Setelah Dikiret, Apakah Ibu Kena Hukum Nifas?
SEORANG ibu mengalami abortus pada usia kehamilan 8 minggu. Oleh dokter lalu dikiret supaya bersih. “Saya ingin bertanya, apakah setelah dikiret, ibu kena hukum nifas?” Tanya Ny. Ratna, Jl Dharmahusada Indah, Surabaya, pada ngopibareng.id.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammdiyah pernah mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus itu sendiri, yaitu ketika Muktamar Tarjih XXII di Malang. “Saudara bisa merujuk Himpunan Putusan Tarjih terbitan PDM Malang. Di bawah ini adalah kesimpulan singkat dari Putusan tersebut;
“(1) bahwa abortus provocatus kriminalis atau aborsi yang dilakukan karena motif kriminal, sejak terjadinya pembuahan hukumnya adalah haram, (2) bahwa abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan atau kesehatan ibu waktu mengandung dan melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli yang bersangkutan.”
Demikian jawaban Tim Al-Islam PP Muhammadiyah. Selanjutnya, “kami sampaikan beberapa jawaban pertanyaan saudara sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan pertanyaan saudara tentang wanita yang mengalami abortus pada usia kehamilan 8 minggu, apakah ia dihukumi nifas atau dihukumi darah lainnya, semisal darah istihadah.
“Untuk menjawabnya, terlebih dahulu marilah kita lihat bagaimana pengertian nifas dalam fiqih Islam dan ilmu kedokteran. Para ulama Islam sepakat mendefinisikan nifas sebagai darah yang keluar dari alat vital wanita sesaat setelah ia melahirkan. Madzhab Maliki kemudian menambahkan bahwa darah nifas selain keluar setelah proses kelahiran, juga merupakan darah yang keluar saat melahirkan itu sendiri.”
Madzhab Hanbali juga menghitung darah yang keluar dua atau tiga hari sebelum persalinan sebagai darah nifas (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: vol. 41/5). Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam ilmu fiqih nifas diartikan sebagai darah yang keluar dari alat vital wanita disebabkan karena persalinan, baik sebelum, ketika atau sesudah berlangsungnya persalinan tersebut. Dalam ilmu kedokteran masa nifas atau disebut puerpurium dihitung sejak satu jam setelah lahirnya plasenta (tali pusar) sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Ilmu Kebidanan, R. Soerjo Hadijono, 2008: 356).
Berangkat dari definisi fiqih dan kedokteran tersebut, maka darah wanita yang melahirkan, baik dalam kondisi normal ataupun karena abortus, tetap dihukumi sebagai darah nifas. Memang ada sementara ulama yang baru menghitung darah sebagai nifas jika usia janin telah lebih dari 80 hari (al-Mughni: vol. I, 249, Mughni al-Muhtaj, vol. III, 389).
Pendapat tersebut mereka ambil karena mereka menganggap bahwa setelah hari ke-80 organ tubuh bayi sudah mulai terbentuk. Menurut mereka, apabila janin meninggal sebelum masa pembentukan organ tubuh maka darah yang keluar dari rahim wanita tidaklah dianggap sebagai darah nifas. Pendapat ini tidak kami pilih, karena menurut hemat kami, baik dalam kacamata syar’i maupun kaca mata kedokteran, usia janin (bayi dalam perut) tidak memiliki kaitan sama sekali dengan darah nifas.
Hanya saja, janin yang lahir di bawah usia kandungan 9 bulan secara otomatis akan mengakibatkan sang ibu mengalami masa nifas lebih singkat dari wanita yang melahirkan janin secara normal. Penjelasan kedokteran dari hal tersebut adalah bahwa pada kelahiran normal, uterus (rahim) memiliki bobot 900 gram, berdiameter 12,5 cm dan berada pada posisi 33 cm di atas kondisi ketika rahim tidak sedang mengalami kehamilan (Kebidanan Postpartum, 2003: 7, Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, 1996: 164). Kehamilan yang tidak mencapai usia tersebut akan membentuk posisi dan kondisi uterus yang berbeda. Sebuah kaidah bisa dibuat di sini bahwa semakin tua usia kandungan, maka rahim akan semakin membuka, dan secara otomatis akan menyebabkan sang ibu mengalami masa nifas lebih lama.
Sebaliknya, dalam kondisi kelahiran karena abortus, masa involusi atau pengerutan uterus akan berlangsung lebih cepat, sehingga masa nifasnya pun akan berlangsung lebih sebentar. Secara fiqih hal tersebut dimungkinkan terjadi, karena baik Hadits maupun para ulama tidak pernah membuat batasan tentang masa paling sebentar/waktu minimal (aqallu muddah) dalam nifas (Fiqh al-Sunnah, 2006: vol. I/84).
Dalam fiqih hanya diatur masa paling lama/waktu maksimal (athwalu muddah) dari waktu nifas, yaitu empat puluh hari. Sehingga jika lewat dari empat puluh hari, darah yang keluar dari sang ibu dihitung darah istihadah. Pembatasan waktu maksimal dari masa nifas tersebut didasarkan pada Hadits: Salamah, ia berkata: Wanita-wanita yang mengalami masa nifas duduk (tidak melakukan ibadah khusus) selama 40 hari atau 40 malam” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan al-Daruquthni).
Dengan demikian, wanita yang mengalami abortus dalam usia kehamilan 8 minggu, seperti yang saudara tanyakan, tetap dikenai hukum nifas dengan jangka waktu sampai darah tersebut berhenti keluar. Karena si ibu mengalami hukum nifas, maka berlaku pula baginya hukum-hukum yang berkaitan dengan nifas, yaitu dilarang berhubungan suami istri, berpuasa, shalat dan tawaf. (adi)
Advertisement