Semua Not Fine, Pak. Jangan Panik, Piye???
Beberapa tahun terakhir, berbagai kejadian yang meresahkan umat manusia terjadi. Sejumlah peristiwa minus kemanusiaan yang jauh dari pikiran akal sehat, terjadi di mana-mana. Para pemimpin yang aneh-aneh bermunculan di berbagai belahan bumi ini.
Dekadensi moral, dan kelakuan menyimpang dari berbagai jenis manusia semakin kasat mata dan kian terasakan. Berhamburan dan berserakan dimana-mana.
Wajar bila muncul pendapat bahwa kehadiran virus Corona merupakan bahasa dan cara alam dalam melakukan bebenah dan pembersihan diri. Termasuk upaya membuka kedok kebobrokan dan kemunafikan yang mengotori alam oleh perilaku manusia. Keberadaan manusia dan kemanusiaannya dihadapkan pada ujian besar untuk menentukan setinggi dan serendah apa kualitas peradaban mereka.
Fenomena virus Corona ini merupakan penelanjangan terhadap kondisi obyektif kualitas budaya peradaban para pemimpin dan penguasa setiap negara dalam mengelola kekuasaannya. Kualitas dari masing-masing performa yang dilakukan mereka dalam mengatasi gempuran virus Corona ke negaranya, mencerminkan tinggi dan rendahnya kualitas mereka sebagai manusia.
Penilaian ini pun tidak terkecuali berlaku juga untuk penguasa di Indonesia. Para pemimpin yang sempat membanggakan Indonesia adalah negara zona bebas virus Corona, dengan sendirinya langsung terbaca angka rapor dirinya sebagai manusia. Rakyat segera mencatat bahwa pembodohan ini adalah sebuah kebohongan yang memalukan. Mengapa harus menjauhkan masyarakat dari realita yang sesungguhnya terjadi?
Bila pada mulanya pemerintah menyatakan bahwa korban virus Corona masih sangat kecil, bisa jadi hal ini erat kaitannya dengan keterbatasan kemampuan kita. Tentunya dalam hal melakukan diteksi para korban maupun para carier melalui prosedur standar tes versi WHO. Selain mahal, kesiapan dan ketersediaan perangkat medis dan para petugas medis yang ada, merupakan faktor yang membuat penanganan atau pencegahan dini tak mungkin dilakukan serempak secara masif dan menyeluruh.
Sekarang, masyarakat mengetahui telah terjadi eskalasi jumlah korban virus Corona yang begitu cepat. Mereka pun jadi bertanya-tanya; mengapa pemerintah berusaha meredam kepanikan dengan cara mengemas realita dengan pernyataan yang serba manis dan seakan ‘everything is fine’ tak perlu panik! Akibatnya hanya membuat masyarakat menjadi miskin antisipasi.
Andai saja sejak awal pemerintah melakukan keterbukaan, pastilah mayoritas rakyat Indonesia yang selama ini dikenal baik dan murah hati, akan memakluminya. Bahkan akan memberi bantuan dan mendukung penuh segala upaya pemerintah dalam memerangi virus Corona. Paling tidak, rakyat akan mengorganisir diri melakukan persiapan secara maksimal melalui caranya sendiri.
Dalam situasi genting ini, banyak yang kemudian menanyakan; ke mana para politisi, para pemimpin partai, dan para konglomerat yang selama ini paling menikmati berbagai kemudahan yang diberikan oleh negara? Mengapa suara dan langkah aktif mereka tak terdengar bunyinya? Entah kenapa, mereka tetap santai dan seakan membiarkan rakyat dalam situasi misleading. Situasi pun berjalan tanpa kejelasan arah dan kepemimpinan.
Bukankah dalam kedaan seperti ini lebih baik kita mendengar seruan... ‘Wahai orang-orang kaya (konglomerat) dan kaum mapan terdidik, bersatulah menghadapi serbuan Corona, dan bantu selamatkan rakyat Indonesia!’ Ketimbang nantinya timbul seruan yang mengajak... ‘Rakyat miskin yang selalu dimiskinkan, bersatulah! Bersama kita hadapi virus Corona (yang genuine), dan ‘Corona’ yang tampak wujudnya di depan mata kita (para pembohong dan garong negara)!
Seruan yang terakhir ini dampaknya akan sangat membuka peluang terjadinya keos (chaos), untuk tidak mengatakannya sebagai revolusi (tak cukup persyaratan). Maka seyogyanya pemerintah segera menentukan langkah pengamanan yang bersifat urgen dan darurat. Diperlukan upaya mengerahkan segala data, daya dan dana untuk perang melawan pandemi virus Corona.
