Seperti yang Tuhan Telah Ciptakan
Oleh: Ahmad Zainul Hamdi
Di antara sekian banyak perseteruan dalam sejarah umat manusia, mungkin perseteruan antara rasio dan wahyu adalah salah satu jenis perseteruan yang begitu abadi dan legend.
Dalam sejarah agama, perseteruan ini menandai perkembangan dan pergulatan hidup para pemeluknya. Perseteruan ini telah melahirkan mazhab-mazhab teologis yang tidak jarang saling mengkafirkan, bahkan perang yang saling memusnahkan.
Konflik rasio vs wahyu ini juga menjadi episode penting dalam sejarah sains. Dalam satu penggal sejarah dan di mata kelompok agamawan tertentu, sains dianggap sebagai sejenis kesombongan manusia di depan Tuhan.
Usaha-usaha dan capaian-capaian sains dituduh sebagai tantangan terhadap kekuasaan Tuhan. Berbagai eksperimen sains ditengarai sebagai upaya untuk membongkar rahasia Tuhan dan upaya makar untuk menggusur Tuhan dari singgasana-Nya.
Kreatif dan Keagungan
Itulah yang bisa kita lihat dalam sepenggal scene film Something the Lord Made (Sesuatu yang Tuhan telah Ciptakan). Film ini berkisah tentang sejarah operasi jantung pertama di RS Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat pada 1943. Tokoh utamanya adalah dr. Alfred Blalock (Alan Rickman) dan asistennya Vivien Thomas (Mos Def).
Di masa itu, ada sebuah tabu di kalangan kedokteran, agar setiap operasi medis tidak sampai menyentuh jantung pasien. Tapi Blalock justru akan melakukan operasi jantung seorang balita yang sedang menderita penyakit blue baby.
Blue baby adalah sejenis penyakit kekurangan oksigen pada darah yang membuat kulit bayi membiru. Salah satu penyebabnya adalah adanya kelainan pada jantung seorang bayi sehingga pemompaan darah dari jantung ke paru-paru dan dari paru-paru ke jantung tidak normal, sehingga darah kekurangan oksigen.
Bisa dibayangkan betapa rumitnya operasi jantung seorang bayi. Organ dalamnya masih selembut bubur. Hari-hari menjelang operasi, orang tua si anak dan dr. Blalock sangat tegang. Si orang tua berkonsultasi dengan seorang pendeta.
Dengan sangat bersahaja dan kebapakan, si pendeta menasihatinya agar tidak melanjutkan operasi jantung anaknya karena Tuhan punya rencana sendiri dengan penyakit kelainan jantung si anak.
Ucapan yang sama juga disampaikan sang pendeta kepada dr. Blalock. Bahkan dia menuduhnya menentang rencana Tuhan. Dengan muka dingin dan nada datar, dr. Blalock menimpali, "Jika seperti itu, berarti Tuhan berencana membunuh bayi tersebut".
Begitulah, konflik itu hingga kini belum sepenuhnya bisa didamaikan. Sering kita dengar ceramah agamawan yang meremehkan bahkan mencibir ilmuan atas nama kesalehan pada Tuhan. Tidak jarang pula ilmuwan merendahkan agama sebagai dongeng masa lalu yang menghambat kemajuan peradaban manusia.
Tuhan memang Zat yang Mahasempurna. Tapi seluruh makhluk ciptaan-Nya tidak ada yang sempurna. Manusia dianugerahi rasio untuk mengelola alam ciptaan Tuhan.
Ketika dengan rasionya manusia mengelola alam dan merekayasanya untuk kebaikan kehidupan umat manusia, di mana letak penentangannya kepada Tuhan? Bukankah apa yang dilakukan seorang ilmuwan itu pada dasarnya adalah kepatuhannya kepada Tuhan yang memerintahkannya untuk mengelola alam semesta demi kebaikan umat manusia?
Persoalannya seringkali bukan masalah rasio vs wahyu atau sains vs agama atau ilmuwan vs Tuhan. Yang seringkali terjadi adalah konservatisme agama vs kesombongan ilmiah.
Agama dipahami secara konservatif sehingga setiap kemajuan dianggap sebagai menantang Tuhan. Sedang ilmuwan tidak jarang menggunakan diksi-diksi yang terlalu sombong seakan setetes ilmunya hendak memorakporandakan kekuasaan Tuhan.
Saya selalu gemas (tidak jarang jengkel) ketika agama dihadirkan untuk mengolok rasio dan sains. Seakan, agama hadir untuk membentuk manusia-manusia taat tapi bebal dan bodoh. Agama perlu hadir dalam perkembangan sains. Tapi kehadirannya untuk memandu agar sains memberi kebaikan dalam kehidupan manusia, bukan untuk menghalangi dan menghentikannya atas nama Tuhan dan agama.
Ketika operasi itu pada akhirnya sukses, dr. Blalock memuji kinerja asistennya dengan kalimat "Like something the Lord made" (Seperti sesuatu [jantung] yang telah Tuhan ciptakan). Ijinkan saya menghibur diri sendiri dengan menafsiri kalimat ini sebagai rekonsiliasi rasio dan wahyu, sains dan agama. Sains berhasil melakukan operasi jantung, tapi bagaimanapun juga, Tuhanlah yang menciptakan jantung manusia, yang dengannya manusia bisa hidup.
Hanya melalui rekonsiliasi agama dan sainslah, kita bisa membangun kehidupan yang berdenyut dan berkembang dengan sehat dan baik.
Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi
Penulis adalah Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
#BanggaUINSA
#ILoveUINSA
Advertisement