Setelah FPI Dibubarkan, Lalu Apa?
Setelah pemerintah mengumumkan FPI (Front Pembela Islam) berada di luar hukum (bubar) terjadi pro dan kontra di masyarakat. Banyak yang mendukung kebijakan pemerintah, tetapi tidak sedikit juga yang mengkritisi.
Mereka yang mengkritisi bukan hanya dari kalangan FPI, tetapi yang menonjol terdiri dari kalangan "civil society” dan pegiat demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) seperti HMI, KNPI, PMII, Amnesti Internasional dll.
Di kalangan internal eks-FPI, pengumuman tersebut disikapi dengan. pendeklarasian Front Persatuan Islam yang menggunakan akronim FPI. Personel, gaya dan pola kegiatannya tampaknya tidak berbeda dengan organisasi sebelumnya. UU No 17/ Tahun 2013 dan PERPPU No 02 / Tahun 2017 Tentang Keormasan tidak mencantumkan secara eksplisit aturan yang melarang hal tersebut.
What Next ?? Pemerintah sebelumnya telah mempunyai pengalaman dalam pembubaran HTI yang dianggap bertentangan Pancasila. Realitasnya mereka masih bergerak dengan cara “tranplantasi organisasi”, menyebarkan kadernya aktif di berbagai organisasi termasuk ke dalam FPI.
Tidak aneh sejak 2019 muncul isu negara khilafah di kalangan FPI. Belum lagi mereka yang berfaham “Salafy Jihadi dan Takfiri":secara diam-diam juga nimbrung ke dalam FPI. Mereka itu ikut di FPI sebagai bagian dari tahap “tafaul ma’al ummah “ (interaksi sosial) atau suatu tahap untuk melakukan rekrutmen.
Jelas ada masalah lain di balik pembubaran FPI, suatu masalah keamanan yang tidak sederhana. Hal itu sebaiknya diantisipasi sejak sekarang. Ke depan dalam menangani limbah pembubaran FPI khususnya FPI yang baru lahir, seyogyanya pemerintah mengunakan pola kebijakan “Stick and Carrot" sekaligus, “tindakan tegas disertai dialog”, pola tindakan hukum yang luwes, selaras dengan iklim demokrasi yang sedang berkembang.
Bagi pimpinan eks-FPI sebaiknya melakukan muhasabah dengan memahami suatu perubahan dunia yang semakin bergerak ke arah moderasi atau persaudaraan dunia. Sebagai contoh Arab Saudi sudah menonaktifkan lembaga “Haiah Amar Ma’ruf Nahi Munkar ‘yang biasa melakukan “sweeping” seperti pernah terjadi juga di beberapa lokasi di Indonesia.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015. Tinggal di Jakarta.