisa melanjutkan dialog sampai selesai. Ia segera bangun dari kursinya -- dan kamera masih merekam gerak lengkahnya meninggalkan meja dialog; versi yang tak sempat diedit itu turut terlihat oleh penonton. Kami tak sempat dan memang tidak bisa mencegahnya agar bertahan sepuluh menitan lagi untuk menuntaskan dialog. Noer Iskandar pergi.
Dan kini kiai Banyuwangi itu pergi semakin jauh, begitu jauh hingga tak mungkin kembali. Ia tak sempat menuntaskan usia 66. Pesantren yang dibangunnya dari nol, mekar dengan memuaskan, tapi asosiasi koperasi pesantren yang dipimpinnya (Inkopontren) jarang terdengar kabarnya.
Tampaknya ia belum kunjung sempat pula menyaksikan munculnya kiai-kiai NU Jawa baru penerusnya yang membuka pesantren yang sukses di Jakarta. *