Sempat Waswas, Jargas Bikin Puas, Sebagian Berharap-harap Cemas
Aroma laut ditambah bau ikan kering langsung menyergap hidung. Maklum di kanan-kiri Jalan Lintas Utara (JLU) yang menapalbatasi bibir pantai dengan perkampungan warga banyak ikan dijemur.
Ikan laut yang sudah dibelah itu dijemur di pinggir jalan, di teras rumah, hingga di para-para bambu. Keseharian sebagian warga Kelurahan Mayangan, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo memang tidak bisa dilepaskan dari laut. Sebagian warga menjadi nelayan tangkap, sebagian lagi sebagai pengolah ikan.
Siang itu ketika matahari baru sepenggalah, Fatmawati, 40 tahun, warga Jalan Ikan Banyar, Kelurahan Mayangan sudah mulai menjemur kerupuk ikan buatannya. Teras rumah menjadi tempat penjemuran kerupuk ikan.
“Saat cuaca panas di musim kemarau panjang ini kerupuk ikan cepat kering meski dijemur di teras rumah,” kata Fatmawati, Sabtu, 30 November 2019. Tiga sampai empat hari kerupuk ikan bisa kering dan siap dipasarkan atau digoreng.
Mulai menekuni kerupuk ikan jenggelek sejak lima tahun silam, Fatmawati mengaku, hapal di luar kepala resep membuat kerupuk. Ia menyiapkan 20 kilogram tepung tapioka, 7 kilogram ikan jenggelek, 2 kilogram bawang putih, ditambah bumbu masak seperti garam, gula, dan penyedap rasa.
Untuk lebih menarik perhatian terutama anak-anak, sebagian kerupuk ikan diberi sapuan warna. Ia berterus terang menggunakan, pewarna khusus untuk bahan makanan.
Yang membuatnya sedih, harga tepung tapioka naik drastis 100% lebih sejak setahun silam. Awalnya tepung tapioka sekitar Rp 500.000 terus merambat naik hingga bertengger menjadi Rp1,2 juta per kuintal.
“Kalau harga ikan jenggelek naik-turun, sekarang misalnya Rp 10.000 per kilogram. Bawang putih lumayan, Rp 25.000, dulu pertengahan tahun sempat melambung Rp 45.000 per kilogram,” katanya.
Bahan-bahan sebanyak itu kemudian dijadikan adonan hingga kalis. Setelah itu dibungkus plastik dan dikukus sekitar tiga jam. “Sebenarnya aromanya lebih enak dibungkus daun pisang. Tetapi daun pisang pun lumayan mahal dibandingkan plastik,” ujar Fatmawati.
Setelah adonan dikukus, diletakkan di suhu ruangan hingga benar-benar dingin dan mengeras. Rumah kecil berukuran 5 x 6 meter persegi itu akhirnya dijejali lonjoran-lonjoran kerupuk setengah jadi. Mulai di ruang tamu yang tanpa perabotan kursi dan meja, di ruang tengah, hingga di dapur.
“Dulu saya mengukus adonan dengan kompor minyak tanah, kemudian ganti kompor elpiji tabung. Dan baru lima bulan ini saya menggunakan kompor dengan jargas (jaringan gas),” katanya.
Ketika menggunakan tabung elpiji melon, Fatmawati mengaku menghabiskan, 4-5 tabung per bulan. Atau setara Rp 72.000-80.000 per bulan. “Ketika menggunakan jargas saya membayar Rp70.000 per bulan,” ujarnya.
Tetapi ia mengaku, pernah dua bulan menunggak pembayaran jargas. “Saya kena Rp100 ribu,” tambahnya.
Ditanya kelebihan menggunakan jargas, Fatmawati mengatakan, selain lebih hemat, tidak lagi bingung memikirkan harus beli tabung gas. Apalagi kalau sedang kehabisan gas tengah malam.
Soal pemasaran produk kerupuk ikan jenggelek-nya, Fatmawati mengaku, tidak susah. Biasanya para pedagang langsung datang ke rumahnya untuk membeli kerupuk ikan yang sudah dikemas. Kerupuk mentah kemasan setengah kilogram misalnya dibanderol dengan harga Rp15.000.
