Setelah Dilucuti, Apakah Whisnu Masih Mungkin Ikut Pilwali?
Dengan selembar SK dari DPP PDI-Perjuangan yang ditandatangani Ketua Umum dan Sekjennya, Whisnu Sakti Buana (Wakil Wali Kota Surabaya) diturunkan dari tahtanya sebagai Ketua DPC PDI-Perjuangan Kota Surabaya.
SK pelengseran Whisnu itu dibawa oleh dua utusan DPP yaitu Nusyirwan Sudjono dan Ribka Tjiptaning, dan dibacakan di depan peserta Konfercab (Konferensi Cabang) DPC PDI-Perjuangan Surabaya yang berlangsung 7 Juli 2019 di Empire Palace Hotel, Surabaya.
Untuk level lokal Surabaya, dicopotnya Whisnu dari jabatan yang sebelumnya dipegang poliitikus Saleh Ismail Mukadar ini adalah peristiwa politik yang mengejutkan. Tentu tidak banyak yang menyangka bahwa Whisnu akan dilengserkan hanya melalui selembar SK.
PDI-Perjuangan adalah salah satu partai politik di Indonesia yang dalam menjalankan roda organisasi serta menentukan kebijakan-kebijakan penting, saya nilai paling taat dan tertib mengikuti mekanisme partai sesuai AD/ART. Baik di pusat maupun daerah.
Tapi itu dulu. Dahulu, pergantian ketua DPC atau DPD dilakukan melalui Konfercab atau Konferda yang diikuti perwakilan kepengurusan di bawahnya. Pada Konfercab, pesertanya adalah utusan PAC (Pengurus Anak Cabang) yaitu pengurus tingkat kecamatan. Sedang pada Konferda DPD pesertanya adalah utusan dari DPC-DPC.
Para utusan itulah yang memiliki suara untuk memilih, dan suara mereka mutlak. Bisa saja terjadi musyawarah ketika akan memilih ketua. Tetapi lebih sering melalui sistem pemungutan suara yang seru dan tidak jarang terjadi keributan, tapi demokratis.
Demikian juga ketika hendak memilih figur untuk diajukan sebagai calon bupati/wali kota maupun gubernur. Mekanisme yang ditempuh adalah menggelar Rakercabsus (Rapat Kerja Cabang Khusus) atau Rakerdasus (Rapat Daerah Khusus).
Bakal calon bupati/wali kota yang hendak diajukan, dipilih melalui Rakerdasus DPC yang diikuti perwakilan PAC. Calon yang memperoleh suara terbanyak akan direkomendasi oleh DPC dan DPD untuk memperoleh SK Penetapan dari DPP.
Demikian juga untuk menentukan bakal calon yang akan mengikuti pemilihan gubernur, maka mekanismenya melalui Rakerdasus DPD, yang pesertanya adalah perwakilan DPC-DPC yang ada di wilayah provinsi tersebut. Calon yang terpilih melalui pemungutan suara, akan direkomendasi ke atas untuk memperoleh penetapan DPP.
Mekanisme yang cukup ketat dijalankan itu, sayangnya tidak langgeng. Saya mencatat mekanisme itu tidak lagi dijalankan ketika PDI-Perjuangan menjaring calon Gubernur Jatim periode 2008-2013.
Dalam Rakerdasus yang berlangsung akhir 2007, Soekarwo mengungguli pesaingnya yaitu Sutjipto dengan angka 22 lawan 11 suara DPC, 4 abstain. Tetapi yang ditetapkan oleh DPP untuk maju ke pemilihan Gubernur Jatim periode 2008-2013 justru Sutjipto, yang kini sudah almarhum dan tak lain adalah ayah Whisnu Sakti Buana.
