Sempurnakan RUU KUHP, DPR Masih Cari Masukan dari Masyarakat
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, legislatif bersama eksekutif masih menyempurnakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menerima berbagai masukan dari kelompok masyarakat, khususnya dari cendekiawan serta organisasi keagamaan.
Karena itu, dia memastikan masih terbuka ruang penyempurnaan terhadap pasal-pasal penghinaan agama dalam RUU KUHP.
"Semangat menyelesaikan RUU KUHP adalah agar menjelang 74 tahun usia kemerdekaan Indonesia, kita punya aturan hukum yang lahir dari rahim bangsa sendiri, tidak lagi menggunakan aturan hukum warisan kolonial," kata Bambang Soesatyo, Selasa.
Hal itu dikatakannya saat menerima Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan, di ruang kerja Ketua DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin kemarin.
Bamsoet atau Bambang Soesatyo menilai peran aktif masyarakat dalam memberikan masukan akan sangat berguna, termasuk dalam hal pasal-pasal penghinaan agama atau pun pasal-pasal lainnya.
Dia mengatakan KUHP merupakan citra peradaban sebuah bangsa yang harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia dan politik pemidanaan internasional.
Karena itu, menurut dia lagi, penyempurnaan RUU KUHP akan terus dilakukan hingga akhirnya bisa tuntas 100 persen untuk disahkan menjelang DPR RI periode 2014-2019 berakhir pada September 2019.
"Di dunia internasional, kata penghinaan dalam unsur pemidanaan memang tidak lagi populer, bisa saja kata penghinaan tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 250 dan 313 RUU KUHP ditinjau kembali. Karena memang pembahasannya masih berjalan terus, belum tutup buku," ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan menyampaikan berbagai masukan, antara lain mengganti kata 'penghinaan' dengan 'hasutan untuk menyebarkan, menyiarkan kebencian, dengan maksud melakukan kekerasan, atau diskriminasi'.
Selain itu, Koalisi mengusulkan mengganti judul Bab VII RUU KUHP yang menyebut "Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama", agar tidak terjadi multitafsir yang menyebabkan agama menjadi subjek hukum.
Bamsoet menyampaikan bahwa semangat keberadaan bab VII dan pasal-pasal di dalamnya adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakininya, sebagaimana diamanahkan dalam konstitusi negara pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
"Jika redaksionalnya dirasa kurang tepat, DPR RI dengan senang hati menerima berbagai masukan dari masyarakat," katanya.
Bamsoet yang merupakan politisi Partai Golkar itu mengatakan masukan Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan akan diteruskan ke Komisi III DPR RI.
Menurut dia, masukan dari masyarakat itu diharapkan agar KUHP yang dihasilkan bisa sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia dan bisa menjawab berbagai persoalan serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
"Keaktifan masyarakat memberikan masukan adalah cermin kepedulian mereka terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Dia tidak ingin ketika nanti RUU KUHP ini disahkan menjadi UU, justru malah terjadi penolakan dimana-mana, karena itu DPR RI selalu terbuka terhadap berbagai aspirasi. (an/ar)