Serangan Kejut HAMAS ke Israel
HAMAS (Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah, Gerakan Perlawanan Islam /حركة مقاومة الاسلاميه) adalah gerakan politik-militer ke-2 terbesar di Palestina setelah Al-Fatah. Al-Fatah menguasai Yerusalem Timur dan Tepi Barat Sungai Yordan, sedangkan Hamas menguasai Jalur Gaza. Al-Fatah terikat pada Perjanjian Perdamaian Oslo II yang ditandatangai Yasser Arafat (almarhum) dengan PM Israel Yitzak Rabin pada 1993: antara lain tidak melakukan serangan militer terhadap Israel. Adapun Hamas sejak 2005 tidak terikat lagi terhadap perjanjian tersebut.
Sejak 2008, Hamas beberapa kali melakukan serangan terhadap wilayah yang dikuasai Israel dengan bantuan senjata dari Iran dan dukungan politik dari Syria. Hamas juga bersekutu dengan “Milisi Jihad Islam” yang juga bergerak di Jalur Gaza. Di samping itu, Hamas juga mendapat dukungan pula Hizbullah, di Libanon Selatan. Momentum ofensif militer Hamas itu berkaitan erat dengan meningkatnya kekecewaan penduduk Palestina terhadap aksi brutal aparat keamanan Israel terhadap warga Palestina khususnya di Yerusalem Timur dan Jenin.
Sebelumnya Hamas pernah melakukan serangan udara ke Israel, tetapi serangan kali ini lebih dahsyat. Sistem pertahanan Israel “Iron Dome" sebelumnya tidak dapat ditembus oleh roket buatan Iran. Namun kali ini “Iron Dome”, dapat tembus jauh ke wilayah Israel. Dan dalam waktu bersamaan, Brigade Izzuddil Qasam suatu pasukan khusus Hamas melancarkan serangan ke kota Askelon sebelah utara Gaza dan pemukiman Yahudi di sebelah timur Gaza.
Pasukan Hamas menangkap 150 orang tentara Israel dan warga sipil yang dibawa dan ditahan di Gaza sebagai sandera. Israel membalas serangan udara ke wilayah Gaza yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan bangunan.
Hubungan Diplomatik
Serangan Hamas yang selama ini mendapat dukungan dari Iran dan Syria, diduga kuat erat kaitannya dengan pembukaan hubungan diplomatik beberapa negara Arab dan Islam dengan Israel antara lain Maroko, Sudan, Emirad Arab, Bahrain menyusul Turki, Mesir dan Yordania yang terlebih dulu membuka hubungan dengan Israel. Bahkan, Arab Saudi dikabarkan segera menormalisir hubungan dengan Israel.
Hamas tampaknya menunggu dukungan serangan dari Hizbullah yang mempunyai “brigade khusus” di sekitar kota Bint Jubail , Libanon yang berbatasan langsung dengan Israel Utara. Sejauh ini Iran atau pun Syria yang merupakan pendukung Hizbullah dan Hamas masih berdiam diri, meskipun pimpinan Hamas telah menyatakan kemungkinan pelibatan Hizbullah.
Israel tentu saja akan melakukan kalkulasi atas serangan kejutan Hamas yang menimbulkan korban yang cukup besar. Serangan Hamas kali ini tidak bisa diabaikan, selain menimbulkan ketakutan masyarakat sipil Yahudi, juga mendorong semangat warga Arab yang tinggal di wilayah Tepi Barat Sungai Yordan. Pada sisi lain, posisi politik Hamas di internal bangsa Palestina akan meningkat, sehingga Al-Fatah kemungkinan akan memberikan peranan politik yang besar.
Perlu digarisbawahi penyanderaan 150 tentara dan warga Israel oleh Hamas merupakan masalah politik dalam negeri yang sensitif karena masyarakat Yahudi akan bersikap keras agar sandera tersebut segera dibebaskan. Pada masa lalu, seorang sandera militer ditukar dengan seribu warga Palestina yang dipenjara Israel. Kali ini keberhasilan serangan Hamas diperkirakan akan memaksa Israel dan negara Barat pendukungnya dan negara negara Arab terkemuka untuk membuka dialog guna mencari solusi konflik Israel - Palestina. Tentu saja seiring perubahan situasi terakhir, Konsep Perdamaian ala Presiden Donald Trump (menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mendukung perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat Sungai Yordan) akan dipersoalkan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.\