Semua Kopi itu Enak, Situ Aja yang Sok Tahu!
Mestinya, ini masuk ranah "ujaran kebencian". Bisa panjang urusan seperti kasus yang menimpa musisi Ahmad Dhani. Tentu saja andai ada yang melapor ke pihak berwajib.
Bijaknya, memang tak ada yang melapor. Jadi pihak berwajib tak perlu repot-repot melakukan lidik dan pengusutan.
(Pihak berwajib? Ya, tak perlu dijelaskan siapa pihak ini. Pastilah semua sudah tahu)
"Semua Kopi itu Enak, Situ Aja yang Sok Tahu!" Tulisan itu ditulis besar-besar. Dipajang kelewat pede. Mencolok mata. Membuat gelisah. Tulisan itu cementhel di atas pintu masuk sebuah Warkop. Di kawasan Perumahan Tropodo, Sidoarjo.
Baiknya memang tak perlu disebutkan lengkap alamatnya. Juga nama warkopnya. Bisa membuat tersinggung, atau mungkin justru tersanjung. Bahwa upayanya mampu menarik perhatian. Lalu ditulis pula oleh wartawan.
Cukup tahu saja, ada tulisan seperti itu. Entah apa maksud sebenarnya pemilik Warkop bikin banner begitu. Menarik perhatian? Mungkin! Bikin sensasi? Mungkin! Biar laku? Mungkin! Menyindir Warkop di sebelahnya? Boleh jadi! Sebab, dalam radius itu, ada rumah sangrai kopi yang beroperasi masif, sekaligus Warkop.
Umumnya rumah sangrai pasti seringkali terjadi dialog kopi. Banyak kerumunan orang. Membicarakan kopi. Kopi gosong, kopi nggereng, kopi dark, kopi medium, kopi light, kopi rusak, kopi menir, kopi asalan, dan seterusnya. Bagi pegiat kopi, atau siapa saja yang menjajal pengetahuan soal kopi, obrolan begini adalah lumrah. Umum. Biasa. Dialog kopi untuk membangun atmosfir perkopian. Agar kita bisa menyeruput kopi dengan citarasa terbaik.
Sayangnya, tak semua orang memiliki atmosfir sama terkait dunia perkopian. Suatu waktu atmosfir bisa sama tapi antenanya kadang berbeda. Dan seterusnya.
Ada juga yang strong, ada yang landai-landai saja. Bahkan yang tak peduli masih tak terhitung banyaknya. Malah ada yang super unik, memilih tetap nyaman di zona: kopi iku yo ngono kuwi. Diapak-apakno yo tetap pahit. (Kopi itu ya begitu, dibuat apa pun, tetap pahit).
Kelompok terakhir inilah yang memungkinkan membuat perkopian Indonesia sulit untuk menyalip Kolombia, Vietnam, apalagi Brazil yang menduduki peringkat satu dunia itu.
Banner "provokatif" situ aja yang sok tahu! itu dimungkinkan datangnya juga dari kelompok terakhir ini. Kelompok nyaman yang memang diikuti jumlah massa diduga sangat besar. Kelompok yang memanfaatkan ketradisionalan orang ngopi dengan jargon: ngopi aja kok repot. Pokoke mambu kopi, beres!
Bahwa pengetahuan perkopian sudah demikian majunya. Selayaknya, kita, orang Indonesia, yang tercatat menjadi salah satu produsen kopi kelas dunia tak menutup mata dengan kemajuan ini.
Zaman VOC yang memperdagangkan kopi sudah lewat. Zaman tanam paksa kopi juga sudah tak ada lagi. Maka, tak ada salahnya, orang Indonesia sebagai pemilik kopi kelas dunia, ngopinya tidak sekadar ngopi. Orang Indonesia adalah orang pertama yang harus mendapatkan citarasa kopi paling enak.
Menuju kopi enak tentu ada beberapa tahapan yang harus dilalui dengan ketat. Pertama tentu pola tanam kopinya. Kemudian penanganan pascapanen. Lalu penyangraian. Terakhir adalah penyeduhan.
Mengetahui tahapan ini, kemudian mengaplikasikan seluruhnya hingga kopi berada dalam talam saji dan terhidang manis di atas meja, tentu bukan kegiatan yang sok tahu. Melainkan mengejar kualitas citarasa. Bahwa kopi tidak sekadar berbuah lalu dipetik dan dijemur. Bahwa kopi tidak sekadar disangrai hitam, gelap, seperti arang. Bahwa kopi tidak sekadar pahit. Bahwa kopi tidak sekadar ditumbuk halus kemudian dicor dengan air panas kemudian dibubuhkan gula.
Bagaimana bisa menyebut bahwa semua kopi itu enak kalau tutup mata terhadap tahapan proses kopi yang benar? :Pokok kopi dipetik, ijo kuning merah dirantas semua, dijemur kering di terik matahari di aspal jalan, di lapangan, dll. Disangan di atas wajan, warna gelap mengkilat, lalu dicor air panas mongah-mongah. Nonsens bukan kalau kopinya enak? (widikamidi)
Advertisement