Sepi Pembeli, Penjual Bendera Kembali Cari Barang Bekas
Penjual bendera merah putih dan umbul-umbul untuk menyambut HUT ke-78 Kemerdekaan RI marak hampir di setiap kota. Mereka berburu rezeki dengan memanfaatkan momen 17 Agustusan. Harapannya, pedagang bisa meraup untung besar.
Tapi kenyataan zonk. Penjualan ornamen 17 Agustusan itu tidak setinggi harapan para pedagang. Imbauan pemerintah agar di setiap rumah dan gedung perkantoran mengibarkan bendera, sejak 1 Agustus 3023, tidak berpengaruh pada ikhtiar para pedagang bendera.
Sudah hampir dua minggu masuk kampung, keluar kampung sembari mendorong gerobak sambil menjajakan bendera hanya membuahkan capek. "Beneran ini, satu hari muter-muter hanya laku dua bendera," ucap Udin.
Ia mengaku masih untung, karena beberapa orang temannya ada yang belum laku selembar bendera pun. Akhirnya, mereka kembali mencari barang rongsokan.
Pria asal Cirebon Jawa Barat itu mengatakan, para penjual bendera musiman di Jakarta jumlahnya sekitar 750 orang. Sebagian besar berlatar belakang pencari barang rongsokan seperti kulkas, mesin cuci, AC dan kipas, kompor gas serta peralatan rumah tangga lainnya yang sudah rusak, dan dijual kembali dengan harga murah.
Setiap menjelang 17 Agustusan, Udin dan beberapa kawannya beralih profesi sebagai penjual bendera dan pernak-pernik untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan RI. Setelah tiga tahun absen karena pandemi COVID-19, baru sekarang mereka berjualan lagi.
"Yang jualan bendera bertambah banyak, menyebar ke mana-mana tapi yang beli sedikit," kata Udin, sambil kipas-kipas di bawah pohon dekat sebuah gereja di Jalan Raya Matraman, Jakarta.
Udin tampak lelah, kausnya basah keringat setelah berkeliling menjajakan bendera di daerah Senen, Kramat Sentiong, Kayu Manis, Pisangan hingga Matraman.
"Selama satu minggu baru laku empat lembar bendera berukuran 60x 40 cm," katanya dengan ekspresi cemas.
Tapi Udin ingin tetap berjualan bendera hingga 17 Agustusan berakhir. "Kepalang basah," selorohnya.
Para penjual bendera keliling di Jakarta, umumnya hanya bermodal tenaga, tinggal mengambil pada seorang pedagang besar di daerah Jatinegara, Jakarta Timur, dengan sistem retur. "Barang yang tidak laku boleh dikembalikan, hanya bayar sudah laku," ungkap Udin.
Salah seorang penjual bendera yang mangkal di daerah Cikini bernama Emeng menjelaskan, sebagian besar penjual bendera keliling berasal dari Kuningan Cirebon, Jawa Barat, satu daerah dengan bos bendera.
"Bos pesan kalau ada yang tanya disuruh bilang bendera bikinan sendiri, bukan ambil dari orang lain," bebernya.
Emeng sudah lama berjualan bendera. Tetapi ia heran, tahun ini pembeli bendera tidak seramai dulu. Pria berusia 57 tahun itu bercerita, dulu orang pada takut kalau sampai tidak mengibarkan bendera merah putih pada tujuh belasan.
"Dulu kalau 17-an rame sekali, setiap gapura dihias, setiap rumah mengibarkan bendera, sekarang sudah berubah. Sudah diteriakin suruh pasang itu pun masih tidak mengibarkan bendera," ujar dia.
Bukan Ukuran Nasionalisme Luntur
Sehubungan keluhan penjual bendera musiman yang sepi pembeli, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devi Rahmawati mengatakan, sepinya pembeli bendera tersebut tidak bisa dijadikan ukuran untuk menyimpulkan bahwa kecintaan masyarakat Indonesia menghormati bendera negaranya sudah mulai luntur.
Mereka tidak membeli bendera mungkin karena sudah punya. Apalagi bendera tidak termasuk barang kebutuhan pokok sehari-hari. Satu bendera kalau disimpan dengan baik masih bisa dipakai selama bertahun-tahun.
"Menurut saya yang perlu didorong adalah niat dan kesadaran untuk mengibarkan bendera merah putih, jangan sampai kalah dengan bendera partai politik jelang Pemilu," tuturnya.