Sempat Ditentang Tetangga, Kini Jadi Tumpuan Indonesia
Kampung Gulat. Begitulah kebanyakan orang menyebut Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Maklum, dari desa ini telah lahir pegulat juara, termasuk yang akan berlaga membela Tim Merah Putih di Asian Games 2018.
Sekilas, Desa Kendalpayak tak berbeda dibandingkan dengan desa lain di Kabupaten Malang. Suasana khas perdesaan sangat terasa, tenang tanpa keramaian. Bangunan rumah-rumah dengan halaman luas berderet di sepanjang jalan utama. Di teras-teras rumah terlihat beberapa anak-anak belia bermain.
Namun dari balik pemandangan desa yang sederhana itu, lahir atlet-atlet gulat luar biasa. Mereka beraltih di sebuah rumah, salah satu gang sempit milik Fathurahman, seorang guru olahraga dan juga mantan atlet gulat nasional.
Sosok kalem yang akrab dipanggil Rahman ini, sudah cukup dikenal. Hampir semua warga mengenal sepak terjangnya dalam mendidik anak-anak kampung menjadi atlet gulat. ”Pak Rahman gulat? Itu rumahnya,” ujar seorang warga sambil menunjuk sebuah rumah berlantai dua.
Sekitar tujuh tahun lalu, halaman belakang di rumah Rahman menjadi tempat anak-anak kampung berlatih gulat. Kini halaman itu telah berganti bangunan berlantai dua. Di lantai atas terlihat deretan ranjang yang tertata rapi.
Ada satu rumah lagi persis di depan rumah Rahman juga berisikan delapan ranjang bertingkat dengan satu ruang tamu dan garasi. ”Sekarang sudah jadi mes atlet, tempat latihannya pindah. Di depan tempat atlet putra dan di sini tempatnya atlet putri,” ujar Rahman saat ditemui di rumahnya.
Sejak dua tahun lalu, Rahman terpaksa memindahkan lokasi latihan lantaran peminatnya bukan lagi hanya anak-anak kampungnya. Banyak atlet dari berbagai daerah dititipkan di tempatnya. Termasuk atlet kontingen Jawa Timur yang tampil di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, lalu.
Setelah melihat mess atlet yang menjadi satu dengan rumahnya, Rahman mengajak ke tempat latihan berjarak sekitar satu kilometer. Lima menit berjalan tampak papan nama besar bertulis Rahman Camp Gulat. Camp ini dibangun di atas tanah seluas 19 x 24 meter.”Dulu hanya untuk satu matras. Sekarang sedang saya perbesar menjadi dua matras,” kenangnya.
Mes atlet dan camp gulat dibangun secara bertahap dengan uang pribadi Rahman. Gajinya sebagai guru olahraga memang tidak seberapa. Namun sejak masih aktif sebagai atlet gulat, Rahman selalu mengumpulkan uang bonus. Itulah yang dipakainya membangun camp gulat. ”Dulu uang bonus buat beli tanah ini. Ada rezeki lagi dibangun bertahap, tidak tahu sudah habis berapa,” ujar tersenyum.
Sebenarnya, Rahman sempat mendapatkan tawaran dana dari Pemkab maupun Pemkot Malang membangun camp gulat. Namun secara halus hingga saat ini tawaran tersebut ditolaknya. ”Saya takut terikat, karena mimpi saya semua atlet dari daerah lain juga bisa berlatih di sini, bukan hanya Malang, ” kata Rahman sambil menunjuk tulisan Malang-Indonesia.
Berbekal keuletan dan kesabaran, mimpi Rahman menjadi kenyataan. Kini tak hanya melatih anak-anak kampungnya, tapi atlet dari berbagai daerah, seperti Lumajang dan Banyuwangi. ”Empat pegulat dari sini dipanggil ikut SEA Games. Tiga di antaranya asli anak kampung sini,” ujar pria yang pernah membela Indonesia di ajang Pra-Olimpiade ini.
Empat pegulat tersebut adalah Sugiyono di kelas 54 kilogram (kg), Hasan Sidiq di kelas 59 kg, Andrik Kurnia di kelas 71 kg, dan pegulat putri Cyintia Eka untuk kelas 48 kg. ”Senang bisa membuat anak-anak bisa membela Indonesia. Rata-rata juga sudah bisa menabung dari hasil keringatnya. Ada juara Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) ada yang Rp25 juta. Ada yang masih SMP juga sudah dapat bonus,” kata dia tersenyum.
Karena sudah banyak atlet dari berbagai wilayah yang berlatih di tempatnya, kini waktu Rahman mengajak anak-anak kampung berlatih gulat sudah berkurang. ”Kalau anak-anak kecil kampung sini, sudah tidak setiap hari bisa saja ajak berlatih. Tapi tetap Sabtu atau Minggu saja ajak, saya naikan pikap dari rumah ke sini,” katanya.
Yang masih terkenang dalam ingatan Rahman, awalnya banyak tetangga yang khawatir melihat anak-anak diajari gulat. Maklum, sebagian takut jika anak mereka menjadi gemar berkelahi, namun setelah mengerti semuanya malah minta anaknya diajari.
"Kalau ingat jaman dulu yang sering tertawa sendiri. Ada tetangga takut kalau anakanya diajari berkelahi. Setelah tahu dan bisa berprestasi akhirnya malah bangga dan senang, " kenangnya.
Bagi Rahman pengorbanan waktu dan harta untuk gulat tidak pernah dia sesali, apalagi jika sudah melihat anak didiknya bisa berprestasi. "Melihat anak-anak dapat medali dan bisa mengibarkan Bendera Merah Putih, rasanya tak bisa dinilai dengan harta, " ucapnya dengan mata berkaca-kaca. (tom)
Advertisement