Sempat Ricuh, Aksi Demo Tolak UU TNI di Depan Gedung DPRD Blitar Berakhir Damai
Aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang digelar di depan Gedung DPRD Kabupaten Blitar pada Senin 24 Maret 2025 sempat diwarnai kericuhan.
Demonstrasi yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus Blitar, terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), GMNI, HMI, dan PMII ini, akhirnya berakhir damai setelah perwakilan DPRD menemui massa aksi.
Para mahasiswa mulai berkumpul di depan Gedung DPRD Kabupaten Blitar sekitar pukul 17.00 WIB. Mereka membentuk barisan dan menyampaikan orasi serta teatrikal aksi sebagai bentuk penolakan terhadap UU TNI yang dinilai dapat menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI.
Pada waktu Maghrib, massa aksi melakukan buka bersama dan melaksanakan salat Maghrib berjamaah di tengah jalan di depan pintu Gedung DPRD. Seusai salat, situasi sempat memanas ketika mahasiswa berusaha merangsek masuk ke dalam gedung, namun dihalangi oleh barisan aparat kepolisian dari Polres Blitar. Tak berhasil menerobos barikade, massa meminta anggota DPRD untuk keluar menemui mereka.
Setelah sempat terjadi ketegangan, akhirnya tiga anggota DPRD dari Komisi I, yakni Ahmad Rifai (PKB), Nugroho (PDIP), dan Ismail Namsa (Gerindra), keluar untuk berdialog dengan massa aksi. Mereka duduk bersama aparat keamanan serta perwakilan mahasiswa guna mendengarkan aspirasi yang disampaikan.
Setelah diskusi berlangsung, massa aksi membacakan pernyataan sikap yang kemudian ditandatangani oleh anggota DPRD serta perwakilan organisasi mahasiswa sebagai bentuk komitmen tindak lanjut aspirasi yang disampaikan.
Tuntutan Mahasiswa
Koordinator aksi, Vita Merizan Permai, menegaskan bahwa aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap UU TNI yang dinilai kontroversial dan dapat mengancam supremasi sipil.
“Aturan yang dibuat harus berpihak kepada rakyat. UU TNI banyak menuai polemik dan menjadi sorotan berbagai kalangan, terutama mahasiswa,” ujar Vita kepada awak media.
Menurutnya, UU TNI mengandung pasal-pasal yang berpotensi menghilangkan supremasi sipil, serta ada indikasi intimidasi terhadap jurnalis dan aktivis yang bersikap kritis terhadap undang-undang tersebut. Oleh karena itu, mereka mendesak agar pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna menggantikan UU TNI.
“Jika tidak ada Perpu dan UU TNI tetap berjalan, kami akan mengerahkan aksi yang lebih besar,” tegas Vita.
Selain menuntut diterbitkannya Perpu, mahasiswa juga mendesak agar tidak ada intimidasi terhadap jurnalis serta meminta DPRD lebih transparan dalam membahas regulasi yang berkaitan dengan masyarakat sipil, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Aksi demonstrasi ini akhirnya berakhir damai setelah tuntutan mahasiswa didengarkan dan adanya komitmen dari anggota DPRD untuk menindaklanjuti aspirasi mereka.
Advertisement