Hentikan sementara proyek membangun Ibu Kota baru yang tak ada urgensinya. Termasuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang tidak merupakan kebutuhan yang bersifat mendesak. Dana yang ada bisa dialihkan untuk hal-hal yang sangat diperlukan dan bersifat darurat mendesak.
Menyelamatkan rakyat dan negara dari serbuan virus Corona yang berpotensi melumpuhkan kehidupan ini, memenuhi kriteria tersebut! Lagi pula yang rakyat perlukan bukan proyek mercusuar. Rakyat lebih membutuhkan hidup layak, sehat lahir batin, dan terbebas dari pemiskinan fisik dan akal sehat!
Agak menyedihkan bila para elite dan pemimpin di negara yang katanya berketuhanan, empati dan rasa kemanusiaannya lebih rendah dari para pemimpin di negeri China. Padahal selama ini China sering dicitrakan sebagai komunitas masyarakat tak berketuhanan. Tapi justru ironisnya, China yang minus Pancasila, dalam perang melawan serbuan virus Corona, malah banyak menerima pujian.
Pemerintah China rela melakukan lockdown strategy yang secara ekonomis sangat merugikan perekonomian negaranya. Tapi langkah ini berhasil meminimalisasi penyebaran virus Corona di dalam maupun ke luar dari daratan China. Setelah relatif berhasil meredam berkembangnya virus Corona di dalam negerinya, China pun melakukan pengiriman bantuan kesehatan ke negara lain yang terkena musibah dan memerlukan pertolongan.
Sementara dari pihak privatnya, kaum berada seperti konglomerat China, Jack Ma dkk, aktif merogoh kantong membantu rakyat di dalam dan di luar China yang memerlukan bantuan. Minimal memenuhi kebutuhan masker pelindung yang sangat diperlukan. Oleh karenanya dalam hal manejemen kerja menangani pencegahan tebaran virus Corona sebagai ‘wabah Pandemi’, penguasa di negeri tirai bambu ini, menduduki ranking pertama yang layak diberikan acungan jempol. World Heath Organization (WHO) telah memberi nilai ‘cumlaude’ kepada pemerintah China di bawah kepemimpinan Xi Jinping.
Nah, bagaimana penilaian WHO terhadap penguasa di Indonesia? Kita baru sampai pada tahap menerima desakan dari WHO agar lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas langkah pencegahan secepatnya. Agaknya kesulitan dana dan masalah ekonomi dalam upaya menjaga stabilitas pasar keuangan, masih merupakan masalah yang paling utama.
Oleh karenanya memilih jargon ‘diam itu emas’, terpaksa dilakukan untuk menciptakan ketenangan dan mengurangi kepanikan. Tapi ternyata langkah ini malah menjauhkan masyarakat dari kesiapan menghadapi realita bahwa virus Corona tak mengenal jeda dan terus mengancam, menebar, dan meluas.
Dalam kondisi seperti ini saya terdorong untuk menyapa...halo BLBI... halo Century ...hingga Jiwasraya, apa kabar? Para konglomerat yang selama ini telah menikmati uang hasil kejahatan semua itu, jangan hanya pandai menguras uang rakyat. Berusahalah mau tau dan jangan menutup mata ketika rakyat tengah menderita dan negara dalam kesulitan.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita sangat merindukan hadirnya figur politisi dan aktivis partai, seperti sosok seorang Katie Porter. Di Amerika, untuk seseorang memeriksakan bebas virus Corona, setidaknya menghabiskan biaya sekitar 1.300 dolar AS. Sementara di Amerika sendiri yang konon negara kaya, 40 persen rakyatnya tak memiliki kemampuan untuk membayarnya.
Berkat perjuangan Katie Porter, anggota kongres dari partai Demokrat ini, rakyat Amerika menjadi bebas biaya bagi yang ingin memeriksakan diri berkaitan virus Corona. Padahal dalam hal penanganan pandemi virus Corona, pemerintah negeri Uncle Sam di bawah komando Presiden Donald Trump, tampil seperti layaknya sebuah negara ‘terbelakang’.
Nah, bagaimana dengan Indonesia? Memilih jalan penanganan ala Xi Jinping atau cara Uncle Sam alias Donald Trump? Atau, Pak Jokowi ada cara sendiri untuk mengatasi masalah pandemik virus Corona; yang lebih lokal tapi lebih baik?
Apa pun pilihannya, jangan lupa pesan pini sepuh agar kita selalu ambeg parama arta (mendahulukan kepentingan umum--bangsa dan negara dari kepentingan pribadi dan lainnya). Pesan ini wajib dijadikan dasar untuk melangkah memimpin bangsa ini. Insya Allah rakyat selamat, negara selamat, dan sampeyan Pak, pasti juga selamat!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.com.