Seni pasca-Trump dan Seniman Kita
Oleh: Bambang Asrini Widjanarko
Tatkala Trump menuju puncak kekuasaannya di Gedung Putih tahun 2016 lalu, dunia serasa kiamat bagi seniman dan pekerja kreatif di Amerika Serikat.
Seorang direktur museum sebuah universitas yang mengelola koleksi karya seni dan pameran seni rupa internasional secara mandiri di Washington DC, agak emosional mengeluh pendek mengirimkan pesan WhatsApp.
“Kita sedang mengurus surat untuk bermigrasi, kelihatannya Eropa kontinen lebih bersahabat, alternatif untuk tempat tinggal empat tahun ke depan,” tulisnya.
Keluhan itu terjawab, pada Maret 2017 Donald Trump mencanangkan “membunuh” dua buah lembaga kebudayaan yang memberi sumbangsih bagi kesenian dan kemanusiaan.
Lembaga seni dan budaya di negara federal itu berjuluk National Endowments for the Arts (NEA) dan National Endowments for the Humanities (NEH) yang disahkan oleh Undang-Undang Kongres Amerika Serikat sejak 1965 ternyata dikebiri anggarannya secara semena-mena.
NEA tumpuan bagi seniman, desainer, peneliti-akademisi, pekerja kreatif, ahli museum, insan perfilman, institusi pendidikan tinggi seni, dan penyelenggara festival budaya raksasa di Amerika Serikat. Mesin politik pemerintahan Trump memperlihatkan wajah kejinya, berakibat pemerintahannya harus menghadapi protes seluruh komunitas masyarakat seni dan pekerja ekonomi kreatif.
Menurut New York Times, masih pada 2017, White House merilis draf yang menjadi hit-list lembaga-lembaga yang dianggap memberatkan anggaran nasional.
Sebelumnya, rivalnya, Obama bak bumi dan langit dibanding Trump. Obama sangat “dicintai” para seniman, tatkala awal ia hadir membawa iklim berbeda bagi Amerika Serikat.
Kita ingat Shepard Fairey atau lebih dikenal dengan Obey, nama alias seniman street art yang masyhur dari New York pada 2008 membuat kehebohan yang membuat namanya tenar secara apresisiatif di kalangan kritikus seni atau di dunia komersil.
Obey mengenalkan pada publik AS sebuah poster berjudul “Hope” yang menggambarkan potret Obama dalam balutan warna biru, putih, dan merah yang menyala plus teks provokatif. Poster berfigur Obama tersenyum simpatik itu menjadi “ikon” impian masyarakat AS melepaskan krisis dunia pada 2008.
Hasilnya, memang Obama terpilih menjadi presiden, karena sebuah perpaduan kampanye yang didukung elemen-elemen seniman, masyarakat dalam koalisi sipil dan lain-lain, serta strategi influencer viral di media sosial yang membuahkan hasil cemerlang.
Obey tergerak melakukan propaganda publik, dengan inisiatifnya sendiri “melawan” pemerintahan George W Bush lewat poster “Hope” tersebut sejak Oktober 2008. Dengan strategi dan visinya sendiri Obey bertutur, dituntun nuraninya tanpa harus menunggu “Biro Humas Kepresidenan” atau konsultan kampanye calon presiden yang mendukungnya.
Tokoh sekaligus patron seni sekelas Obama memang gemar bermanuver politik dengan karya seni rupa. Mungkin, ia terinspirasi dari poster wajahnya sendiri kala masih menjadi kandidat presiden.
Ia, seperti dikatakan salah seorang kritikus dunia bisa jadi seorang “kurator seni yang terampil”. Karena Presiden AS keturunan Afro-Amerika ini lihai dan berulang kali secara halus berdiplomasi lewat lukisan.
Salah satunya dalam lawatannya ke Kuba pada Februari 2016 menjelang kelengserannya dari Gedung Putih. Obama, waktu itu menyeleksi backdrop lukisan yang tepat dalam jumpa persnya dengan para aktivis politik di kedutaan AS di Havana.
Obama pun mengundang pelukis pembangkang Michel Mirabal dengan karyanya “My New Friend” yang mengabstrasikan warna-warna bendera AS plus Kuba sekaligus di jumpa pers. Ia menghormati Castro, dengan warna bendera Kuba yang tertera di kanvas Mirabal dan warna bendera AS samar-samar. Sebuah tindakan yang cerdik, mengapresiasi para pembangkang politik melawan “pimpinan otoriter” negara Kuba tersebut tanpa membuat malu tuan rumah.
