Seorang Alim Agar Tak Tinggal di Kampung Terpencil, Pesan Gus Baha
KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha, para alim dan ulama pesantren tidak sepatutnya tinggal di daerah terpencil. Karena, ilmunya harus dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.
Berikut sejumlah nasihat para alim dan para salafusshalihin.
Di antara nasihat panjang Imam Malik kepada Imam Syafi'i sebelum mereka berpisah,
«لَا تَسْكُنْ الرِّيفَ يَذْهَبْ عِلْمُك، وَاكْتَسِبْ الدِّرْهَمَ لَا تَكُنْ عَالَةً عَلَى النَّاسِ...»
[شرح مختصر خليل للخرشي (1/35)]
"Jangan tinggal di kampung nanti ilmumu hilang (tidak berkembang)..."
Imam Malik tahu bahwa Imam Syafi'i punya potensi besar jadi ulama hebat, sehingga jangan sampai keluasan ilmunya nanti hilang begitu saja. Dan benar, beliau kemudian "tinggal" di kota-kota besar seperti Bagdhad, Hijaz, dan Mesir. Dan ilmu beliau tersebar dan terjaga sampai sekarang.
Tentu ini tidak mutlak berlaku untuk semua kampung, illah-nya adalah jika di kampung tersebut antusias belajar penduduknya sangat-sangat minim sehingga berpotensi meredupkan keilmuan si alim tersebut.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menceritakan bahwa suatu kali Imam Sufyan Al-Tsauri datang ke Asqolan dan tinggal beberapa hari di sana. Biasanya jika beliau singgah di suatu tempat, nama beliau yg masyhur membuat orang-orang datang dan bertanya ke beliau.
Tapi di Asqolan, tak ada satu pun yang datang bertanya, Imam Sufyan kemudian mengatakan,
"اكروا لي لأخرج من هذا البلد، هذا بلد يموت فيه العلم"
"Sewakan saya tunggangan agar bisa keluar dari daerah ini, daerah ini bisa menyebabkan ilmu menjadi mati"
Imam Ghazali memberikan alasan:
"وإنما قال ذلك حرصًا على فضيلة التعليم واستبقاء العلم به"
[إحياء علوم الدين، ١\١١]
"Imam Sufyan berkata demikian karena semangat beliau untuk memperoleh keutamaan mengajar dan agar ilmu tidak hilang"
Kekhususan soal kampung
Lagi sekali ini tidak memukul rata semua kampung. Hal ini tidak berlaku bagi ulama yan punya pondok atau madrasah di kampung. Karena merekalah yg nanti akan didatangi oleh ummat. Sehingga ilmunya terus berkembang.
Seorang ustadz itu harus punya murid khusus yg membuatnya selalu murojaah ilmu-ilmunya, walaupun tidak banyak. Murid-murid inilah yang nanti akan melanjutkan estafet keilmuannya. Jika si ustadz hanya mengajarkan awam, maka ilmunya tidak akan berkembang, tidak mungkin kan ia mengajar semisal Minhajul Wushul, atau Syarah Ibn Aqil atas Alfiyah, atau Tadribur Rawi ke orang-orang awam.
Ulama salaf dahulu bilang,
"أزهد الناس في علم العالم أهله وجيرانه"
"Orang yg paling tidak membutuhkan ilmunya seorang alim adalah keluarganya dan tetangga-tetangganya"
Ini karena mereka hidup dekat dan berinteraksi dengan alim tersebut, setiap gerak-gerik dan setiap sesi kehidupan si alim tadi terpantau oleh mereka, sehingga mengikis sikap hormat kepadanya.
Ketika si alim menyampaikan ilmu dan nasihat, terbayang di benak mereka bagaimana dahulu si alim saat kecil ingusan, main kotor-kotoran, ujan-ujanan, sehingga dianggap masih "anak kemarin sore", walaupun sudah dewasa dan mapan dalam keilmuan.
Ini pertama, kemudian di antara alasan mengapa seorang alim kurang dihormati oleh penduduk kampungnya adalah sifat iri dengki yg kental di antara mereka. Kata sebagian ulama,
"إن الحسد في الأرياف ميراث"
"Sifat dengki di kampung itu adalah seperti warisan"
Dan kita akui bahwa sifat dengki di kampung lebih kentara dari orang-orang di perkotaan.
Dari sifat iri ini, akan berujung nanti ke saling ghibah di setiap rumah, dan saling tebar kebencian. Antar sesama ustadz di sana atau jamaahnya.
Makanya jangan heran banyak daerah yg lebih semangat mengundang ustadz luar daripada memanfaatkan orang alim daerahnya.
Syeikh Dr. Ibrahim Al-Asymawi mengatakan,
"ما رأيتُ عالِمًا سكن الريف؛ إلا ذهب علمه، وضاق رزقه، وفترت همته، وقلت هيبته، وزادت أمراضه، وكثرت حساده، وعزَّ الانتفاع به!"
Advertisement