Sepakbola di Mata Para Filosof, Ini Celotehan Halim HD
"Teknologi menjadikan manusia menjadi umat, manusia ada dalam bersama menciptakan kebudayaan dan peradaban," kata Halim HD.
Albert Camus, novelis, esais, filsuf penulis lakon Perancis, setengah abad lebih yang lalu pernah menyatakan, belajarlah etika dari sepakbola. Bagi tokoh eksistensialis ini, sepakbola mengajarkan kepada kita upaya manusia yang terus berusaha untuk meraih hasil melalui permainan di mana kebersamaan menampilkan sosok personal.
Dalam permainan itulah setiap sosok personal sebagai individu menyatakan dirinya dan sekaligus menyatukan dalam gerak kebersamaan. Ada dalam bersama. Di dalam kebersamaan itu masing masing individu menyadari kelebihan dan kelemahannya, dan di situlah dia memberi, masing masing saling berbagi u mencapai tujuan.
SEPAKBOLA sebagai sport pula yang menciptakan makna sportivitas yang mengandung makna fairness, kejujuran. Di situlah etika sebagai wujud sistem moral dipertaruhkan.
Yang menarik seiring dengan perubahan dan kemajuan zaman dengan dukungan tehnologi media elektronika, maka sepakbola melibatkan bukan hanya publik di sekitar lapangan, stadion, tapi lebih dari itu meraup n mengikat siapa saja diberbagai peloksok dunia.
Kamera mengantarkan kita kian intens secara emosional dan kita bukan hanya jadi publik seperti zaman lampau, kita dilibatkan untuk menjadi saksi peristiwa dan sekaligus "wasit bersama".
Dalam konteks ini mungkin benar apa yang dinyatakan oleh filsuf-teolog penemu Homo Pekinensis, Piere Teilhard de Chardin, bahwa teknologi menjadikan manusia menjadi umat, manusia ada dalam bersama menciptakan kebudayaan dan peradaban.
Itulah bedanya antara sepakbola dengan pilkada yang sama sama berebut angka tapi yang satu dengan landasan etika, lainnya dengan nafsu angkara murka dorongan berkuasa. (HHD)
*) Halim HD, networker kebudayaan tinggal di Solo.