“Semua Ini Berkat Yumi,” Kata Haji Murti
Oleh Hamid Basyaib
Pak Murti dan istrinya, Soliah, seperti terlempar ke tempat yang salah. Segala yang mereka lihat di sekitar Makkah selama beberapa hari ini mengherankan belaka, juga terkadang menakutkan, sekaligus menakjubkan.
Mereka bermalam di hotel bintang 5, yang kemewahannya bahkan tak pernah ia bayangkan, apalagi ia rasakan. Mereka canggung dan gentar menghadapi kecanggihan segala perangkat di kamar hotel.
Kasur dan seprei yang terlalu bagus, di dalam kamar yang terang benderang dan beraroma wangi, ini saja sudah membuat mereka terpana. Mereka sekarang harus berhati-hati. Jangan sampai keran mengeluarkan air yang terlalu panas seperti kemarin, yang membuat tangan mereka serasa melepuh.
Pak Murti hanya ingin minum kopi tubruk, seperti yang tiap pagi ia minum di beranda kecil rumahnya. Ia tak bisa menggunakan coffee maker generasi mutakhir yang tersedia di kamar, lengkap dengan saset-saset kopi-krim-gula yang belum pernah ia dengar mereknya. Turun-naik lift pun problem tersendiri. Ia takut, dan tak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai ia salah memencet tombol yang bermacam-macam itu.
Di luar rangkaian ritual haji dan doa-doa khusyuk di pagi dan malam hari yang mereka jalani dengan takzim, hari-hari di Makkah mereka isi dengan saling bertanya dan saling mengungkapkan rasa heran dan takjub.
Tak ada jamaah yang berminat mengajak mereka untuk sekadar berbincang ringan, ini justru mereka syukuri. Mereka pun tak berminat, tak berani, memulai percakapan dengan orang-orang kaya teman serombongannya di kelompok haji.
Tak mudah menjelaskan kepada orang lain bagaimana mereka, suami-istri petani miskin dari Ciamis, Jawa Barat, bisa hadir di depan Ka’bah, bersama rombongan haji premium, dengan naik pesawat yang begitu besar di kelas bisnis.
Biarlah orang-orang itu tak perlu tahu bahwa mereka baru kali ini ke luar negeri, bahkan seumur hidup baru kali ini naik pesawat terbang. Pak Murti dan Bu Soliah pasti tak tahu berapa biaya perjalanan ke Makkah ini.
Mereka juga tak tahu bahwa warga kelas-menengah Indonesia pun umumnya tak akan sanggup, atau harus berpikir dua belas kali untuk berhaji dengan fasilitas terbaik seperti yang ia dan istrinya nikmati.
*
Seperti para tetangga di kampung halaman, keinginan Pak Murti pun tak banyak dalam hidup ini. Kemiskinan membuat ia tak sanggup, dan tahu diri, bahkan untuk sekadar menyimpan cita-cita. Sebagai muslim yang taat beribadah, hanya dirinya yang tahu bahwa jauh di sudut batinnya, ia ingin sekali menunaikan ibadah haji, entah kapan.
Beberapa tetangganya yang menyimpan harapan yang sama sejak bertahun-tahun lalu berusaha menabung. Pak Murti tidak mungkin menabung. Ia harus menetapkan prioritas. Dan ia memilih memusatkan seluruh dayanya untuk menyekolahkan putrinya, Yumi.
Sebagai petani penggarap, buruh tani yang mengolah sawah milik orang lain, ia bekerja sekeras-kerasnya untuk mencapai tujuan tunggal: membuat Yumi terus bersekolah. Ia bersumpah untuk tidak akan membiarkan anak tercintanya itu hidup sesusah dirinya.
Lalu Yumi diterima di Institut Teknologi Bandung. Pak Murti tak merasa perlu untuk tahu di fakultas atau jurusan apa anaknya diterima belajar. Baginya, nama besar ITB sudah merupakan jaminan mutu, dan cukuplah ia percaya bahwa Yumi pasti mendapatkan pendidikan terbaik di sana.
Ia bekerja lebih keras. Pada suatu titik, Yumi merasa tak sanggup lagi. Ia tak mungkin membuat ayahnya bekerja lebih keras lagi. Biaya kuliah, praktikum dan biaya hidup di Bandung dll, terus merayap naik, seperti usia ayahnya. Tapi Pak Murti melarang Yumi berhenti kuliah.