Tidak hanya Fatmawati yang memanfaatkan jargas. Anak sulungnya, Wahyu Hidayat, 30 tahun yang sudah berumah tangga sendiri, juga mengikuti jejak ibunya. Kebetulan istri Wahyu, Lora , 30 tahun berjualan cilok di teras rumahnya di dekat JLU Mayangan.
Wahyu bersama istrinya tinggal tidak jauh dari rumah ibunya, sekitar 300 meter. Tepatnya di tepi JLU, Lora membuka warung kecil untuk menjual cilok. Warung di teras rumah yang menghadap ke arah laut itu dilengkapi jargas.
Kompor diletakkan persis di bawah meter jargas. Sebuah dandang diletakkan di atas kompor. “Saya pakai jargas sejak lima bulan lalu,” kata Lora sambil menggendong anaknya.
Sebelumnya ia menggunakan tabung elpiji melon untuk keperluan dapurnya. Keluarga kecil itu hanya menghabiskan dua tabung elpiji atau setara Rp48.000 per bulan.
“Setelah menggunakan jargas, saya membayar Rp 20.000 per bulan, hanya sebulan terakhir kena Rp78.000. Gak tahu kok naik, mungkin pemakaian lebih banyak,” kata Lora.
Kompor ‘Api Seribu’
Kalau Fatmawati dan menantunya, Lora bisa menikmati jargas, lain lagi dengan pemilik Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) lain di Kelurahan Mayangan. Adalah Farid Sholeh, 50 tahun, warga Jalan Ikan Tongkol Gang Susu: 75 Kelurahan Mayangan yang belum bisa menikmati jargas.
Padahal saat jargas diluncurkan, Farid sudah mengajukan sambungan. Perusahaan Gas Negara (PGN) pun sudah memenuhinya sambungan jargas hingga ke rumah yang tersembunyi di gang sempit itu.
Tetapi jargas yang tersambung hingga tempat usaha Farid belum bisa dimanfaatkan. “Soalnya tempat usaha saya menggunakan kompor ‘api seribu’ alias kompor yang apinya besar. Ternyata kompor ‘api seribu’ gak bisa pakai jargas,” ujar pemilik UMKM Jaya Utama itu.
Farid sempat menanyakan kepada petugas lapangan PGN yang datang ke tempat usahanya. “Kata petugas kompor ‘api seribu’ bisa dipakai asal dimodifikasi,” kata pria kelahiran Pamekasan, Madura itu.
Rahayu, 45, istri Farid membenarkan. “Akhirnya jargas hanya kami gunakan untuk memasak di dapur, pakai kompor gas biasa,”katanya.
Home industry milik Farid terletak di depan rumahnya di gang sempit, Gang Susu. Disebut Gang Susu karena dulu banyak warga yang beternak sapi perah.
Berdiri sejak 2006 silam, UMKM Jaya Utama setiap hari mengolah ikan segar sekitar 150 kilogram. Ikan basah sebanyak itu setelah diolah menjadi 60 kilogram ikan kering, rempeyek, hingga daging ikan fillet.
Karena kompor ‘api seribu’ mengandalkan tabung elpiji, Farid pun harus merogoh kocek lumayan dalam. “Setiap hari saya beli dua tabung epiji melon. Kalau pakai blue gas ukuran 15 kilogram, dalam empat hari sudah habis,” katanya.
Ditanya mengapa tidak menggunakan kompor biasa, Farid mengatakan, saat menggoreng ikan harus pakai api besar. “Api besar seperti kompor ‘api seribu’ cocok untuk menggoreng ikan, ikan jadi krispi,” katanya.
Farid berharap, petugas lapangan PGN bisa membantu memodifikasi kompor ‘api seribu’ sehingga bisa digunakan. “Soal pasokan ikan, tidak ada masalah, pedagang ikan langganan selalu memasok ikan setiap hari,” ujarnya.
Demikian juga soal pengolahan ikan, Farid sudah dikenal sebagai “master chef” ikan kering dan rempeyek. “Bahkan, sejumlah siswa SMK biasa magang di tempat usaha saya. Mereka belajar mengolah dan memasarkan ikan kering dan rempeyek,” ujarnya bangga.
Kebanggaan Farid juga beralasan. Sejumlah penghargaan di tingkat kecamayan hingga Kota Probolinggo berjajar di etalase di tempat usahanya.