Sejarah terulang pada Biden, dengan sengaja ia memang mendekat pada komunitas-komunitas seni dan pekerja budaya untuk “mendongkel” Trump yang berambisi menduduki kursi White House selama dua periode itu dengan seni.
Sementara, di pihak lain, dengan juluk Artists for Biden, di laman platform.art secara mandiri seniman-seniman Amerika sangat peduli membuat perubahan.
Mereka menggalang kampanye independen, membuat donasi raksasa yang dirilis menjelang Pemilu November lalu, yang nantinya untuk mendukung kemenangan Biden dan menyalurkan donasi di joebiden.com. Untuk memberi jejaring penting dengan sumber daya kreativitas dan seni bagi kampanye Biden dan kandidat Demokrat di seluruh Amerika Serikat.
Lebih dari seratus seniman, di antaranya ada nama Jeff Koon, sang seniman kontemporer tenar itu menyumbangkan karya seninya untuk dilelang pada para kolektor global.
Seniman Entang Wiharso
Entang Wiharso adalah seniman kontemporer kita yang membawa nama Indonesia berkali-kali. Salah satunya partisipasinya di Indonesian Pavilliom di Biennale Venesia pada 2015; serta pamerannya di Australia bersama seniman-seniman penting kita lainnya.
Ia menyelesaikan studinya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, memilih menikahi seorang warga AS, dengan demikian ia mengintimasi dua budaya. Sejak 1997 hilir-mudik Yogjakarta - Rhode Island, Amerika Serikat.
Tak heran keluarganya memeluk perspektif bikultural dan birasial, mewariskan keyakinan-keyakinan spiritual dan pandangan ideologi kolektif yang majemuk.
Sejak Entang mendapatkan fellowship dari John Simon Gugenheim Memorial Foundation pada Juni 2019-Juni 2020 di New York, AS, karya-karya terbarunya mengungkap isu tentang lansekap fisik, psikologis dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Tanah Air keduanya, di Amerika Serikat.
“Saya sadar, sekarang ada di titik episentrum penting dunia terjadi di sana. Gejolak politik di Amerika Serikat membawa isu rasial, gerakan black lives matter sampai mungkin gejala xenophobia dengan sebutan kuasa ‘white supremacy itu’,” ujarnya.
Entang bertekad “memotret” ingatan komunal dengan kode-kode visual representasi masyarakat Amerika yang tersegmentasi sebab muncul tendensi aspirasi politik yang mengental dengan pengaruh “rasisme” dalam empat tahun terakhir ini.
“Beberapa tetangga saya masih mengibarkan bendera konfederasi. Saya kemudian ingat akan perang saudara yang memiriskan masa lalu itu; saya mencoba “menziarahinya” di museum di Gettysburg tempat yang terjadi perang saudara paling berdarah-darah” ungkapnya.
Seniman kita ini justru serasa mendapatkan hikmah, kondisi pilu dan curiga antarwarga menjadikan makin kontemplatif dengan upaya mencari lahan refleksi sekuat mungkin lewat karya-karyanya.
Seniman yang lahir di Tegal, Jawa Tengah ini, juga terobsesi tentang tempat yang menjanjikan dan sejahtera. “Saya beberapa hari ini membaca Promised Land, 2020; sebuah buku karya Obama usai tak menjabat lagi sebagai Presiden. Semacam memoar ala diri Obama dulu sebagai anak kecil, tumbuh dewasa dalam iklim multikultural dan masa-masa dewasa dengan pencapaiannya di puncak politik di Gedung Putih sebagai orang Afro-Amerika,“ kata Entang.
“Kemudian saya teringat karya saya The Promising Land tahun 2016, yang mungkin ada sedikit kemiripan meskipun tak sama, bahwa saya sedang menginginkan sebuah tanah yang menjanjikan, mungkin impian-impian personal,” jelasnya pada penulis.
Dalam beberapa minggu sejak menjelang Pemilu AS November ini, Entang memang menggarap karya yang katanya mencerminkan kondisi politik sekaligus kegundahan identitasnya yang membeda, merasa sebagai orang Asia. Entang sedang merenungkan terus-menerus soal “pohon esok hari” di Amerika serikat sebagai metafora atau simbol-simbol.
Sebuah lukisan besar berwujud pohon yang dibuat dengan medium glitter itu, memberi pesan bahwa kita semua seperti selalu melantunkan doa-doa terus-menerus, agar ada begitu banyak benih-benih di alam semesta untuk persaudaraan bersama seluruh etnik, ras dan pemegang keyakinan reliji beragam di esok hari. (Antara)
*Bambang Asrini Widjanarko, kurator seni dan esais isu sosial
Advertisement