Seri Kodoba, Atraksi Menarik Festival Wonderful Halmahera Utara
Banyak keunikan ditemukan pada tarian tradisional yang berasal dari Halmahera Utara. Salah satunya atraksi Seri Kodoba yang disajikan saat Festival Wonderful Halmahera Utara.
Atraksi Seri Kodoba ini merupakan tradisi upacara adat yang masih mereka pegang teguh dan laksanakan di Halmahera Utara tepatnya di Desa Limau.
Seri Kodoba disajikan dalam beberapa tarian, seperti tari Tokuwela, tari Solumbe dan atraksi Bambu Gila. Mungkin orang sudah banyak mengenal dengan atraksi Bambu Gila, tetapi orang belum banyak tahu dengan tari Tokuwela dan tari Solumbe. Tarian ini mempunyai ciri khas yang unik. Selain itu, terkandung juga nilai dan makna sosial budaya yang begitu kental.
Sangat sayang jika budaya tidak di lestarikan oleh pemerintah dan masyarakat. Sebagai warisan budaya, tarian ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi turis asing untuk berdatangan ke daerah yang beribukota Tobelo ini.
Seorang Budayawan Halmahera Utara dan Ketua Sanggar Budaya Dabiloha Jesaya Rahaguna menuturkan, pada pembukaan Festival Wonderful ini, dirinya mengangkat tema “Menjaga Masa Lalu”. Jadi dengan Festival Wonderful ini, diharapkan budaya itu bisa menjadi destinasi wisata.
"Seperti Pak Bupati sampaikan bahwa disini banyak destinasi wisata tetapi budaya tidak dikemas dengan bagus, sehingga budaya itu menjadi kontemporer, jadi wisatawan mancanegara datang hanya sekedar datang saja tetapi tidak punya kesan bahwa disini ada sebuah destinasi yang benar benar mengangkat budaya lokal," kata Jesaya.
Jesaya menambahkan dengan tema menjaga masa lalu, dirinya memilih 3 atraksi yang diangkat dari ritual budaya lokal, yang mungkin sudah mulai hampir punah. Seperti Tari Tokuwela, tari ini sebenarnya baru pertama kali dipentaskan di Galela, yang kira-kira sudah 50 sampai 60 tahun lalu tidak pernah ditampilkan lagi. Hal ini lantaran tarian tersebut dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan kekinian, agama dan lain lain.
“Tarian Tokuwela sebenarnya itu budaya lokalnya orang Galela, dan kebetulan kampung kami berada di Galela Utara, Desa Limau. Di kampung kami setiap tahun selalu buat ritual ini. Ada rumah penunggu kami yang kami sebut Rumah Elang. Rumah ini dari generasi ke generasi di Kampung Limau, harus dilindungi karena rumah ini bisa menjadi tempat pemersatu. Dari anak-anak hingga orang dewasa selalu berpegangan tangan, untuk menunjukan bahwa mereka bisa bekerja sama," tutur Jesaya.
Di katakannya, rumah elang itu setiap tahun dibuat ritual, tetapi hanya warganya saja yang membuat ritual seperti itu dari tahun ke tahun. “Tari Tokuwela yang termasuk dalam Seri Kodoba ini sudah di akui oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI Sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2016 yang lalu, Tarian ini merupakan warisan dari turun temurun dari ratusan tahun yang lalu,” jelas Jesaya
Jesaya menceritakan dalam legenda masyarakat Galela bahwa burung elang dipercaya dapat memberikan petunjuk. Kalau burung sudah terbang mengelilingi kampung maka masyarakat bisa berbondong-bondong mencari ikan. Orang percaya dengan menjaga rumah itu maka elang itu akan kemana mana memberi petunjuk keberadaan ikan kepada mereka yang berada di kampung pesisir. Nah apabila budaya ini dijadikan destinasi wisata, maka ritual itu dapat menjadi daya tarik bagi para wisatawan.
Selain tari Tokuwela disajikan juga tari Salumbe, yang merupakan turunan dari tarian Tokuwela. Salumbe artinya memanggil. Jadi saat mereka memanggil ikan maka semua gadis-gadis yang ada di lima desa nelayan itu harus turun ke laut berdiri sampai air sepinggang. Kemudian dengan daun atau apa saja, mereka memanggil sambil bermain ombak, karena diyakini bahwa gadis-gadis itu dapat memberikan aura yang positif terhadap energi di laut sehingga membuat ikan ikan mendekat. Upacara ritual tersebut diadakan 5 tahun sekali.
"Kami berharap ritual ini jangan hanya menjadi ritual kami saja, biar dunia luar tahu. dan ritual ini bukan hanya milik kami. Kami berharap ritual ini bisa diangkat menjadi destinasi wisata. Ritual ini bisa kita jadikan kalender wisata, bisa kita lakukan empat sampai lima kali dalam setahun," kata Jesaya. (*)