Seperti Gus Dur, Obama Berhasil Memberdayakan Humor
Meski beda gaya dengan Gus Dur, Barack Obama adalah tokoh politik yang berhasil memberdayakan humor dalam komunikasi politiknya. Demikian menurut Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Di berbagai acara resmi di Gedung Putih, menurut Rahmat, Obama melontarkan guyon segar yang membuat hadiri tertawa. Itu membuat suasana pertemuan formal lebih intim, sebuah pembuka yang bagus untuk lobi-lobi politik.
Humor yang gagal bisa kita ambil contoh dari pengganti Obama, yakni Presiden Donald Trump. Lihatlah salah satu cuitannya ini: In the East, it could be the COLDEST New Year's Eve on record. Perhaps we could use a little bit of that good old Global Warming. Bagi banyak orang, cuitan itu sama sekali tidak lucu. Itu bodoh. Tapi Trump adalah Trump.
Banyak Fungsi Humor
Rahmat Petuguran menjelaskan tentang banyak fungsi humor. Pandangan negatif terhadap humor tampaknya muncul karena humor diposisikan dalam dua hal.
Pertama, humor difungsikan sebagai cara mengolok-olok kekurangan orang lain.
Kedua, humor digunakan sebagai cara melarikan diri dari realitas kehidupan.
Namun belakangan, humor disadari memiliki banyak fungsi, tidak terbatas pada dunia fungsi tersebut. Oleh karena itu, pandangan publik terhadap humor semakin positif. Humor jadi keterampilan komunikasi yang sangat berguna di berbagai tempat dan suasana.
Kesadaran itu muncul terutama setelah humor ditemukan formula pragmatiknya. Untuk menciptakan dampak lucu, humor bekerja dengan cara; pertama, mengungkapkan sesuatu yang ganjil. Kedua, mengatakan kebenaran konvensional tanpa harus mengatakannya.
Pada masa Romawi, humor politik lebih banyak memanfaatkan formula pertama melalui parodi. Aktor panggung akan memerankan tokoh tertentu dengan perilaku yang berlebihan. Perilaku berlebihan melahirkan keganjilan. Perasaan aneh akibat melihat perilaku ganjil inilah yang melahirkan kelucuan dan memantik tawa.
Dalam dunia politik modern, formula kedua lebih banyak digunakan, yaitu mengatakan kebenaran tanpa harus mengatakannya. Dalam teori linguistik, formula itu disebut implikatur yaitu strategi retorik dengan mengungkapkan sesuatu secara tersirat. Ketika mendengar pesan tersirat, orang terdorong untuk mencari maksud di baliknya. Ketika pesan di balik ujaran itu ditemukan, otak menyambutnya dengan respon tertentu yang memicu lahirnya tawa.
Belakangan humor memiliki begitu banyak variasi. Ada istilah "humor terang" yang bisa dipahami kelucuannya tanpa berpikir terlalu mendalam, ada "humor gelap" yang sangat simbolik dan terbatas pada kalangan tertentu.
Tiap jenis humor membawa implikasi berbeda terhadap proses komunikasi. Karena itulah, politisi musti berhati-hati menyesuaikan gaya humor dengan maksud yang ingin disampaikannya. Pilihan yang keliru bukan hanya membuatnya tidak lucu, tapi membuatnya mendapat penolakan brutal. Pilihan keliru juga akan membuat pesan politik yang diinjeksi dalam humor tidak akan sampai.
Demikian penjelasan Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang.
Advertisement