Serba-serbi Ketajaman Berpikir
Resensi Covad-covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik
oleh Ihdina Sabili
Judul: Covad-covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik
Penulis : Agus Prasmono, Ari Pandan Wangi, Cs Mei, dkk
Penerbit: Padmedia
Tebal buku: xviii + 240
Tahun Terbit: Oktober, 2021
Membaca buku adalah salah satu momen menyerap wawasan dan pengetahuan baru. Baik buku fiksi atau nonfiksi, ilmiah atau populer, solo atau antologi. Jika membaca buku solo kita bisa mendapat pandangan dari seorang penulis, maka dari buku antologi kita akan mendapat berbagai pandangan baru, dari sejumlah penulis yang berkontribusi di dalamnya.
Begitu pula yang kita dapatkan dari buku dengan judul cukup panjang ini: Covad-covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik. Jika umumnya antologi mengusung satu topik sebagai benang merah, buku berisi 258 halaman ini memiliki lima tema yang menggaris bawahi 36 judul di dalamnya.
Topik yang Beragam, Ringan Dibaca
Sebagai buku yang lahir dari sebuah pelatihan penulisan esai populer, buku ini mengandung keanekaragaman ide yang cukup unik.
Pandemi sekaligus menjadi topik mayoritas yang diangkat pada buku ini. Mengingat waktu penulisannya memang dalam masa pandemi, mungkin hal ini yang memudahkan para penulis dalam mencari landasan pembahasan dan pencarian tema hangat. Dari topik besar pandemi saja, dapat terbagi menjadi dua sub topik: Pandemi dan Kita serta Perempuan dan Pandemi.
Dari topik Yang Hilang, yang Baru, dan Tema-Tema Kecil mencakup enam judul. Satu lagi, kategori Era Digital, Kecemasan dan Menunggu Kabar Baik menempati bagian paling akhir.
Esai yang terbungkus dalam buku ini terbilang cukup ringan dan up to date. Sehingga pembaca dibuat asyik mengikuti gaya bahasa dan tentunya topik yang dibahas. Mungkin beberapa tulisan memang bahasanya terasa hangat sehingga pembaca merasa dekat.
"Seperti Kuat Saat Darurat" karya Triana atau "Hidup Tak Sebercanda Itu" karya Ari Pandan Wangi. Beberapa judul lain menyuguhkan wawasan yang cukup penting, tak terduga kita butuh itu. Seperti halnya "Waspada Anak Tantrum Saat Pandemi" karya Hafiidhaturrahmah, "Mengolah sampah Menjadi Berkah" karya Winda Listyani atau "Pandemi dalam Perspektif Kependudukan" karya Agus Prasmono.
Ini adalah bukti bahwa tulisan itu lahir dari pengamatan dan pengalaman penulisnya. Maka tulisan seorang dokter tentang bidang mereka tentu akan lebih matang dan berbobot serta tentunya lebih dipercaya, meski dibungkus dengan kalimat populer.
Meski demikian dalam buku ini juga tersempil tulisan yang mengandung kritikan halus maupun tajam, seperti halnya "Sharing is Caring? Tidak sesederhana itu, Ferguso" karya Dewi Purboratih, "Gara-gara Pagebluk" karya Evie Suryani Pohan, "Persoalan Bungkus Makanan: Industri Budaya K-pop, Konsumerisme, dan Ekspresi Identitas Generasi Z" karya Zakiyatul Mufidah, serta "Memangnya Beli Makanan Pakai Daun" karya Yoni Astuti. Sebagaimana khas sebuah esai yang terstruktur, meski dengan gaya bahasa ringan dan populer, hampir seluruh judul dalam buku ini memiliki kesinambungan yang erat antara kalimat pertama dengan kalimat penutupnya.
Harapan dan Kehidupan
Sebagaimana telah dituliskan Afrizal Malna dalam kata pengantar, buku ini juga mengandung harapan manis pula yang tersebar pada beberapa judul. di antaranya "The Power of Kepepet" karya Wina Bojonegoro, "Spiritualis itu Solusional" karya Eva K. Sundari, "Pintuku Akhirnya Terbuka" karya CS Mei, dan tentunya "Kabar Baik yang Kutunggu" karya Sartini. Membaca buku ini bagaikan sambil menyelam minum air. Lantaran begitu banyak air yang bisa kita tenggak, sehingga penyelaman harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh.
Buku ini juga bisa menjadi bukti pada semesta, bahwa kenyataannya membuat buku bersama tak harus berjumpa. Pembelajaran dapat dilakukan di mana saja dan berkarya dapat dipraktekkan kapan saja, meskipun dalam situasi pandemi dan serba keterbatasan. Sebagaimana satu kutipan dalam judul "Perang Semesta" karya Ence Noor: "Strategi yang diajarkan Sun-Tzu yang utama adalah memprediksi atau melihat hasil sebuah peperangan yang akan dilakukan." Jika kalimat ini ditransformasikan lebih luas, maka juga bisa diterapkan pada keluasan potensi berkarya.
Itu telah dibuktikan oleh komunitas Perempuan Penulis Padma atau Perlima, dalam usianya yang masih cukup belia ini. Selamat atas kelahiran buku pertama, Perlima! (ihdinasabili)
editor : WE
Advertisement