Sejak saat itu saya tidak lagi menilai PDI-Perjuangan adalah partai yang taat menjalankan mekanisme partai. Faktanya memang demikian. Diusungnya beberapa nama untuk menjadi bakal calon bupati/wali kota maupun bakal calon gubernur tidak lagi melalui Rakercabsus atau Rakerdasus. Melainkan langsung penunjukkan dari DPP, termasuk ketika hendak mengusung nama-nama Ganjar Pranowo (Jateng), Basuki Tjahaya Purnama (DKI), Saifullah Yusuf (JawaTimur) dan beberapa calon pemimpin di beberapa daerah lainnya.
Whisnu Sakti Buana, kini tidak lagi menjadi Ketua DPC PDI-P Surabaya. Jabatannya sudah diambil alih Adi Sutarwijono melalui SK DPP. Adi yang low profile, bukan orang baru di mata Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri.
Ketika nama Megawati pertama kali muncul di dunia politik Indonesia pada KLB PDI (Kongres Luar Biasa–Partai Demokrasi Indonesia) bulan Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Adi Sutarwijono adalah wartawan harian Surya yang bersama beberapa media lain, ketika itu ikut mengopinikan Megawati sebagai calon pemimpin masa depan.
Demikian juga ketika berlangsung Kongres Pertama PDI-Perjuangan di Sanur Maret 1999, di mana untuk pertama kalinya Megawati ditetapkan sebagai Ketua Umum DPP PDI-Perjuangan, Adi tidak saja meliput berjalannya kongres tetapi juga mendampingi Megawati saat dikerubuti wartawan.
Adi bukan pendatang baru di mata Megawati. Perkenalannya secara pribadi dengan Ketua Umum terjadi jauh sebelum Megawati mengenal Whisnu Sakti Buana. Dalam konteks PDI-Perjuangan, kedekatan itu unsur penting. Karena itu dipilihnya Adi menjadi Ketua DPC PDI-Perjuangan Surabaya melalui SK yang ditandatangani Ketua Umum sebenarnya tidak surprise, tapi yang mengejutkan justru keluarnya SK tersebut.
Sudah bukan rahasia lagi kalau Whisnu bermaksud maju menjadi Wali Kota Surabaya, menggantikan Tri Rismaharini yang dalam pencalonannya sebagai wali kota dua periode juga diusung oleh PDI-Perjuangan meskipun dia bukan kader partai.
Yang kini menjadi persoalan bagi Whisnu, apakah DPC PDI-Perjuangan Surabaya di bawah pimpinan Adi Sutarwijono akan menggelar Rakercabsus guna mencari figur yang bakal diusung pada pilkada Surabaya tahun depan?
Bagi Whisnu tentu lebih terbuka peluang apabila penjaringan bakal calon Wali Kota Surabaya nanti, dilakukan melalui mekanisme yang di awal-awal dahulu pernah dilakukan partai yaitu Rakercabsus. Whisnu berharap demikian karena dia memiliki pendukung di sebagian besar dari 31 PAC yang ada di Surabaya. Whisnu punya peluang, tetapi jelas itu bukan jaminan.
Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan juga, bahwa mekanisme partai itu lagi-lagi diabaikan, dengan langsung diterbitkannya SK DPP PDI-Perjuangan yang akan menetapkan siapa figur yang bakal diusung untuk menggantikan Tri Rismaharini. Dengan modal suara ataupun kursi yang diperoleh pada Pemilu 2019 lalu, PDI-Perjuangan dapat mengajukan pasangannya sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Merujuk kembali pada pencopotan Whisnu Sakti Buana sebagai Ketua DPC PDI-Perjuangan Surabaya dan digantikan Adi Sutarwijono, saya melihat ada dua kemungkinan alasan yang bisa dikemukakan.
Pertama, agar Whisnu sebagai kader PDI-Perjuangan dapat berkonsentrasi penuh untuk memenangkan pilkada yang berlangsung tahun depan.
Alasan kedua, Whisnu memang tidak dikehendaki. Untuk Whisnu, jabatan Ketua DPC adalah power dan kalau power itu dilucuti maka langkahnya untuk maju akan terhenti.
Saya kok sependapat dengan alasan kedua, dia tidak dikehendaki. (m.anis)
Advertisement