Kalau Farid “nelangsa” karena jargas yang tersambung ke tempat usahanya belum bisa menghidupkan kompor ‘api seribu’, lain lagi dengan UMKM Al Handy, juga di Mayangan. “Saya sebenarnya ingin menggunakan jargas tetapi apa daya, sambungan jargas tidak sampai ke rumah,” kata pemilik Al Handi, Parnen, 54 tahun.
Parnen berterus terang, saat warga di lingkungannya ditawari jargas, ternyata tidak ada yang tertarik. “Sebagian mengatakan, tarifnya mahal, sebagian lagi gak mau karena galian jargas akan merusak jalan di gang,” katanya.
Akhirnya Parnen yang ngebet tersambung jargas hanya bisa gigit jari. “Terpaksa saya pakai tabung melon untuk mengolah makanan ringan berbahan ikan,” lanjutnya.
Anggapan tarif jargas mahal, memang sudah bertiup ketika proyek itu baru digulirkan di Kota Probolinggo, April 2018 silam. “Melalui sosialisasi sudah dijelaskan, jargas lebih murah daripada tabung gas elpiji melon,” kata Camat Mayangan, M. Abas.
Bisa dikatakan Abas camat paling sibuk ketika jargas digulirkan. Soalnya, Mayangan menjadi satu-satunya kecamatan yang menerima proyek jargas di antara lima kecamatan di Kota Probolinggo.
“Setiap hari pengaduan masyarakat bertubi-tubi, ada yang datang ke kecamatan, ke kelurahan, hingga mengadu melalui HP saya,” kata Ketua Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi) Kota Probolinggo itu.
Abas pun harus memainkan percaturan sesungguhnya ketika menghadapi warganya. Warga yang buta soal jargas, karena memang termasuk sesuatu yang baru.
“Belum lagi ada sebagian warga yang ketakutan bahaya jargas. Mereka waswas dan takut jargas meledak seperti tabung melon. Setelah dijelaskan jargas aman, warga pun banyak yang pasang,” katanya.
Di Kecamatan Mayangan, jaringan gas bumi mengalir di empat kelurahan. Yakni, Mayangan sebanyak 1.011 sambungan rumah (SR), Jati 618 SR, Mangunharjo 2.848 SR, dan Wiroborang sebanyak 548 SR.
Dari target 5.025 SR, akhirnya tersambung melebihi target yakni, 5.088 SR di Kecamatan Mayangan. “Sebenarnya jumlah ini masih sangat kecil, baru menjangkau sekitar 40 persen rumah tangga di Kota Probolinggo,” kata Wali Kota Probolinggo, Hadi Zainal Abidin.
Bahkan di Kecamatan Mayangan sendiri, ada satu kelurahan, Kelurahan Sukabumi yang belum terlayani jargas sama sekali. “Untuk Sukabumi kami usulkan untuk bisa dilayani jargas,” ujar Habib Hadi, panggilan akrab wali kota.
Pemkot Probolinggo pun mengusulkan, jargas semakin meluas di Kota Bayuangga itu. Pada 2020, giliran Kecamatan Kademangan yang mendapat kuota 5.000 SR mulai digarap proyek fisik jargasnya.
Bahkan, tiga kecamatan lain yakni Kanigaran, Kedopok, dan Wonoasih juga diusulkan mendapatkan jargas pada 2021 mendatang.
“Kecamatan Kademangan sudah diusulkan tahun 2018 lalu sejak Wali Kota Bu Rukmini,” ujar Kabag Perekomian, Wawan Soegyantono.
Saat itu Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo mengusulkan sebanyak 10.000 SR untuk Kecamatan Kademangan. Ternyata yang dikabulkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebanyak 5.000 SR.
“Kecamatan Kademangan dapat giliran kedua mendapatkan sambungan jargas setelah Mayangan. Proyek fisik mulai dikerjakan 2020 mendatang,” kata Camat Kademangan, Pujo Agung Satrio.
Tiga kecamatan yang tersisa akhirnya juga diusulkan untuk mendapatkan sambungan jargas pada 2021 mendatang. “Intinya jargas ditawarkan kepada semua warga di tiga kecamatan, datanya kemudian kami kirimkan ke Kementerian ESDM,” kata Wawan. (*)
Advertisement