“Saya akan melakukan apa saja demi membuat kamu lulus dari ITB,” katanya. “Apa saja! Dan saya masih bisa!”
Dengan susah-payah, Yumi lulus, lalu bekerja di Jakarta. Dari desanya yang jauh di Ciamis, Pak Murti dan istrinya cukup memantau dan bertanya kabar Yumi. Mereka bahagia dengan hanya mendengar bahwa kondisi Yumi baik belaka, dan bahwa pekerjaannya pun lancar saja.
*
Sekarang Pak Murti merasa sudah bisa menyalakan lagi cita-cita lamanya: naik haji. Beban biaya Yumi sudah lepas. Tapi berapa ongkos ke Makkah Al Mukarromah?
Menurut tetangga-tetangganya, biayanya mahal sekali; itu pun harus menunggu sampai belasan tahun untuk bisa mendapat jatah berhaji. Pemerintah membatasi jumlah jemaah haji per tahun, sesuai jatah yang diberikan oleh Kerajaan Saudi. Kalau begitu, ia sebaiknya mengubur saja cita-cita yang dipendamnya sejak muda itu.
“Jika Tuhan memang tidak mengizinkan kita berhaji, kita harus menerimanya dengan ikhlas. Itu artinya kita belum mendapat panggilan. Ya sudah, kita ikhlas saja. Begitu yang diajarkan orang-orang tua sejak kita kecil” katanya, menghibur istri dan dirinya sendiri.
Karier Yumi di Jakarta terus menanjak. Mungkin ia juga membuka bisnis sendiri. Pak Murti tak pernah tahu dengan jelas soal ini, apalagi rinciannya. “Diberi tahu pun saya tidak akan paham,” katanya. “Buat saya yang penting keadaan Yumi baik, lebih baik dari ayah-ibunya. Itu adalah berkah yang lebih dari cukup bagi kami.”
Tanpa diminta, Pak Murti dan Bu Soliah memang tak pernah minta apa-apa kepada anaknya. Yumi membelikan mereka sepetak sawah di kampung. Sekarang, Pak Murti naik pangkat: dari buruh tani menjadi pemilik sawah, yang terus ia garap sendiri. Hasilnya lebih dari lumayan tapi tetap masih jauh dari gerbang Ka’bah. Usianya pun terus menua.
Dan ia merasa semakin yakin untuk mengubur saja harapan besarnya. Bukankah rukun Islam ke-5 itu hanya wajib dijalani jika orang mampu lahir-batin? Faktanya Pak Murti tidak mampu. Tak ada yang perlu disesali bagi siapa pun yang bersikap realistis.
Sampai suatu siang, ketika Pak Murti sedang menggarap sawahnya, istrinya dengan tergopoh dan mata berbinar mendatanginya. “Kita akan naik haji, Pak! Kita akan naik haji!”
Akhirnya semuanya terang bagi Pak Murti: Yumi sudah memesan tempat buat penerbangan ke Jeddah untuk dia dan istrinya. Semuanya sudah diatur dengan rapi oleh sebuah biro perjalanan haji yang terkenal baik reputasi dan pelayanannya. Semuanya kelas satu, tentu saja juga biayanya.
*
“Semua ini berkat Yumi… semua ini berkat Yumi…,” kata Pak Murti berulang-ulang dengan air mata berlinang kepada Ari Yusuf Amir, seorang pengacara dan orang pertama yang menyapanya di lobi hotel mereka di Makkah.
Pak Murti seolah belum sepenuhnya percaya bahwa ia dan istrinya, pada usia pertengahan 70an, akhirnya bisa mewujudkan cita-cita lama yang nyaris dikuburnya dalam-dalam.
Dan ia tak pernah meminta berkah ini kepada Yumi. Ia selalu memandang Yumi sebagai anak tercinta yang hanya ia inginkan hidupnya lebih baik dibanding dirinya. Ia tak pernah melihat anaknya sebagai investasi yang kelak memberinya imbalan yang menguntungkan berupa, misalnya, pemberian fasilitas naik haji kelas premium.
“Semua ini berkat Yumi…,” katanya, kali ini seolah kepada dirinya sendiri. Mereka lalu melangkah perlahan ke arah bus yang telah menunggu untuk berangkat melaksanakan wukuf di Padang Arafah, di tenggara Makkah.
Pak Murti tak tahu bahwa kawan bicaranya, yang berjalan di sampingnya, susah payah membendung air mata.