Mengenal Serabi Kampung, Jajanan Tradisional yang Melegenda
Pria berusia 73 tahun bernama Nasuha asal Pemalang Jawa Tengah, dua pertiga usianya telah dihabiskan untuk berjualan serabi kampung di Jakarta.
Yang membuatnya tetap bersemangat puluhan tahun berjualan jajanan tradisional, karena serabi tetap disukai. Punya segmen pembeli tersendiri. Pembelinya kebanyakan orang kampung pinggiran, tetapi ada juga kalangan bermobil yang ingin menikmati jajanan satu ini.
"Pagi saya jualan setelah shalat subuh sekitar pukul 05.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB sudah habis. Jualan lagi pada sore hari mulai pukul 14.00 WIB nggak sampai pukul 17.00 WIB sudah habis," kata Nasuha.
Pelanggannya menyerankan supaya berjualan sampai siang, mengingat pembelinya cukup banyak. Nasuha menjawab, dirinya sengaja tidak mau berjualan sampai siang karena sudah bosan berurusan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
"Sudah tujuh kali lapak saya digaruk Satpol PP karena berjualan siang hari di atas trotoar yang diperntukkan bagi pejalan kaki," kenangnya. Lapaknya dikembalikan setelah memberi uang tebusan sebesar Rp150 ribu kepada petugas. Kalau tidak dikasih uang lapak tempat memasak serabi akan dihancurkan.
Beberapa pelanggan mengatakan menyukai serabi kampung. Salah satunya dari cara memasaknya masih asli mengikuti cara zaman dulu, yakni menggunakan kayu bakar.
Asapnya menebar aroma alami membust cita rasa jajanan yang terbuat dari tepung beras tersebut semakin gurih.
Serabi tradisional ini disajikan dengan kuah santan dan cairan gula merah. Orang Jawa Tinur utamanya Surabaya, cukup akrab dengan jahanan peninggalan nenek moyang.
Nasuha menyebutnya begitu karena neneknya dahulu juga jualan serabi secara turun temurun. "Sebelum Indonesia merdeka buyut buyut saya sudah jualan serabi. Saya termasuk generasi ketiga. Dari dulu masaknya seperti ini, tidak ada yang berubah, menggunakan kuali kecil dan kayu bakar," ujarnya.
Cara memasak yang unik ini justru menjadi daya tarik. Pengunjung selain membeli serabi, ada yang iseng merekam dari cara memasak serabi dengan kamera hp. Ia ambil gambar dari mulai menuang adonan, cara mengangkat sampai menjaga api dari kayu bakar supaya tetap menyala. Dia menganggap cara masak yang unik dan langka. Sebab yang dilihat, sekarang umumnya memasak menggunakan kompor gas bukan dengan kayu.
Serabi Pak Nusha sejak awal Agustus 2024 harganya naik menjadi Rp2.500 dari sebelumnya Rp 2000 per biji. Itu karena harga bahan bakunya juga naik. Penyesuaian harga ini tidak berdampak, pembelinya tetap ramai.
Pengunjung rata- rata membeli dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga di rumah. Hanya beberapa orang saja yang makan di tempat sambil nongkrong di pinggir jalan. Nasuha sengaja tidak menyedikan tempat duduk bagi yang ingin makan di tempat, karena tidak mau ribut dengan Satpol PP.
Selain serabi kampung , ada juga serabi Solo yang diolah secara modern yang cukup terkenal yaitu Serabi Notokusuman. Bahan yang digunakan hampir sama dengan serabi yang lain. Yaitu tepung beras, pandan, gula, santan, garam, dan vanila. Gampang terkenal karena outletnya ada di mana-mana.
Berbeda dengan serabi kampung, tendanya nempel di pagar dan dipenuhi asap kayu bakar. Sedang serabi Notosuman ini cara memasaknya pun berbeda, yakni ini menggunakan bahan bakar gas.
Harga Serabi Notosuman Solo original isi 10 vacum pack Rp 50 ribu. Disparitas atas perberbedaan harga yang cukup tinggi, orang pinggirian lebih menyukai serabi kampung, yang punya cita rasa alami.