Seperti Menaruh Warung di Teras Supermall
SEPERTINYA Malioboro tetap magnet bagi siapapun yang ke Jogja. Di hari-hari tertentu macetnya bukan main. Ini yang sering membuat warga Jogja sendiri menghindarinya di kala ramai.
Saya sudah puluhan tahun tak pernah lewat jalan yang tegak lurus dengan Gunung Merapi dan Keraton Jogja ini. Padahal tahun 1990-an saya pernah berkantor dan tinggal di kawasan itu bertahun-tahun.
Juga menjadi tempat nongkrong kawan-kawan seniman dan budayawan Jogja. Bersama Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Butet Kertarejasa, Jadug Feriaanto, dan tak jaran para tokoh dari Jakarta.
Hampir setiap malam, Emha Ainun Najib dan para ''santrinya'' menjadikan emperan kantor saya sebagai bagian ritual malam sampai subuh tiba. Juga para ilmuwan kondang saat itu seperti Umar Kayam. Pokoknya, bagi saya, jalan ini penuh kenangan.
Entah mengapa kali ini saya tergerak menengoknya.
Mulanya saya hanya ingin menikmati gudeg Mbah Lindu Sosrowijayan yang buka mulai jam 6 pagi. Inilah gudeg legendaris yang penjualnya sudah berumur 80 tahun. Salah satu gudeg langganan raja monolog Butet Kertarejasa. Letaknya 100 meter belakang Hotel Grage di Malioboro.
Saya ingin membuktikan apakah lidah Butet soal makanan masih bisa jadi rujukan.
Ternyata benar. Gudeg basah itu maknyus benar. Kreceknya sangat terasa. Apalagi ada pete di dalamnya.
Ayam gadingnya bisa membuat mulut enggan berhenti mengunyah. Saya pun menyudahi makan setelah kekenyangan. Sebab, ayam gading yang saya pesan masih tersisa banyak saat nasi ludes dilahap. Terpaksa menambah nasi untuk menghabiskan.
Meniru kebiasaan Butet dalam beberapa bulan terakhir, saya ikuti tradisinya ngobong kalori setiap pagi. Saya putuskan jalan agar karbohidrat yang berlebih ini terbakar lagi.
Lalu saya susurilah Malioboro di kala pagi.
Mulai dari ujung jalan depan Grand Inna yang dulu dikenal dengan Hotel Garuda. Tadinya saya belok ke kiri melewati hotel Ibis. Sampai di belakang Grand Inna, ternyata ingin kembali dan menyusuri Malioboro sampai ke ujungnya.
Wow, sisi timur jalan utama tempat city walk kota Jogja itu telah berubah. Pedestrian selebar 11 meter sudah bagus sekali. Terbentang panjang hingga hampir satu kilometer.
Dengan Granit batu warna abu-abu, trotoar jalan yang sebelum dibangun menjadi tempat parkir motor itu, makin mempercantik wajah Malioboro.
Furnitur kota di pasang di mana-mana. Siapa pun bisa duduk-duduk sambil menikmati eksotisme kota.
Standar pedestrianya sudah tak kalah dengan yang ada di luar negeri. Dilengkapi blindpath, penunjuk jalan bagi tuna netra, warna alumunium keperakan. Rapi dan cantik.
Di setiap masuk gang maupun halaman diberi pembatas yang rapi. Tempat sampah artistik tersedia di setiap jarak 50 meter.
Dari sisi kualitas, pedestrian kebanggaan warga Surabaya masih di bawahnya. Granitnya, blindpathnya, sanitasinya, tiang lampu penerangannya, dan furniture jalannya.
Pagi hari minggu itu, para wisatawan sudah banyak yang berseliweran di jalan legendaris itu. Mereka ada yang sekadar duduk-duduk di kursi. Ada juga yang menikmati sarapan pagi dari makan yang tersedia di sepanjang jalan.
Terasa penataan pedestrian Malioboro sebagai citywalk kota tidak tuntas. Warung lesehan dibiarkan seperti semula. Properti tendanya. Rombongnya. Fasilitas pendukung warung lesehannya.
Maka pagi itu, aroma segar Jogja tak terasa di sepanjang Malioboro. Indah dan nyamannya pedestrian menjadi merosot oleh warung-warung dan rombong pedagang makanan kaki lima yang berjejer di sepanjang jalan.
Jadilah, Malioboro seperti sebuah supermall yang di sepanjang terasnya berjajar warung makan dan PKL dengan rombong alakadarnya. Juga seperti rumah mewah yang di depannya dipasang pagupon doro dari bambu kuno.
Trotoar yang dibangun dengan dana lebih dari Rp 23 miliar itu jadi kurang nyaman dipandang. Kontras. (arif afandi/bersambung)
Advertisement