Seputar 'Sewa Perahu' Partai Politik
Tahun 2018 ini, sebanyak 171 daerah yang terdiri dari 115 kabupaten, 39 kota dan 17 provinsi bakal menghelat pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) secara serentak. Tanggalnya sudah dipatok, yakni pada hari rabu tanggal 27 Juni 2018. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan dengan pilkada serentak pada tahun 2017 lalu yang berjumlah 101 daerah. Jumlah pemilih yang terlibat sebanyak 160 Juta lebih. Bandingkan dengan jumlah pemilih dalam pemilu 2014 sebanyak 186 Juta lebih. Hanya Provinsi Papua Barat, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang terbebas dari panggung-panggung kampanye pilkada.
Belakangan, muncul lagi kasus-kasus yang berkaitan dengan kontrak-kontrak politik antara partai-partai politik dengan kandidat yang diusung. Masalah ini terjadi ketika calon atau pasangan calon sama sekali tak berasal dari partai politik yang mengusung, baik politikus yang berpindah perahu, maupun kalangan profesional atau independen yang memilih rekomendasi partai politik. Padahal, jalur perseorangan sudah disediakan sebagai pintu masuk bagi kandidat yang tak hendak diusung oleh partai politik. Belum ada data, seberapa banyak kandidat perseorangan yang berhasil lolos persyaratan. Salah satunya adalah Hariyadin Mahardika dan Arif Rahman, dua sosok muda potensial yang maju dalam pemilihan calon walikota dan calon wakil walikota Madiun.
Sementara, para analis dan pengamat yang bergaya priyayi masih saja berpikir betapa partai-partai selayaknya membuka diri terhadap kandidat-kandidat non partai politik. Seolah, partai politik didirikan, diorganisasikan dan dikelola untuk para bapak moyang dari para analis seperti itu. Pola-pola deparpolisasi masih saja mengemuka, seakan partai-partai politik tak pandai dan tak sanggup menghadirkan kandidat-kandidat berkualitas. Bahwa seolah hanya mereka yang non parpollah yang memiliki reputasi lebih baik, dibandingkan dengan kandidat-kandidat partai politik.
Terdapat kekeliruan pola berpikir bagi kalangan pengamat atau analis seperti ini. Yang sebetulnya terjadi adalah cara lompat katak, yakni jalan pintas untuk memasuki jalur partai politik dengan cara menyewa kendaraan atau perahunya. Betapa politisi di masing-masing partai politik sudah gosong ditimpa terik matahari, bekerja siang malam mengelola partai politik dan konstituennya, sama sekali tak dihitung sebagai aset. Mereka yang tampil sebagai kontraktor pilkada alias hanya melihat partai politik sebagai tangga menaiki pucuk-pucuk kekuasaan, malahan dikasih cap sebagai pahlawan baru yang sengaja didorong untuk "mengubah keadaan”. Rating elektabilitas diusung sebagai basis legitimasi yang menghilangkan sama sekali kerja keras masing-masing partai politik untuk bertahan di tengah banyak goncangan.
Sudah saatnya pandangan-pandangan seperti itu disingkirkan atau ditolak dengan keras oleh partai-partai politik. Sudah banyak contoh betapa kalangan yang mengaku-ngaku independen sesungguhnya juga manusia oportunis yang mencari lubang-lubang kekuasaan guna mobilitas sosial dan politik. Mereka juga berburu kekuasaan, bahkan jauh lebih ganas dari kalangan politisi yang bernaung dalam tubuh partai-partai politik. Mereka menggunakan jejak-jejak profesional dan independensi mereka untuk menyerang dan meruntuhkan kalangan politisi dalam tubuh partai-partai politik. Padahal, ketika mereka diberikan jabatan-jabatan publik yang terhubung dengan kekuasaan politik, mereka dengan senang hati bertengger dan bersemayam di dalamnya. Bahkan, itupun dengan cara menghilangkan sikap kritis kepada penyelenggara negara yang berpangkat lebih tinggi dari mereka, sebagai pertanda bahwa mereka juga ketakutan kehilangan panggung dan energi kuasa yang mengikat diri mereka.
Partai-partai politik sudah selayaknya terus menerus membenahi diri sendiri, termasuk dengan memproduksi sebanyak mungkin sumberdaya manusia yang terafiliasi dan memberikan pelatihan menyeluruh terkait dengan profesionalitas. Kemampuan dan keahlian khusus tersebut bisa dengan mudah didapatkan, asalkan partai-partai politik semakin memodernisasi dirinya. Kecintaan kepada ilmu pengetahuan menjadi salah satu cara mewujudkan itu, sebagaimana dengan kehadiran banyak sekali politisi zaman pra dan pascakemerdekaan yang memiliki latar belakang keilmuwan yang baik. Bukanlah panggung politik dan partai politik di Indonesia dilahirkan oleh kalangan paling terdidik dan paling profesional di zamannya, termasuk para dokter, ahli hukum, ahli ekonomi, sampai kalangan insinyur? Sungguh ahistoris memandang partai politik justru dilahirkan oleh para benalu demokrasi yang seolah-olah berdiri di atas semua golongan dan berpihak kepada kalangan jelata. Justru mereka yang paling terdidik inilah yang paling berpihak untuk meruntuhkan kekuasaan kolonial, begitu juga bibit-bibit otoritarian sejak kemerdekaan.
Partai politik perlu melengkapi diri dengan ornamen-ornamen dan kelembagaan-kelembagaan yang khas di negara-negara demokrasi. Termasuk di dalamnya lembaga-lembaga survei, konsultan-konsultan pemenangan, ahli-ahli strategi, sekolah-sekolah politik, profesional-profesional di bidang retorika, jejaring para penulis yang merupakan ciri politisi prakemerdekaan, sampai berjenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh kelembagaan-kelembagaan demokrasi moderen. Sungguh tabiat yang tak elok jika partai-partai politik membelakangkan kader-kadernya, lebih mempercayai lembaga-lembaga survei yang hidup dari anggaran-anggaran yang disediakan partai-partai politik ataun kandidat, tak mengedepankan kalangan profesional yang semakin berjibun dalam tubuh partai-partai politik, sampai hirau terhadap kesejahteraan sumberdaya manusia yang dimiliki sendiri.
Apabila mentalitas “sewa perahu” partai-partai politik tak dihilangkan, sebaiknya memang perahu-perahu partai politik sendirilah yang layak dibakar atau ditenggelamkan, karena tak bisa memaksimalkan sumberdaya internal yang dimiliki.
Jakarta, 04 Januari 2018