Serem Jhon... Ada Asosiasi Tengkulak Kopi Indonesia
Ada kawan, yang bergiat di kopi, memposting gambar ini via medsos.
"Asosiasi Tengkulak Kopi Seluruh Indonesia". Simbolisasi penekanannya adalah: Kerja Keras Demi Untung Besar!
Seiring postingan itu muncul pesan: kaos bisa dipesan. Ada ukuran S, M, L, XL, bahkan XXL. Pilihannya ada rentang lengan panjang, juga lengan pendek. Mana suka. Mana yang dipilih.
Cocok? Bungkus... Cocok? Kirim...
Tak berselang lama, respon pun bersambut. Dari yang hanya sekadar berjempol hingga tanggapan pernyataan unik-unik. Mengundang tawa. Mengundang cekikikan.
Beberapa penanggap bahkan ada yang langsung memesan. Memesan sesuai ukuran badan. Soal pembayaran bebas. Transfer oke. Tunai malah oke. Barter dengan biji kopi juga boleh. Sepertinya begitu deh!
Tengkulak. Kata ini cukup jarang muncul di permukaan. Dia baru muncul kalau ada musim panen menjelang datang. Atau ada gejolak pasar, ada kelangkaan komoditas tertentu hingga melambungkan harga yang bikin masyarakat menjerit dengan cetar membahana.
Saat itu muncullah kata ini. Munculnya seperti hantu. Kadang juga menyerupai binatang. Binatangnya kambing hitam. Dipojokkan. Terpojokkan. Koyo-koyone dialah tersangka satu-satunya. Sebab itu layak ditunjek gaya Suroboyo. Layak juga diuyuhi seperti mengencingi kumuhnya pojokan-pojokan pasar.
Kata ini, t e n g k u l a k, pendeknya benar-benar menjadi momok. Menakutkan. Setidaknya dulu. Setidaknya juga sekarang.
Ter-frame dalam imajinasi, orang yang profesinya tengkulak perwujudannya tak kalah menakutkan. Tengkulak apa saja, tak terkecuali tengkulak kopi.
Tengkulak punya karakter menakutkan kerena biasanya orang di sekelilingnya juga menakutkan. Punya centeng-centeng. Kasar dan tak peduli. Tak mau tahu, tapi maunya harus diketahui.
Di zaman Orba yang lewat, orang macam beginian tak jarang bersenjata api. Bisa nembak seenaknya: dor! Lalu pergi dengan suantai. Tak takut hukum. Tak takut dibalas. Tak takut dengan apa saja. Persis seperti film berpiala Oscar: Godfather. Dibintangi dengan seksama oleh Al Pacino. Nama lakonnya adalah Don Corleon.
Itu sekilas masa lalu. Secuplik simetris film yang ada Don Corleon-nya. Lalu munculah gambar ini. Kaos ini persisnya. Bahwa ada tengkulak berasosiasi. Membuat asosiasi. Salahkah?
Ini kaos jelas bersayap. Sayap yang tak bisa terbang. Hanya maknanya yang mampu terbang tinggi. Terbang berupa sindiran. Bisa pula berupa sarkasme. Namun, di zaman now, sindiran dan sarkasme ini hanya bermuara pada tiga kata: Kaos yang Keren.
Di ranah ini, sedikit melirik teori Pierre Bourdiue yang njlimet soal power. Soal kekuasaan. Power dan kekuasaan salah satunya ditentukan oleh modal. Tengkulak adalah modal. Karena itu dialah juga seorang kuasa.
Kuasa atas apa? Emm... apa ya? (Kopi sajalah. Karena kaos asosiasi itu berbunyi kopi).
Modal itu banyak. Ada empat. Setidaknya. Bisa modal sosial. Bisa modal ekonomi. Bisa modal kultural. Terakhir modal simbolik. Nah, tengkulak itu minimal punya dua modal yang nyata. Pertama modal ekonomi (sudah jelas), dan kedua modal simbolik.
Secanggih apapun modalnya, tengkulak tetap tak punya tempat. Di mata apa saja. Sudut pandangnya tak pernah beranjak dari kata negatif.
Tapi, senyatanya, dengan kekuatan modalnya, dia selalu berada di depan. Meninggalkan siapa saja, termasuk Negara.
Di depan mana? Ya di depan komoditas-lah. Apapun komoditasnya, dan apapun yang bisa diperdagangkan menjadi satuan bermata uang.
Celakanya, dia, tak jarang diangap pahlawan. Karena keberhasilannya selalu berada di depan itu. Karena selalu mampu berada di sudut paling sangat dibutuhkan pekebun, petani, dan seterusnya.
Oii... ngelantur dan maafken. Pierre Bourdiue membuat kening menjadi berkerut. Awas ya kalau terlalu banyak kerut akan gampang jadi kisut.
Kalau kisut kopi mah menarik coi. Kisut kering itu pasti karena proses natural. Jemur diterik kulit sekalian kopinya. Tentu akan bikin lidah bergoyang ketika proses ini selesai dan disuguhkan jadi minuman.
Tanpa sadar, boleh jadi juga dengan kesasaran penuh, kata tengkulak dalam tampilan kaos S, M, L, XL, lengan panjang, juga lengan pendek ini seperti masuk mesin cuci. Seperti sedang dibersihakan. Tidak negatif untuk dijauhi, tapi malah mengesankan untuk didekati. Juga dirangkul kalau perlu, atas sesuatu yang sudah dikerjakan.
Lalu... mereka juga kerja keras kok. Sekeras minatnya menjadi tengkulak. Jangan salah, mereka kadang lupa tidur lupa makan lupa waktu lho. Kadang juga lupa bangun dari duduk. Sebab itu banyak tengkulak menderita ambeien kerena kebanyakan hitungan order.
Lalu... ya kalau untung besar wajar dong. Boleh juga dong. Masak gak boleh sih untung besar. Kan begitu cita-cita orang berdagang.
Lalu... ah kalau begini pingin jadi tengkulak deh! Semoga ada matakuliahnya ya. widikamidi