Setelah Anas, Kini Moeldoko Jadi Tumbal Nazaruddin
Muhammad Nazaruddin, 43 tahun, harus diakui, adalah orang yang luar biasa. Belum genap enam bulan ke luar dari penjara, dia sudah berhasil merapat, dipercaya dan akhirnya mendapat peran dari Jenderal TNI (Purn) Moeldoko untuk melakukan langkah politik yang amat berisiko; KLB (Kongres Luar Biasa) Partai Demokrat.
Boleh jadi Moeldoko sudah mengetahui jejak politik Nazaruddin, yang salah satunya adalah berhasil mengantarkan Anas Urbaningrum menjadi Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-2015, melalui kongres yang berlangsung dramatis di Hotel Mason Pine, Bandung, akhir Mei 2010. Mungkin saja karena alasan itulah Moeldoko kemudian merekrutnya. Tapi bisa juga karena alasan lainnya.
Memang, keberhasilan Anas melakukan ‘kudeta’ itu tidak lepas dari support dan strategi yang salah satunya dilakukan Nazaruddin. Saya sengaja memakai terminologi ‘kudeta’ mengacu pada penyelenggaraan KLB Deli Serdang 5 Maret 2021 lalu, yang dalam waktu tak sampai satu jam telah berhasil memilih Moeldoko menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat.
Pada Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun 2010, Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjadi Presiden RI, telah dengan tegas menginginkan Andi Mallarangeng untuk duduk sebagai ketua umum menggantikan Hadi Utomo. Sekadar keinginan dan harapan, keputusan akhir tetap diserahkan kepada para peserta kongres.
Sebagai Ketua Dewan Pembina, SBY bersama jajaran DPP lainnya dua hari menjelang dibukanya kongres telah mengumpulkan seluruh pengurus DPD dan DPC Partai Demokrat di Jakarta, untuk diberi pengarahan. Tapi keesokan harinya, para pengurus dari seluruh daerah di Indonesia itu ‘dibajak’ oleh Anas Urbaningrum dan Nazaruddin, konon dikumpulkan di Hotel Sultan Jakarta, diberi pengarahan yang lain yaitu untuk memilih Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat.
Pagi hari tanggal 21 Mei 2010, sebelum siangnya Kongres II Partai Demokrat dibuka Presiden SBY, tiga unit mobil, salah satunya mobil box Ekspass, meluncur dari Jakarta ke Bandung, dengan kawalan mobil polisi. Di dalam kedua mobil itu, termasuk mobil box, penuh dengan uang yang jumlahnya mencapai Rp 35 miliar ditambah 5 juta Dolar AS.
“Uang itu saya antar ke Kongres Partai Demokrat di Bandung,” kata Yulianis, bekas Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, perusahaan milik Nazaruddin, ketika menjadi saksi dengan tersangka Nazaruddin, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, 25 Mei 2012.
Dengan uang yang dikumpulkan Nazaruddin melalui perusahannnya itu, suara DPC dibeli dengan harga antara 10 ribu Dolar sampai 30 ribu Dolar AS. Karena kurs Dolar AS ketika itu Rp 9.000, maka harga suara tiap DPD dan DPC untuk memilih Anas antara Rp 90 Juta sampa Rp 270 juta.
“Kalau kita enggak membeli suara DPD dan-DPC dengan harga mahal, mana mungkin Mas Anas bisa menang, karena berdasarkan survei elektabilitasnya sangat menurun. Uang yang kita pegang besar, makanya Mas Anas bisa menang,” kata Nazaruddin, saat menjadi saksi dalam sidang Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili terdakwa Anas Urbaningrum, 25 Agustus 2014.
Pada kongres di Bandung, pemilihan calon ketum diikuti tiga orang masing-masing Anas Urbaningrum, Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng, berlangsung dua babak. Pada pemilihan babak kedua, akhirnya Anas Urbaningrum terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat periode 2010-2015 setelah memperoleh 280 suara, sementara pesaingnya Marzuki Alie memperoleh 248 suara dari total 530 pemilik suara yang sah. Nazaruddin, orang dekatnya, kemudian dijadikan Bendahara Umum dalam kepengurusannya.
Sebagai anggota Badan Anggaran di DPR-RI periode 2009-2014, yang didukung partai pemenang pemilu, Nazaruddin ikut menentukan pengelolaan APBN yang ketika itu besarnya Rp 1.010 trilyun. Dengan karakternya, Nazaruddin bisa dibayangkan bak penyamun di goa penuh harta karun. Karena itulah dia memiliki uang yang bisa untuk membeli apa saja, termasuk membeli kursi ketua umum bagi Anas Urbaningrum.
Dengan mendapat restu dari ketum, dia terlibat dalam 28 mega proyek yang ada di 26 kementerian. Beberapa proyek itu antara lain proyek pembangunan Wisma Atlet di Palembang, proyek pengadaan pesawat Merpati MA 60 senilai 200 juta dolar AS, proyek pembangunan gedung pajak senilai Rp2,7 triliun, proyek PLTU Kalimantan Timur senilai Rp2,3 triliun, proyek PLTU Riau senilai Rp1,3 triliun, proyek Diklat Mahkamah Konstitusi senilai Rp200 miliar, proyek pembangunan gedung Mahkamah Konstitusi senilai Rp300 miliar, proyek kilang unit refinery unit IV Cilacap senilai 930 juta dolar AS, proyek simulator SIM, proyek pembangunan Rumah Sakit Universitas Airlangga senilai Rp 300 miliar, proyek pusat pelatihan olahraga Hambalang, dan paling fenomenal adalah mega proyek e-KTP senilai Rp5,8 triliun yang akhirnya menjerumuskan Ketua DPR-RI Setya Novanto ke Lapas Sukamiskin.
