Senjakala Minyak di Depan Mata
Hari Minggu lalu, 19 April 2020, saya kedatangan tamu lagi. Teman lama beserta keluarganya. Kami berteman, saat saya bekerja di Kalimantan Timur.
Dia tukang insinyur, kelahiran Bali tapi mahir juga berbahasa Suroboyoan. Maklum, dia lulusan ITS Surabaya. Keahliannya menghitung managemen pelaksanaan proyek besar di bisnis minyak dan gas bumi.
Selepas dari Kalimantan Timur, mulai 2012, dia melanglang buana ke jazirah Timur Tengah. Bekerja di Dubai hingga Qatar. Berpindah tempat kerja dengan gampang.
Seperti membalikkan tangan. Sudah jadi warga global. Anaknya yang kecil, yang kini kelas 4 SD, tidak bisa berbahasa Indonesia.
Sebenarnya, dia sempat ditawari kerja ke Moskow. Salah satu negara produsen minyak bumi. Namun, beragam perhitungan membuatnya urung ke negara beruang itu.
Orangnya pinter. Tak heran kalau ngomong juga cepet sekali. Seolah, gerak mulutnya harus mengejar kerja otaknya.
Yang menarik, awal tahun ini dia memilih pulang kampung. Tinggal di pinggiran Jakarta. Meninggalkan gelimang segala kenikmatan sebagai expatriat.
Kini, dengan keahliannya sendiri, mencoba peruntungan baru. Membuat perusaahan sendiri. "Sekarang belum bekerja, menghabiskan tabungan saja," tuturnya sambil bergurau.
Memang, bisnis perusahaan minyak dan gas bumi bak di ujung tanduk. Pada Senin, 20 April 2020, harga minyak dunia, terjerembab ke palung terdalam. Sempat di bawah USD 0.
Pertama kalinya dalam sejarah. Harganya, sempat minus mengiris hati. Sampai minus USD 35 per barrel.
Artinya pemilik minyak pada hari itu, harus mengeluarkan uang, agar orang mau mengambilnya. Jelas, kerugian yang lumayan. Dulu beli pakai uang, kini memberikan ke orang pun harus bayar.
Sesuatu keajaiban yang nyata. Dulu, minyak adalah harta karun. Kini, dia bak virus Corona yang orang memilih tak mau bertatap muka. Bahkan membuangnya.
Pada Selasa, 21 April 2020, harganya sempat merambat naik ke USD 0.10 per barel. Namun itu tak bertanggung lama. Dia nyungsep lagi di bawah USD 0.
Semua menuding, menurunnya konsumsi dunia, karena satu hal: Covid 19. Membuat orang tak lagi bepergian. Sebagian besar pabrik juga berhenti berproduksi.
Mobil banyak yang ngendon di garasi. Bandara juga penuh, tapi parkiran pesawatnya. Semua grounded. Kondisi yang membuat bisnis minyak bumi ini makin tersungkur.
Bagaimana di dalam negeri? Idem dito. Yang pasti, pengolahan minyak Pertamina di Balikpapan ditutup. Karena serapan produksinya baik premium, solar, pertalite, pertamax, hingga aftur rendah.
Seluruh tangki penyimpanan kilang sudah penuh. Kalau meluap, bisa jadi masalah lingkungan hidup. Sudah rugi, bisa menghancurkan reputasi.
Hal sama juga dialami banyak perusahaan lainnya. Bahkan, untuk penyimpanan minyak, mereka melakukannya di tengah laut. Disimpan di kapal tangker.
Tinggal dikirim, kalau ada pembeli. Tapi masalahnya di situ, siapa yang akan membeli?
Di sisi lain, jebloknya harga minyak ini, juga berimbas pada penerimaan negara. Hampir 30 persen, penerimaan negara kita dari sektor bukan pajak, disumbang dari minyak dan gas bumi. Saya yakin, kondisi ini, membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani harus berpikir ulang.
