"Sesederhana itu, Dipercaya atau Ditinggalkan."
Ini pendapat Najwa soal media yang tidak indenpenden, akan dihukum pemirsanya. Lanjutan wawancara ekslusif Heru Triyono Bismo Agung, dari Beritaga.id, hampir setahun lalu, (17/10/2016) di rumah Najwa, kawasan Cilandak, Jakarta. Ada yang beda?
Bagaimana Anda memandang independensi televisi jelang tahun-tahun politik?
Di era kebebasan informasi sekarang independensi itu penting. Jika ada televisi dilihat pemirsa tidak independen, maka akan dihukum.
Dihukum dalam arti tidak dipercaya dan ditinggalkan. Sesederhana itu. Jadi, menjaga independensi adalah tantangan, karena menjadi bentuk pertanggungjawaban televisi.
Kepemilikan media oleh politisi membuat publik khawatir media bisa dikendalikan...
Saya rasa redaksi atau newsroom media-media di Indonesia tidak mudah ditekan atau dipengaruhi.
Seberapa jauh sih pemilik media televisi bisa memengaruhi isi berita yang ditayangkan?
Kalau di Metro TV tidak pernah ya pimpinan (Partai Nasional Demokrat) memengaruhi aktivitas redaksi.
Saya juga tidak takut mereka (pimpinan). Justru lebih takut penonton yang jumlahnya jutaan. Media yang tidak dipercaya akan dengan mudah ditinggal.
Apakah pemilik stasiun televisi tempat Anda bekerja, Surya Paloh, pernah mengarahkan redaksi?
Saya yakin dia mengerti sikap redaksi yang mengedepankan independensi.
Ingat, pengontrol media saat ini makin banyak dan galak. Mulai dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Dewan Pers, organisasi jurnalis, belum lagi masyarakat yang punya wadah media sosial untuk mengkritik dan itu punya pengaruh besar.
Menurut Anda media perlu mendeklarasikan sikap politiknya?
Media jelas bisa bersikap. Apalagi jika soal kebijakan dan kepentingan publik. Sikap itu tentunya berdasar fakta dan kode etik. Biar publik juga tahu.
Artinya sah-sah saja sebuah media mendukung politisi tertentu, misalnya yang mencalonkan jadi kepala daerah?
Sepanjang itu sikap editorial ya sah. Seperti The Jakarta Post misalnya saat Pilpres 2014. Karena media memang harus bersikap di tengah gaduhnya politik. Apalagi kita tahu lebih banyak dan ingin perubahan ke arah lebih baik.
Selama ini media televisi tidak ada yang netral dong...
Asalkan sikap itu tidak membuat media berlaku tidak adil kepada pihak tertentu tidak masalah. Prinsipnya, kasih kesempatan yang sama kepada setiap pihak yang terlibat pada sebuah isu.
Bagaimana perdebatan soal netralitas ini di rapat-rapat redaksi Metro TV?
Saya tidak lagi menjabat wakil pemimpin redaksi. Sudah lama saya ajukan pengunduran diri, sekitar tahun lalu, tapi baru dikabulkan Juni ini.
Alasan Anda mundur?
Posisi itu perlu regenerasi. Saya sudah empat tahun menempatinya. Yang kedua, saya ingin fokus ke Mata Najwa saja. Saya ingin mengembangkan komunitas acara itu yang begitu banyak di daerah. Bayangkan, di Jember, acara Mata Najwa dipenuhi 35 ribu orang.
Mundurnya Anda bukan karena intervensi dari pimpinan?
Bukan. Ini soal prioritas. Sekarang waktunya mencoba pengalaman lain. Lagi pula, Izzat (Assegaf), putra saya, sudah makin besar. Kalau sibuk terus, kapan waktu buat dia.
Pengalaman lain itu adalah terjun ke dunia politik ?
Belum terpikir soal itu kalau sekarang.
Tapi menjadi politisi masuk daftar rencana Anda di masa depan?
Begini. Kalau tujuannya adalah politik yang bisa bawa dampak dan pengaruh, toh yang saya lakukan saat ini (di Mata Najwa) sudah memberi dampak dan pengaruh, misalnya mengkritisi kebijakan yang salah.
Pernah didekati oleh orang partai untuk bergabung?
Kalau tawaran selalu ada, apalagi jelang Pilkada. Mulai dari tawaran jadi tim sukses, jadi calon legislatif, bupati, wali kota dan lain-lain.
Mengapa Anda memilih bidang jurnalistik?
Sebenarnya cita-cita saya pengacara atau hakim. Tapi ketika kuliah hukum di Universitas Indonesia saya dapat kesempatan magang tiga bulan di PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dari Desember 1999 hingga Februari 2000, yang membuat cita-cita tadi buyar.
Saat magang saya begitu menikmati memburu sumber. Contohnya ketika berebut wawancara Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan di Bandara Soekarno-Hatta, Januari 2000. Saya, yang masih magang, justru diberi kesempatan bertanya terlebih dulu.
Padahal banyak wartawan senior yang mengacungkan tangan. Saya sih cuma mengandalkan senyuman ke om yang duduk di samping Annan. Om Alwi (Shihab) ketika itu menjadi Menteri Luar Negeri.
Bangganya, saat itu banyak media luar negeri dan lokal memakai pertanyaan saya untuk dimuat. Isunya soal pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Nah, di RCTI itu saya banyak belajar jurnalisme televisi dari Desi Anwar dan Helmi Yohanes.
Sebagian orang berpikir jurnalisme televisi adalah industri yang glamor, sehingga penampilan jurnalisnya harus dengan rambut yang rapih dan make up bagus...
Semua jurnalis sama saja pekerjaannya. Kurang tidur, deadline dan ketika di lapangan banyak membutuhkan stamina yang kuat. Mau itu cuaca panas atau hujan ya harus dijalankan. Butuh kesabaran juga menunggu sumber berjam-jam.
Tapi kan tetap harus memerhatikan penampilan?
Saya sih sebagai perempuan pasti mengindahkan kepantasan. Tidak harus berbusana yang sedang tren, yang penting terhormat.
Termasuk memerhatikan dan merawat mata Anda yang merupakan aset...
Iya nih, belum sempat operasi lasik. Lagi cari waktu tapi tidak sempat terus. Mata saya sudah minus delapan kanan dan kiri. Sehari-hari memakai lensa kontak.
Tapi, karena aku silinder, saat baca juga harus pakai kacamata. Nah, kalau depan publik aku tuh enggak pede berkacamata. Nanti namanya jadi Kacamata Najwa dong he-he.
Kira-kira inovasi apalagi yang akan diterapkan di Mata Najwa?
Saya ingin world tour Mata Najwa. (habis)