Bermodal uang yang melimpah ruah, langkah politik berikutnya segera dirancang pasangan ketum dan bendum ini, yaitu pilpres 2014. Nama Anas Urbaninungrum yang memiliki basis Nahdlatul Ulama dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sempat masuk ke bursa Capres 2014 bersama nama-nama lain yang beredar saat itu, antara lain Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golkar), Surya Paloh (Ketum Partai Nasdem), dan Prabowo Subianto (Gerindra).
Sayangnya, atau justru bagusnya, Nazaruddin keburu terjerat KPK. Mula-mula dalam kasus Wisma Atlet. Dari situ kemudian merambah ke Anas Urbaningrum, yang pada awalnya terjerat pasal gratifikasi karena terbukti menerima satu unit mobil merk Harrier senilai Rp 600 juta. Tapi Nazaruddin yang bersedia jadi justice collaborator akhirnya malah mengungkap keterlibatan Anas jauh lebih dahsyat, sampai akhirnya Anas juga terjerat TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Dua orang yang tadinya bersahabat erat, saling bekerjasama dengan solid, saling mempercayai dan saling mendukung, akhirnya jadi saling bermusuhan. Hancur lebur dan porak poranda rencana untuk mengusung Anas Urbaningrum maju pada Pilpres 2014.
Anas Urbaninungrum dan Nazaruddin akhirnya sama-sama jadi penghuni Lapas Sukamiskin. Anas divonis 8 tahun di PN Tipikor tahun 2014. Setahun kemudian dia mengajukan banding di Pengadilan Tinggi, hukumannya dikurangi 1 tahun menjadi 7 tahun. Dia mengajukan kasasi, oleh Mahkamah Agung hukumannya justru ditambah 7 tahun, menjadi 14 tahun. Bulan Juli 2018 dia mengajukan PK (Peninjauan Kembali) ke MA, oleh MA permohonannya dikabulkan dan hukumannya dikurangi 6 tahun, menjadi 8 tahun. Dengan putusan terakhir itu diperkirakan Anas akan bebas tahun depan.
Nazaruddin lebih dahulu bebas. Dia yang terjerat dua perkara, yaitu suap Wisma Atlet divonis 7 tahun, dan TPPU divonis 6 tahun, sehingga total seharusnya menjalani hidup di penjara selama 13 tahun hingga tahun 2025. Tapi karena dianggap berjasa dengan menjadi justice collaborator, maka hukumannya dikurangi dengan beberapa kali mendapatkan remisi, dan sejak hari Kamis 13 Agustus 2020, dia menikmati kebebasannya.
Sebenarnya ketika bebas, kepada wartawan Nazaruddin menyatakan bahwa apa yang sudah dijalaninya telah memberinya pelajaran yang akan diambil hikmahnya. Karena itu kepada para wartawan dia mengatakan, ke depan akan fokus urusan Akhirat. Tapi ternyata dia masih tergoda juga dengan urusan politik, bahkan mungkin masih terobsesi untuk mengantarkan seseorang menjadi Presiden RI.
Dia nampak punya peranan penting, bersama beberapa temannya di Partai Demokrat dulu antara lain Johny Allen, Marzuki Ali, Mac Sopacua dan Darmizal, ketika mendorong sekaligus mendampingi Jenderal TNI (Purn) Muldoko untuk melakukan ‘kudeta’ terhadap kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat, melalui KLB (Kongres Luar Biasa). Dia memang tak pernah tampil di depan kamera seperti tokoh-tokoh yang lain, karena seperti pernah diakuinya, dia tidak pandai berbicara kecuali bekerja. Tapi peran Nazaruddin masih seperti dulu, membagi-bagi uang kepada para pengurus DPC Partai Demokrat yang diajaknya untuk ikut KLB. Meskipun, banyak pengurus daerah yang kemudian menyatakan kekecewaan, karena uang yang mereka terima jumlahnya tidak seperti yang telah dijanjikan.
Tahun 2010 Nazaruddin berhasil melakukan kudeta, kini keberhasilan itu hendak diulangnya, tetapi ternyata gagal. Dahulu dia, bersama Anas Urbaningrum, juga Ruhut Sitompul dan beberapa elit Partai Demokrat lainnya, berhasil mengkudeta karena dia berada di dalam. Sedangkan sekarang dia berstatus orang luar. Dahulu dia berhasil karena bergelimang uang, sekarang tentu dengan dana yang pas-pasan. KLB akhirnya memang terselenggara di Deli Serdang bulan lalu, tapi hasilnya ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Ada dua alasan mengapa Nazaruddin memiliki peran penting pada KLB Deli Serdang. Pertama, karena dia memang dibutuhkan oleh Moeldoko mengingat kesuksesannya di Bandung sebelas tahun yang lalu. Kedua, karena Moeldoko termakan oleh angin surga yang dihembuskan oleh Nazaruddin dan kawan-kawannya, yang kalau berhasil, goalnya dia akan menggantikan Joko Widodo sebagai Presiden RI. Tetapi apapun alasan yang benar, sebagai Kepala Staf Kepresidenan, kini Moeldoko tentu kesulitan untuk tidur dengan nyenyak. (M. Anis)