Yang utama, memangkas pengeluaran yang tak perlu. Merealokasi anggaran. Karena paket stimulus ekonomi atas Covid 19, butuh banyak uluran yang.
Apakah akan kembali mengeluarkan global bond? Alias utang lagi? Ya kita tunggu saja.
Jika mau menenggok ke belakang, sebelumnya, memang ada perang produksi. Antara OPEC, para negara produsen minyak yang dimotori Saudi dengan Rusia. Pokok soal, semua diminta bersepakat memotong produksi.
Agar jumlah minyak di pasaran sedikit. Biar harga bisa naik. Namun, jawaban Rusia sebaliknya.
Rusia ogah memotong produksi. Gantian, pemimpin muda Saudi Arabia naik pitam. Dia memilih berkirim ilmu pamungkas: malah ikut menambah produksi.
Kondisi ini makin runyam. Gajah beradu, pelanduk bisa terjengkang. Bisa terinjak dan mati.
Karena yang terjadi kuat, kuatan. Siapa yang daya tahan negaranya paling kuat. Jika imun sebuah negara lemah, tentu mereka rontok.
Membanjirnya produksi dua negara tersebut, membuat harga makin terjun bebas. Amerika Serikat, yang sempat kembali menjadi eksportir minyak, karena ditemukannya teknologi shale gas, ikut terinjak.
Negara Paman Sam ini turut terjerembab. Beberapa perusahaan shale gas dalam negeri mengajukan bangkrut. Pasalnya, biaya produksinya sudah diatas harga jualnya. Kalau sebagian modal dari pinjaman bank, tentu kondisi ini membuat Presiden Donald Trump turut pening.
Padahal, teknologi shale gas ini diyakini, jadi ilmu pamungkas baru buat Amerika, menghadapi dominasi Saudi dan Rusia. Amerika yang dulu korban embargo minyak, bisa membusungkan dada. Jadi pemain besar yang diperhitungkan.
Karena biaya produksi eksploitasi minyak di Rusia di laut lepas, tentu lebih mahal. Juga kadang, biaya eksploitasi minyak di darat, masih kalah ekonomis dengan shale gas.
Tak heran, banyak perusahaan global Amerika pulang kandang. Ngebor di rumah sendiri saja. Tanah sudah milik sendiri. Tak repot dengan urusan Perijinan di negara orang, yang kadang ruwetnya bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Teknologi shale gas ini, sebenarnya, juga ingin dibungkam para negara produsen minyak itu. Dianggap merusak ekosistem mereka. Mengacaukan harga.
Jadi mereka sengaja membajiri pasar, agar harga minyak dibuat murah. Harapannya, daya hidup perusahaan shale gas tak berumur panjang. Bangkrut. Namun, mereka lupa, banyak juga perusahaan besar yang telah mengadopsi teknologi ini.
Dengan keahlian, teknologi, dan modal yang kuat, ternyata pertempuran berlangsung lama. Tapi, bekapan Covid 19 ini, membuat semuanya ambyar. Sepertinya, hukum alam yang telah bekerja dengan sempurna.
Oh ya, sebelumnya, untuk meredakan perang Suadi dan Rusia ini, Presiden Donald Trump juga pakai jurus diplomatik. Menelepon Putra Mahkota Saudi Arabia, Muhammad bin Salman dan Presiden Putin dari Rusia. Trump mengaku telah menemukan titik terang.
Mereka mau memangkas produksi. Dia sempat berbangga. Tapi dinamikanya, berkata lain. Semuanya kena luka arang keranjang.
Apakah tidak ada optimisme? Masih ada. Seorang eksekutif senior perusahaan minyak global di Indonesia, pernah bercerita kepada saya. Bahwa yang dialami sekarang adalah siklus. Akan ada waktunya harga akan kembali naik lagi.
Tapi tak ada yang bisa memastikan kapan itu terjadi. Sebagai catatan, harga minyak bumi ini unik sekali. Produsen tidak bisa menentukan harga.
Semua tergantung pasar. Yang menghidupinya, sebagian, adalah para spekulan. Kekuatan perusahaan minyak ada di efisiensi dan keselamatan prima.
Nah, karena agak tergantung spekulan, kalau ada sebuah rumor, pasti bisa mengerek harganya naik. Misalnya, konflik antar negara. Ya, perang kata gampangnya.
Pola ini bermula pada tahun 1973. Israel menduduki wilayah Palestina. Negara-negara Arab yang saat itu sekata seirama, melawan. Menyadarkan pada kekuatan minyak.
Mengembargo para pendukung Israel. Termasuk Amerika. Tidak mau menjual minyak ke mereka. Efeknya krisis minyak.
Hukum dasar ekonomi bekerja. Barang langka, harga makin mahal. Saat itu, harga meroket. Dari USD3 menyentuh USD12 per barel. Minyak mulai jadi komoditas strategis.
Pola ini berulang lagi di tahun 1979. Revolusi Iran pecah. Kembali, harga makin tinggi, tercatat hingga USD 40 per barel.
Saudi Arabia jadi pemain utama. Memang, saat itu banyak insinyur minyak yang diekspor dari Amerika. Mereka didatangkan dari perusahaan minyak terbaik di Amerika saat itu.
Tak cuma ahlinya, manajemen pengelolaan dan teknologinya juga ditransfer. Dengan gabungan keahlian paripurna dan cadangan yang sempurna, membuat Saudi berjaya sampai sekarang.
Perusahaan minyaknya: Saudi Aramco, adalah buah kerjasama itu. Perusahaan ini, awalnya join dari perusahaan Amerika dan Kerajaan Saudi. Dia dinilai sebagai perusahaan berkapitalisasi terbesar di dunia.
Apakah sejarah minyak di Saudi Saudi dengan eratnya hubungan diplomatik Saudi dan Amerika ada hubungannya? Hanya mereka yang tahu.
Yang tentu riil menopang harga minyak, adalah tingkat konsumsi dunia. Daya serap pembelinya. China, salah satu negara yang rakus atas minyak. Tapi, saat Corona membekap Wuhan, semua berubah total.
Lantas semua merembet ke banyak negara. Termasuk ke Amerika sendiri. Kini, semuanya bak bertungkus lumus. Tak tahu di mana mula dan kapan berakhir.
Waduh, saya kok malah ngelantur ke politik minyak dan Covid 19. Mari kita kembali saja ke cerita teman saya itu. Jadi, apakah keputusan kepulangan ini juga terkait rontoknya harga minyak dunia?
Saat saya sodori pertanyaan ini, dia terdiam sebentar. "Saya membayangkan, ingin hidup dekat keluarga," jawabnya. Beberapa tahun lalu, saat ayah dan ibunya meninggal dunia, dia masih di Dubai dan Qatar. Sebuah pengalaman kehidupan yang agak menyesakkan.
Kadang dia harus melewatkan banyak peristiwa penting. Kegiatan saudara atau teman akrabnya. Urusan makanan, tak begitu soal. Istrinya jagan untuk soal itu.
Bahkan saat suamianya bekerja, dia memilih ikut kelas membuat kue. Memiliki beberapa sertifikat. Pernah membuat beragam kelas. "Namun, semuanya bubar, saat suami memilih pindah negara lagi," tambah istrinya sambil tersenyum.
Kehidupan ekspatriatnya memang menyenangkan. Pendidikan anak-anak terjamin. Pendapatan tentu saja. Tapi ada hal kecil yang kadang menganggunya. TIdak ada, nikmatnya beragam makanan kaki lima yang mengugah selera.
Ngomongin Qatar, dia bercerita berapa uniknya pengalamannya. Qatar yang kaya raya, itu berlaku aturan tak tertulis. Pegawai lokal, mendapatkan gaji lebih tinggi dibanding ekspatriat.
"Gaji anak buah saya, tiga kali besarnya dibanding saya," ungkapnya sambil tertawa.